Selama 4 tahun lamanya berumah tangga, tak sedikit pun Naya mengecap keadilan.
Hidup satu atap dengan mertua begitu menyesakkan dada Naya, dia di tuntut sempurna hanya karena dia belum bisa memberikan keturunan. Di sepelekan, di olok-olok oleh mertua dan juga iparnya. Sang suami cuek dengan keluh kesahnya, bahkan dengan teganya ia menikah kembali tanpa meminta izin dari Naya selaku istri pertama.
Daripada di madu, Naya lebih baik mengajukan gugatan perceraian. siapa sangka setelah ketuk palu, dirinya ternyata sudah berbadan dua.
Bagaimana kehidupan yang Naya jalani setelah bercerai, akankah dia kembali pada mantan suaminya demi sang buah hati?
"Jangan sentuh anakku! Berani menggapainya itu sama saja dengan mempertaruhkan nyawa." Naya Suci Ramadhani.
Woowww... bagaimana kah karakter Naya? apakah dia lemah lembut? atau justru dia adalah sosok perempuan yang tangguh.
Yuk, simak ceritanya jangan sampai ketinggalan 👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perempuan Mandul
Seorang perempuan mengusap peluh yang membasahi dahinya, terik matahari menyorot wajahnya yang sudah terlihat sangat kelelahan. Naya, perempuan yang sudah menyandang status istri dari seorang lelaki yang bernama Sendi.
Usia pernikahan mereka sudah menginjak 4 tahun lamanya, tetapi sampai saat ini Naya tak kunjung memiliki buah hati. Naya dan Sandi belum memiliki rumah, mereka tinggal bersama orangtua Sandi sendiri.
Sindiran demi sindiran Naya dapat dari ibu mertua dan iparnya, tiap hari makan hati sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa Naya di hindari.
Tubuh Naya terasa sakit karena setiap harinya ia harus mengurus semua pekerjaan rumah tanpa adanya pembantu, di siang yang terang benderang ini pun dia baru selesai menjemur pakaian, belum lagi ibu mertuanya menyuruhnya membersihkan rumput liar di taman.
Krruuuukkkk...
Perut Naya berbunyi lengkap dengan rasa perih menahan lapar sejak pagi, matanya berkaca-kaca dengan mulut bergetar. Mau tak mau Naya berusaha berdiri memegangi perutnya berjalan masuk ke dalam rumah, saat berada di dapur pandangannya mengarah kearah meja makan yang dimana sudah ada suami, ipar dan mertuanya makan tanpa ada yang memanggilnya untuk bergabung. Naya memalingkan wajahnya menyembunyikan air matanya, tangannya mengusap kasar pipnya yang basah, mulutnya di tutup rapat supaya tangisannya tak terdengar.
"Bahkan, suamiku sendiri tak peduli padaku." Lirih Naya.
Salah satu diantara mereka ada yang melihat Naya, ia adalah ayah mertua Naya yang paling peduli pada Naya diantara anggota keluarga yang lainnya.
"Naya, sudah jemur bajunya? Sini makan!" Panggil Egi melambaikan tangannya meminta Naya bergabung di meja makan.
Naya menatap kearah Neti yang juga tengah menatapnya, tatapan ibu mertuanya sangat tajam seperti ingin menelan Naya hidup-hidup. Sedangkan Sendi, dia hanya melirik Naya sekilas dan kembali fokus dengan makanannya.
"Ngapain masih berdiri disana, ayo kita makan." Ajak Egi kembali pada Naya.
Dengan ragu Naya berjalan kearah meja makan, ia berdiri tepat di samping suaminya. Iparnya menunjukkan sifat tak sukanya pada Naya, Seni langsung menyambar gelas dan menenggaknya sampai tandas, kemudian dia bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja.
"Tiba-tiba perutku langsung kenyang!" Ujar Seni melengos begitu saja.
"Makan yang banyak Sendi, kamu kan harus kerja biar ada tenaganya. Sering-sering deh kamu nongkrong sama temen-temen kamu, daripada di rumah tiap hari liat istri mandul yang ada otak kamu stress." Yeti menambahkan lauk yang hanya tinggal sisa satu potong ayam lagi ke piring Sendi, bahkan Neti juga menuangkan sisa sayuran ke piringnya sampai menumpuk.
Hati Naya semakin sakit mendengar kalimat sindiran ibu mertuanya, sedangkan Egi menggelengkan kepalanya melihat tingkah istrinya sendiri.
"Ma, kamu ini sesama perempuan kok mulutnya jahat sekali. Bagaimana kalau kamu yang ada di posisi Naya, atau Seni yang ada di posisi Naya, hah? Harusnya kamu sama Sendi itu saling support Naya, jangan tambahkan beban pikirannya supaya dia tenang dan hal itu bagus untuk program kehamilannya." Tegur Egi.
"Emangnya selama empat tahun itu kurang ya, Pa? Udah selama itu dia gak bisa ngasih Mama cucu, malu tuh sama anak tetangga yang baru nikah dua bulan aja udah langsung isi. Memang dasarnya aja si Naya mandul, kerjaannya leha-leha di rumah aja gak ada perubahan sama sekali." Neti memasang wajah juteknya.
"Astagfirullah, Ma." Egi tak bis berkata apa-apa lagi, dia hanya mampu mengusap dadanya dan menatap iba kepada menantu satu-satunya itu.
"Sudah lah, Sen. Ceraikan saja istri mandulmu itu, lebih baik kamu nikah lagi sama perempuan yang lebih cantik dan bisa kasih kamu keturunan." Neti malah semakin menjadi, dia menghasut anaknya sendiri untuk mengakhiri pernikahan yang sakral dan menyarankan apa yang Tuhan benci.
Deg!.
Jantung Naya langsung berhenti saat itu juga, kali ini ibu mertuanya sudah sangat keterlaluan dan terlewat batas. Hati Naya semakin perih mendengarnya, ia langsung pergi ke kemarnya karena tak sanggup lagi mendengar ucapan Yeti.
Sendi berhenti mengunyah makanannya, ia memejamkan matanya sejenak. Egi memasang wajah marah sekaligus kecewa kepada istrinya, hanya demi gengsi karena teman dan juga para tetangganya sudah banyak yang menimang cucu.
"Papa makin kecewa sama kamu, Ma."
Egi bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja, kini hanya tinggal Yeti dan juga Sendi yang masih berada di meja makan.
"Bodo amat! Perempuan mandul di belain, emang aneh." Ketus Neti.
Neti melipat kedua tangannya, matanya mendelik kesal dengan mulut komat-kamit.
"Sen, udah bener deh saran Mama. Mending kamu nikah lagi deh, Mama punya kenalan cewek cantik anak temen Mama, di jamin deh kamu bakalan tertarik." Ucap Neti setengah berbisik pada Sendi.
"Terus Naya gimana, Ma?" Tanya Sendi.
"Dah lah, ngapain mikirin si Naya. Selama ini kamu kerja banting tulang cuma buang-buang duit kasih nafkah si Naya, lah mending dia bisa kasih kamu anak, ini kan enggak! Mama yakin deh, uang kamu tuh di pake gak bener sama istri kamu, buktinya aja dia gak bisa dandan atau beli-beli barang yang baru buat mempercantik diri. Dimana-mana, istri itu harus pintar dandan biar enak di liat sama suaminya, si Naya mah malah kayak gak keurus begitu, apa kata orang kalau mereka bilang kamu itu suami medit." Neti masih berusaha membujuk anaknya untuk pisah dengan Naya, kalaupun tidak, poligami pun bisa jadi alasan utama.
"Iya juga ya, Ma. Naya sekarang mah beda, kelihatan kusam banget sama kurus lagi. Gak kaya dulu, sebenernya mah udah males banget liat Naya tiap hari." Sendi membenarkan ucapan ibunya, jika di pikir-pikir Naya yang sekarang sangat jauh perbedaannya dengan Naya saat zaman pacaran.
Sendi sepertinya sudah mulai terpengaruh akan ucapan ibunya, buktinya dia lebih tertarik dengan perempuan yang sedang ibunya bicarakan. Neti mengungkapkan ciri-ciri calon menantu idamannya pada Sendi, bahkan ia memperlihatkan foto anak temannya pada Sendi yang terlihat begitu putih, cantik dan bersih. Bonusnya lagi, calon menantu rekomendasi Neti itu bahenol dan perfect.
Usai berbincang dengan ibunya, Sendi gegas menghabiskan makanannya. Dia pun pergi ke kamarnya, siang ini dia ada janji temu dengan teman-temannya.
Begitu masuk ke kamar, dia mendapati istrinya duduk di pinggir kasur dengan tubuh bergetar. Sendi yakin kalau Naya sedang menangis karena ucapan ibunya tadi, rasanya Sendi sudah bosan sekali melihat Naya yang sering nangis. Bahkan dalam satu hari, Naya bisa menangis ratusan kali.
"Kamu itu bisanya nangiiiisss aja! Gak ada kerjaan lain apa, suami di rumah bukannya di hibur atau apalah, ini malah mewek." Protes Sendi kesal.
Naya mengusap sisa air matanya, dia bangkit dari duduknya menghampiri sang suami dengan raut wajah tak menyangka.
"Kamu beneran bilang kayak gini, Mas? Seharusnya kamu yang hibur aku, tiap hari aku makan sindirian dan hinaan dari ibu kamu, tiap hari juga aku di suruh ini itu bahkan makan saja aku gak sempat! Kamu cuman mikirin diri kamu sendiri, kamu bisa makan enak sedangkan aku nahan lapar dari pagi." Cerocos Naya mengeluarkan semua isi hatinya.
"Salah sendiri lah, uang udah aku kasih. Kalau gak kebagian makan ya tinggal beli aja, hidup jangan serba di bawa repot deh. Coba liat muka sama badan tinggal tulang doang, bisa gak sih ngurus diri sendiri? Tiap hari dasteran mulu, mana pada sobek lagi." Ucap Sendi membalas ucapan Naya.
"Gimana mau ngurus diri, uang yang kamu kasih aku cuman pegang dua ratus ribu. Ibu kamu ambil sebagian besar uangnya, dia merasa memiliki hak karena kita tinggal bareng. Aku masih punya baju aja itu udah bersyukur banget, seharusnya aku yang tanya sama kamu. Dimana tugas kamu sebagai seorang suami? Udah tahu istrinya dihina mandul, nangis karena saking capeknya, badan kurus kering, baju aja udah pada bolong-bolong. Kudunya kamu tanya diri kamu sendiri, kenapa istri kamu bisa seperti ini, bukannya malah menyalahkan. Waras gak suami kayak gitu!" Naya meninggikan suaranya, dia terbawa emosi saking sudah banyaknya rasa sakit yang sudah menumpuk di hatinya.
Plakkk!!
Satu tamparan mendarat di pipi tirus Naya, bukannya Sendi sadar akan kelalaiannya sebagai seorang suami, justru Sendi malah menyikapinya dengan kekerasan. Untuk pertama kalinya Naya mendapat tamparan dari Sendi, selama ini jika Sendi marah pastinya hanya mendiamkannya saja tanpa ada unsur tangan melayang.
"Jaga mulutmu, Naya! Seharusnya kamu tuh berterimakasih sama Mama, dia udah mau nampung kita disini. Udah di kasih nafkah sekaligus di kasih tempat tinggal gratis malah ngeluh, banyakin bersyukur deh sekalian ngaca." Ketus Sendi.
Sendi menyambar jaket dan kuci motornya, ia keluar dari kamar dengan wajah kesal. Naya mematung di tempatnya, air matanya kembali mengalir lengkap dengan perihnya batin yang lukanya kian menganga.