(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mirip seseorang yang di cari
Seluruh anggota keluarga Garfield berkumpul di makam nyonya Garfield, semua mengenakan pakaian serba hitam dan kacamata gelap yang menutupi mata mereka.
Salju turun pelan, menutupi tanah dan membuat udara menusuk hingga tulang. Kota pun terbungkus dalam keheningan dingin.
Michelle berdiri di barisan para wanita, agak mundur di belakang barisan pria yang dipimpin William, tuan besar keluarga. Wajah William menegang saat ia mulai memimpin doa untuk anaknya yang telah tiada.
Di antara mereka kini bertambah tiga orang: Niklas, pria dingin dan tertutup yang memancarkan aura tak mudah didekati, serta putranya yang berusia lima tahun, Darrell.
Tak lupa ada suami Celline, seorang jenderal asal negeri yang sama dengan Michelle, sosok yang selama ini Michelle baru mengenalnya sebagai suami kakak iparnya.
Dan Niklas ternyata duda beranak satu, tanpa mengatahui dimana pasangannya sekarang.
Michelle beralih menatap suaminya yang berdiri tenang di depan makam, sosoknya tampak berubah—diam, terpaku. Tatapan sendunya terlihat dari celah samping kacamata hitam yang menutupi matanya, menyimpan duka dan kerinduan kepada sosok ibu.
Sontak semua menunduk hormat, membuat Michelle juga ikut menunduk kaku, karena kali pertama melihat tradisi keluarga suaminya saat berkunjung ke makam keluarga.
“Mari kita duduk, Bibi Kecil,” bisik Kimberly lembut, membuat Michelle tersentak.
Michelle menoleh ke samping, Kimberly sudah memeluk lengannya, “Apa sudah selesai?”
Kimberly mengangguk pelan, “Sudah. Hanya tinggal menunggu para lelaki. Ada satu tradisi lagi—hanya mereka yang melakukannya.”
Michelle mengikuti langkah Kimberly menuju sebuah tempat teduh, di mana bangku panjang itu sudah ada Celline dan Angel.
“Sudah terbiasa dengan cuaca dingin, Michelle?” Celline menggenggam tangan adik iparnya dengan lembut.
“Sedikit…” jawab Michelle, suaranya lirih.
“Kamu akan terbiasa. Percayalah, seiring waktu, dingin itu bukan lagi musuh.” Celline mencoba memberi ketenangan kepada Michelle, beradaptasi dengan lingkungan negara sang suami.
Michelle mengangguk kaku. "Namun sangat menyenangkan."
Ethan mendekat bersama ayahnya, Vanzo.
“Sayang, kita duluan, aku perlu bicara sesuatu dengan Ethan,” kata Vanzo pada istrinya.
Celline hanya mengangguk saja, sudah tahu apa yang akan di bicarakan suaminya dengan sang anak.
“Papa, nanti malam janji harus nemenin aku, ya. Jangan pedulikan Ethan! Ia setiap hari melihat papa.” Kimberly merajuk sambil menggenggam tangan Vanzo.
“Siap, princess. Salah siapa tinggal jauh dari kami.” balas Vanzo, tangannya menyisir rambut putrinya dengan lembut.
Ethan hanya mendengus kesal, tapi mengerti perasaan adik kembarnya yang memilih tinggal di negara ini.
Di sisi lain, Niklas menepuk bahu adiknya, Alfred, yang baru saja menyelesaikan ritual keluarga mereka.
Alfred menatap kakaknya, yang kini menggendong sang keponakan.
“Ada yang ingin aku sampaikan,” kata Niklas, suaranya serak.
Alfred mengangguk, hatinya menebak ada sesuatu yang mengganjal, karena jarang sang kakak berbicara dengannya tanpa hal penting.
“Asal kau tahu, istrimu sangat mirip dengan seseorang yang sedang dicari oleh salah satu klien kami,” bisik Niklas.
“Maksudmu apa?” Alfred mengerutkan kening, penasaran.
“Sudah sangat lama, Darco mencari seseorang lewat perusahaan,” ujar Niklas.
“Kakaknya Maxime? Siapa yang dia cari sebenarnya?” Alfred menatap Niklas dengan mata semakin penasaran.
Niklas menarik napas panjang, wajahnya berubah serius. “Entahlah. Tapi wanita itu… terlihat sangat spesial bagi Darco. Bahkan, wajahnya nyaris seperti salinan istrimu.”
Alfred menatap tajam, hampir tak percaya. “Maksudmu… istriku ada hubungannya dengan wanita yang dicari kak Darco?”
“Benar. Awalnya kakak ragu, tapi setelah mengamati foto itu, kesamaan wajahnya begitu jelas. Seperti cermin yang memantulkan satu jiwa yang sama,” kata Niklas perlahan, sebelum memberi isyarat kepada asistennya.
Seorang pria mendekat membawa tablet, lalu menampilkan sebuah foto wanita yang tengah dibicarakan.
“Lihat sendiri… bukankah sangat mirip?” Niklas menuntut Alfred untuk fokus.
Alfred mengangkat tablet, matanya menyisir setiap detail wajah itu. Nicholas ikut menatap penuh arti, sementara William hanya melirik sekilas, seolah cerita ini bukan hal baru baginya.
“Dia istri Darco,” William menyelak dengan santai, suaranya dingin namun berat.
Ketiga pria itu beralih menatapnya.
Nicholas bertanya, “Kakek, kau kenal dia?”
Wajah William tak berubah, namun sorot matanya menggenggam sebuah rahasia.
"Tentu aku sangat mengenalnya," William memulai dengan suara berat. "Bahkan keluarga Grisham pun tak mengenal istri anak sulung mereka."
Niklas menatap tajam. "Kalau begitu, kenapa kakek bisa mengenalnya?"
William menghela napas panjang, wajahnya mendadak muram. "Dulu, hubungan Darco dengan wanita itu ditentang habis-habisan oleh keluarga Grisham. Mereka menikah diam-diam saat masih sama-sama kuliah."
Ia berhenti sejenak, seolah mengumpulkan keberanian sebelum melanjutkan. "Tapi entah mengapa, sebulan kemudian, restu itu datang juga. Papa Darco yang dulu keras kepala akhirnya menerima mereka."
"Sebelum tragedi pemboman meluluhlantakkan keluarga Grisham, Darco sudah berencana memperkenalkan istrinya kepada keluarga besar. Kebetulan ia bertemu dengan kakek." Wajah William berubah tegang.
"Tiba-tiba, telepon masuk—kabar buruk tentang kediaman mereka. Darco panik, ingin segera pulang dan menyelamatkan keluarga, tapi membawa pulang istrinya bukanlah pilihan. Ia terpaksa mengirim istrinya kembali ke negaranya lewat bantuan kakek."
"Setelah itu… Darco lumpuh. Dan wanita itu? Hilang tanpa jejak. Seolah ditelan bumi." lanjutnya.
“Mungkinkah istrimu anaknya Darco?” tanya Niklas dengan nada dingin yang menyelipkan keraguan.
“Bisa jadi... tapi sebelum itu, kita bahkan belum tahu apakah dia hamil atau tidak,” sahut William dengan suara berat. “Kalau ingin membuktikan semuanya, kita harus melakukan tes DNA… secara diam-diam.”
“Tapi, bagaimana caranya kita mendapatkan sampel DNA Darco tanpa diketahui?” tanya Nicholas.
“Tentu saja, kita harus buka kartu ke Maxime. Dia pasti bisa mendapatkan sampel dari kakaknya.”
William menyela, “Kau benar. Maxime berhak tahu. Kita bisa jadikan hari pernikahannya dengan Grace sebagai momen tak terduga untuk mengungkap semuanya.”
“Semoga saja itu benar,” Alfred menghela napas berat, menatap istrinya yang sedang tertawa ringan bersama Kimberly, sebuah pemandangan yang membuatnya selalu tersenyum.
“Aku selalu dengar keluh kesah Maxime… tentang kakaknya yang seperti mayat hidup, gelisah mencari istrinya yang hilang.” lanjutnya.
.
.
Michelle duduk tegap. Sejak kepergian Celline, Kimberly, dan Angel, ia menunggu dengan sabar suaminya yang tengah berbicara dengan Niklas — masih berada di depan makam.
Pandangan Michelle tertambat pada sebuah pohon raksasa yang berdiri kokoh tak jauh dari tempat duduknya. Matanya tiba-tiba menangkap sosok wanita yang melambaikan tangan padanya—membuat dadanya berdebar.
Michelle menyipitkan mata, mencoba mengenali siapa itu, sampai pupilnya membesar penuh keterkejutan saat sadar bahwa wanita itu adalah kakak sepupunya, Elena.
Michelle bangkit seketika, menoleh ke arah suaminya yang masih tenggelam dalam pembicaraan, lalu kembali menatap Elena.
Wanita itu meletakkan jari telunjuknya di bibir, seperti membisikkan pesan sunyi: diam. Namun, lambaian tangannya kembali mengajak Michelle mendekat.
Langkah Michelle tertatih, rasa penasaran menggigit dalam hatinya—apa kakaknya sengaja datang?
Apakah ini tentang suaminya?
Saat melangkah melewati makam-makam sunyi di sekitar, tiba-tiba sebuah tangan besar menggenggam pergelangan tangannya. Michelle seketika berbalik, pandangannya menatap wajah pemilik tangan itu.
“Om?” gumamnya.
"Mau ke mana?" tanya Alfred dengan suara penuh tanya, matanya tak lepas menatap Michelle.
"A-ku..." Michelle menoleh cepat ke pohon tersebut, berharap melihat kakak sepupunya di sana. Tapi yang dilihatnya hanya hampa—Elena tak lagi ada di sana.
Hatinya berdebar tak karuan. "Apa aku salah melihatnya?" gumamnya pelan dengan wajah penuh kebingungan.