Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10 : Tidak datang hanya untuk mengancamku
Lian Hua memejamkan mata, mencoba menenangkan napas yang masih memburu. Rasa kantuk menyeruak, seolah tubuhnya memohon untuk diizinkan terlelap meski hanya sebentar. Namun sebelum kelopak matanya benar-benar tertutup, suara pintu berderit memecah kesunyian.
Ia menghela napas panjang, hampir saja mengumpat. Tak ada yang datang ke sini kecuali untuk menyakitiku.
Saat matanya terbuka, ia tertegun. Sosok yang berdiri di ambang pintu bukan pengawal atau pelayan, melainkan Ya Ting. Alis Lian Hua berkerut, dadanya terasa sedikit sesak.
“Apa lagi yang kau inginkan?” suaranya datar namun lelah.
Ya Ting tidak menjawab, hanya menatapnya—tatapan tajam yang seolah menembus pertahanan Lian Hua. Langkahnya maju, mendekat, hingga berdiri menjulang di hadapannya yang duduk bersandar di dinding.
“Jawab aku,” ujar Ya Ting pelan namun tertekan, “kau benar-benar tidak menyakiti Wei Jie? Apa yang kau lakukan pada lukanya?”
Lian Hua mengangkat kepala, menatap balik dengan mata yang tetap tenang. “Aku tidak melakukan apa-apa… hanya meringankan lukanya.”
“Kenapa?” tanya Ya Ting lagi, nada suaranya mengeras. “Kenapa kau mau membantu putraku?”
Kening Lian Hua mengerut. Pertanyaan itu terdengar aneh, terlebih datang dari seorang ibu. “Perlu alasan untuk membantu orang yang kesakitan?”
Jawaban itu tidak memuaskan Ya Ting. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal, giginya bergemeretak. Ia hendak bicara lagi, namun langkah-langkah berat terdengar di luar lorong. Sekelompok pengawal melintas, membuatnya refleks menutup pintu rapat-rapat.
Lian Hua sedikit tersentak. Ada sesuatu yang ganjil pada sikap itu—tatapan Ya Ting yang kini terpaku pada pintu, napasnya memburu.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?” tanya Lian Hua lagi, kali ini penuh selidik.
Namun Ya Ting berbalik cepat, menunjuknya dengan sorot mata penuh ancaman. “Diam. Jangan pernah mendekati putraku lagi. Jika kau berani… aku akan membunuhmu.”
Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu dan menutupnya dengan hentakan keras. Suara itu bergema di ruangan yang kembali sunyi.
Lian Hua masih terdiam, matanya menyipit, mencoba menafsirkan maksud di balik semua kata dan gerak-gerik tadi. Di sela kebingungannya, ia bergumam lirih, “Kau… tidak hanya datang untuk mengancamku.”
…
Pagi datang perlahan. Langit membiru, dan sinar matahari merayap masuk lewat celah pintu, membangunkan Lian Hua yang masih duduk di posisi yang sama seperti semalam.
Ia mencoba mengangkat tangannya, sekadar memastikan apakah luka di punggungnya masih seperti semalam. Baru sedikit terangkat, rasa perih menyambar begitu tajam hingga ia meringis, terpaksa menurunkan tangannya kembali.
Hela napas panjang lolos dari bibirnya. ‘Apa aku akan terkurung di sini tanpa bisa melakukan apa pun?’ Pikiran itu membuatnya menggeleng pelan.
Diam sejenak, ia lalu menyandarkan tangan di dinding, memberi tumpuan sebelum perlahan mengangkat tubuhnya. Kakinya menopang ragu, napasnya berat. Namun akhirnya ia berdiri, masih bersandar pada dinding, pandangan lurus menatap pintu.
Satu langkah… lalu langkah berikutnya. Gerakannya lambat, menyeret kaki. Setiap geseran membuat luka di punggung terasa kembali robek, membuat giginya terkatup rapat menahan rintih.
Tiba di pintu, ia membukanya sedikit. Mengintip keluar, lorong pavilium tampak sunyi. Ia membuka pintu lebih lebar, menoleh ke kanan, searah tujuan yang semestinya ia tuju. Namun, ia berbalik ke kiri.
Langkahnya membawanya ke tempat yang kemarin malam menjadi saksi saat ia memuntahkan semua makanan dari perutnya. Seperti biasa, tak ada siapa pun di sana. Ia menurunkan tubuh, merangkak di tanah karena kekuatannya belum cukup untuk berjalan tegak.
Tangannya meraih beberapa tanaman liar di dekat semak-semak. Sesekali, matanya menoleh ke sekeliling dengan tajam, waspada. Ada kilatan curiga di sana, seperti seekor hewan buruan yang tahu dirinya sedang dipantau.
Bibirnya bergerak, bergumam nyaris tak terdengar. “Kau pikir aku bodoh… tidak tahu sedang diawasi?”
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂