Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak
Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.
Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 Peran baru
Arzhel melangkah masuk ke gedung MV Film, tempat yang selama ini hanya menjadi stasiun persinggahannya sebagai aktor figuran.
Biasanya, ia datang dengan santai, menunggu panggilan peran receh seperti “korban ke-3 yang jatuh di latar belakang” atau “orang yang lewat di pasar.” Tapi kali ini… ada sesuatu yang berbeda di langkahnya.
Tanpa banyak basa-basi, ia menuju ruangan Sutradara Raymond. Begitu pintu terbuka, Arzhel sempat terkejut.
Di dalam, Raymond baru saja selesai berbicara dengan beberapa orang penting—produser, investor, mungkin juga kru inti. Saat mereka keluar, Raymond langsung berdiri menyambut Arzhel dengan senyum lebar.
“Ah! Arzhel!” serunya dengan antusias, berbeda 180 derajat dari sikap biasanya.
Arzhel mengerutkan kening. Bahkan sebelum ia sempat duduk, Raymond sudah menuangkan kopi ke cangkir… bukan untuk dirinya, melainkan untuk Arzhel.
Kopi panas mengepul, aroma kacangnya menyebar hangat di ruangan.
“Ada apa ini?” Arzhel menatap curiga, mengangkat alisnya. “Biasanya saya harus menunggu satu jam di luar hanya untuk bertemu denganmu, dan sekarang… kau bahkan menuangkan kopi untukku? Jujur, ini lebih menakutkan daripada audisi peran hantu.”
Raymond tertawa terbahak-bahak, suara rendahnya bergema.
“Hahaha! Kau harusnya senang! Arzhel… aku katakan padamu, permata harus diperlakukan seperti permata! Dan aku baru sadar… selama ini aku buta.”
Arzhel menatapnya lama, sebelum mengangkat cangkir kopi itu dengan sikap hati-hati.
“Kau membuatku khawatir, Sutradara. Biasanya kalau orang berubah sikap begini, berarti ada yang kau sembunyikan.”
Raymond menepuk meja dengan semangat.
“Bukan sembunyi… tawaran! Kau tahu, seharusnya kau bicara dari awal kalau punya bakat akting sehebat itu. Kau pikir aku tidak tahu? Video rekaman terakhir itu sudah beredar di kalangan produser. Mereka semua terkesima dengan aktingmu. Kau bukan figuran, Arzhel. Kau calon bintang!”
Arzhel hampir tersedak kopinya. Ia menatap Raymond, mencoba memastikan ini bukan sekadar rayuan kosong.
“…Lalu? Kau tidak memanggilku hanya untuk memberi pujian, kan?”
Raymond tersenyum penuh misteri. Ia mengambil sebuah map berwarna hitam dari meja, lalu mendorongnya ke arah Arzhel.
“Ini. Proyek besar. Aku ingin kau jadi salah satu peran utama.”
Arzhel menelan ludah. Tangannya sedikit bergetar saat ia membuka map itu. Lembar pertama menampilkan sebuah judul yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat, seakan ada palu yang memukul dari dalam dadanya.
“Bisikan Malam: Catatan Sang Jagal”
Genre: Thriller – Pembunuh Berantai.
Seketika, udara dalam ruangan itu seolah menebal. Bayangan akan peran yang menuntut kegelapan, misteri, dan kegilaan langsung memenuhi imajinasi Arzhel.
Ini bukan sekadar proyek biasa—ini adalah pintu gerbang menuju panggung besar yang gelap.
Raymond mencondongkan tubuh, menatap Arzhel dalam-dalam.
“Bagaimana? Kau berani masuk ke dunia ini? Dunia yang tidak akan pernah membiarkanmu kembali jadi figuran?”
Raymond bersandar di kursinya, menyalakan proyektor kecil yang menampilkan beberapa cuplikan konsep visual film. Poster sementara berwarna hitam-merah darah terpampang di layar.
“Dengar, Arzhel,” ucap Raymond dengan suara dalam dan penuh tekanan. “Peran yang kutawarkan padamu bukan sekadar figuran yang lewat di latar, bukan korban yang jatuh mati tanpa nama. Kau akan menjadi… sang jagal. Pembunuh berantai yang dingin, kejam, namun penuh misteri. Karaktermu akan membunuh setidaknya dua belas orang sepanjang film.”
Arzhel terdiam, matanya menatap layar yang kini memperlihatkan potongan naskah.
Raymond melanjutkan dengan penuh semangat. “Kau bukan pemeran utama, tapi semua misteri akan berpusat padamu. Detektif—karakter utama—akan memburumu, mencari petunjuk dari setiap korban yang kau tinggalkan. Akan ada twist, kejutan besar, rahasia masa lalu yang akan terungkap. Kau bukan sekadar pembunuh, Arzhel… kau adalah inti cerita ini.”
Arzhel menelan ludah, dadanya berdegup cepat. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya, pergulatan mulai muncul.
“Sebuah peran besar… kamera akan terus menyorotku,” gumamnya lirih.
Raymond mengangguk cepat. “Tepat! Bayangkan, dari figuran menjadi aktor penting dalam thriller sebesar ini. Jika kau berhasil, kau akan dikenal semua orang. Kau bukan lagi ‘bayangan di latar belakang’.”
Arzhel tersenyum samar. Memang, tawaran itu menggiurkan. Namun, pikirannya tiba-tiba melayang pada dunia peran—kemampuan misterius yang bisa mewujudkan karakternya menjadi nyata.
Jika ia menerima peran ini, dan benar-benar masuk ke dalam karakter… maka dirinya akan sepenuhnya menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Bukan sekadar akting.
Ia menunduk, jari-jarinya mengetuk map hitam itu perlahan. :Kalau aku jadi pembunuh… apa aku bisa kembali lagi?' gumamnya dalam hati, meskipun punya pil penyegar pikiran, namun perasaan tidak nyaman sehabis syuting sangat menggangunya.
Keheningan menekan beberapa detik, hingga akhirnya ia mengangkat kepalanya dan menatap Raymond dengan mata tegas.
“Aku… akan memutuskannya nanti.”
Raymond tampak kecewa, namun senyum masih mengembang di wajahnya.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi ingat, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali, Arzhel. Aku harap kau tidak menyesal jika menolaknya.”
Arzhel hanya mengangguk, lalu berdiri. “Terima kasih, Sutradara. Aku akan pikirkan baik-baik.”
Ia meninggalkan ruangan itu, langkahnya bergema di lorong panjang gedung MV Film. Saat ia hampir keluar, langkahnya terhenti.
Dari arah berlawanan, muncul seorang wanita dengan rambut cokelat bergelombang, membawa map tebal di tangannya—Laura.
Mata mereka bertemu sejenak. Sunyi.
Arzhel menundukkan kepala, suaranya rendah. “…Maaf.”
Laura berhenti. Tangannya mengepal, seolah menahan sesuatu yang sudah lama dipendam. Lalu, dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia akhirnya membuka suara.
“Arzhel… tunggu dulu.”