Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 # Semangkok Bubur
Sesampainya di dapur, suasana terasa lebih tenang. Aroma rempah masih tersisa dari air jahe yang tadi dibuatnya. Aliza membuka lemari bahan makanan, lalu mengambil beras, sedikit daging ayam, dan beberapa potong wortel.
Ia ingin membuat bubur — sesuatu yang lembut dan hangat, cocok untuk orang sakit.
Bu Nur yang sedang memotong sayur di meja menatapnya dengan alis terangkat.
“Nona Aliza, mau masak lagi?” tanyanya pelan, masih dengan nada hati-hati.
Aliza tersenyum tipis. “Iya, Bu. Tuan muda pasti belum makan apa pun. Tenggorokannya sedang sakit, jadi saya pikir bubur ayam lebih cocok.”
Bu Nur menatapnya beberapa detik, seperti menimbang sesuatu, lalu mengangguk. “Baiklah, saya bantu siapkan bahannya.”
Aliza mulai mencuci beras, sementara Bu Nur menyiapkan ayam dan wortel. Suara gemericik air dan dentingan sendok menjadi satu-satunya yang terdengar. Meski suasana tenang, di dalam hati Aliza masih ada rasa cemas — bukan hanya karena Tuan Muda sedang sakit, tapi juga karena nada marah yang ia dengar tadi masih terngiang-ngiang.
Setelah bubur hampir matang, aroma kaldu ayam yang lembut mulai memenuhi dapur. Aliza mencicipi sedikit, memastikan rasanya pas, lalu menuangkannya ke dalam mangkuk porselen putih.
Sebelum beranjak membawa bubur itu ke kamar, ia sempat berhenti sejenak, menatap permukaan bubur yang mengepulkan uap hangat.
Semoga kali ini, Tuan Muda mau makan dengan tenang…
Aliza melangkah perlahan menuju kamar Tuan Muda Nadeo. Uap hangat dari bubur yang ia bawa menguar lembut, memenuhi lorong dengan aroma kaldu ayam yang menenangkan. Jantungnya berdebar pelan — ia masih ingat suara keras dari kamar itu beberapa waktu lalu.
Sampai di depan pintu, ia mengetuk perlahan.
“Permisi, Tuan Muda… saya Aliza,” ucapnya dengan nada hati-hati.
Tak ada jawaban selama beberapa detik, hanya suara napas berat dari dalam. Ia mencoba lagi.
“Tuan Muda, saya membawakan bubur. Mungkin tenggorokan Tuan bisa sedikit membaik kalau makan yang hangat.”
Kali ini terdengar suara rendah dari dalam, pelan tapi jelas, “Masuklah.”
Aliza membuka pintu dengan perlahan. Nadeo duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya masih lemah namun tatapannya sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Wajahnya tampak letih, dan ada sedikit keringat di pelipisnya.
Aliza meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur, lalu duduk perlahan di kursi.
“Silakan, Tuan Muda. Saya sudah memastikan rasanya tidak terlalu asin dan mudah ditelan.”
Nadeo menatap bubur itu, lalu memalingkan pandangannya ke arah Aliza.
“Kenapa kamu repot-repot membuat ini sendiri?” tanyanya lirih.
Aliza tersenyum lembut. “Karena itu kewajiban saya, Tuan. Dan… saya ingin Tuan cepat sembuh.”
Beberapa detik hening. Nadeo akhirnya mengangguk pelan.
“Baiklah.”
Aliza mengambil sendok, meniup perlahan bubur yang masih mengepul, lalu menyuapkannya ke mulut Nadeo.
Awalnya Nadeo menolak halus. “Aku bisa makan sendiri.”
Namun saat mencoba mengambil sendok, tangannya sedikit gemetar. Aliza menatapnya dengan tatapan iba.
“Tidak apa-apa, Tuan. Biar saya bantu,” ujarnya lembut.
Nadeo terdiam sejenak, lalu menghela napas dan membiarkan Aliza menyuapinya.
Sendok pertama perlahan masuk ke mulutnya — hangat, lembut, dan terasa menenangkan di tenggorokan yang masih perih.
“Apakah rasanya sesuai, Tuan?” tanya Aliza pelan.
Nadeo mengangguk pelan. “Enak. Kamu pandai memasak.”
Aliza tersenyum kecil, pipinya sedikit memerah.
“Terima kasih, Tuan.”
Ia terus menyuapi dengan lembut, memperhatikan setiap gerak Tuan Muda, takut bubur terlalu panas atau terlalu banyak. Sesekali pandangan mereka bertemu — dan dalam keheningan itu, ada sesuatu yang tak terucap.
Ketika mangkuk hampir kosong, Nadeo bersandar di sandaran kepala tempat tidur.
“Cukup, Aliza. Terima kasih. Aku merasa sedikit lebih baik sekarang.”
Aliza menunduk sopan. “Syukurlah, Tuan. Kalau begitu saya siapkan obatnya nanti setelah Tuan beristirahat sebentar.”
Ia hendak berdiri, namun Nadeo menahan pergelangan tangannya ringan.
“Aliza…” katanya pelan.
Aliza menoleh, sedikit terkejut.
“Terima kasih… untuk perhatianmu.”
Aliza tersenyum lembut. “Tidak perlu berterima kasih, Tuan. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya.”
Suasana kembali hening, namun kali ini bukan karena canggung — melainkan tenang, hangat, dan samar-samar nyaman.
Aliza melihat tubuh lelaki itu mulai bersandar lemah di kepala tempat tidur, matanya setengah terpejam. Wajahnya terlihat lebih tenang, tidak lagi sekaku tadi.
Dengan gerakan perlahan, Aliza mengambil selimut tipis dan merapikannya ke atas tubuh Nadeo. Ia menatapnya sebentar — ada rasa lega yang samar ketika melihat Tuan Muda akhirnya bisa beristirahat dengan damai.
Namun, tepat ketika ia hendak berdiri, terdengar ketukan pelan di pintu.
Tok… tok…
Aliza menoleh cepat. Sebelum sempat menjawab, pintu terbuka sedikit, menampakkan wajah tegas Sekretaris Mark. Pria itu berdiri rapi dengan setelan abu-abu dan ekspresi yang selalu terlihat serius.
“Permisi, Tuan Muda—” ucapnya, namun kata-katanya terhenti ketika matanya menangkap pemandangan di hadapannya: Aliza sedang membetulkan selimut di dada Tuan Muda Nadeo, dengan jarak yang sangat dekat.
Sekejap, udara di ruangan seolah menegang.
Aliza buru-buru menarik tangannya dan menunduk. “Saya hanya… memastikan Tuan Muda tidak kedinginan,” ujarnya cepat, nada suaranya canggung dan pelan.
Mark tidak segera menjawab. Ia menatap Aliza dengan pandangan tajam, lalu beralih ke Nadeo yang kini membuka mata perlahan.
“Ada apa, Mark?” tanya Nadeo, suaranya serak namun tenang.
“Saya datang untuk menyerahkan beberapa dokumen penting, Tuan. Mengenai proyek yang harus ditandatangani hari ini.”
Nadeo mengangguk lemah. “Letakkan saja di meja. Aku akan meninjaunya nanti.”
Mark mengangguk patuh, tapi matanya sempat menatap ke arah Aliza sekali lagi — pandangan yang sulit dibaca antara curiga dan tidak suka.
“Baik, Tuan Muda.” Ia meletakkan map hitam di atas meja, lalu berkata pelan, “Kalau begitu, saya permisi.”
Tuan Muda Nadeo menatap Mark sebelum pria itu melangkah pergi.
“Untuk sementara, kamu yang urus semua, Mark. Aku belum sanggup kembali ke kantor sebelum benar-benar sembuh.”
“Baik, Tuan Muda.”
Namun sebelum keluar, ia sempat menatap Aliza sekilas dan berkata dengan nada datar,
“Nona, sebaiknya Tuan Muda beristirahat tanpa gangguan. Saya rasa dia butuh ketenangan.”
Aliza terdiam, menunduk sopan. “Baik, Sekretaris Mark.”
Begitu Sekretaris Mark keluar, suasana kamar kembali sunyi. Aliza menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu melirik ke arah Nadeo yang kini memejamkan mata lagi.
Ia menarik napas perlahan, kemudian berbisik hampir tak terdengar,
“Tidurlah dengan tenang, Tuan Muda…”
Lalu dengan langkah pelan, ia beranjak keluar dari kamar, meninggalkan kehangatan tenang yang sempat tercipta.
hati dah mulai suka ma istri tapi munafikun kamu ,tunggu aja nanti jg nongol lagi bikin huru hara