Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.
Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.
Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 : Hasil Akhir
Begitu pedang ungu gelap itu benar-benar digenggam oleh Jiang Shen, aura tajamnya menyebar ke seluruh arena. Saat ia menebas ringan ke depan, kekuatan pusaka tingkat Bumi langsung memancarkan tekanan yang begitu kuat hingga bahkan Lin Xueyin—yang memegang pedang pusaka tingkat Awan—merasa tangannya sedikit bergetar.
Mata indah Xueyin melebar sejenak. Ia tidak menyangka, pemuda yang baru saja terkenal semalam di kota Jinan ini bisa memiliki pedang sekuat itu. Jika dia terus bertumbuh dan mendapatkan pusaka yang lebih cocok, bahkan aku … mungkin saja bisa kalah olehnya. Pikiran itu membuat hatinya berdebar tipis, sesuatu yang jarang sekali ia rasakan di tengah pertarungan.
Namun, Lin Xueyin bukanlah gadis lemah. Dengan dinginnya yang khas, ia menegakkan tubuhnya, mengangkat pedang es yang berkilau di tangannya, dan aura dingin membekukan udara di sekelilingnya. “Kalau begitu,” ucapnya lirih, “kita lihat sampai mana kau bisa menandingiku.”
WUSSHHH!
WUSSHHH!
Jiang Shen tidak membalas dengan kata-kata. Ia langsung melangkah maju, pedangnya menyala dengan cahaya keemasan samar, menandakan tekniknya sudah mulai diaktifkan. Suara gemuruh seolah berasal dari dalam pedangnya, hawa panas bercampur dengan energi matahari.
Dua teknik pedang yang berbeda akhirnya dilepaskan.
Lin Xueyin menari dengan pedangnya, gerakan anggun namun mematikan, dan setiap ayunan melepaskan bilah es yang tajam, membekukan udara sekitarnya. Inilah Teknik Pedang Es yang selama ini membuat namanya dijuluki Peri Kota Jinan.
Di sisi lain, Jiang Shen mengibaskan pedangnya dengan gerakan cepat, setiap ayunan menyulut percikan cahaya keemasan, seolah menyalakan fajar di tengah arena. Teknik Pedang Matahari yang diwarisi dari Hun Zhen kini benar-benar dikeluarkannya tanpa ragu, setiap tebasan membawa panas membara yang seakan mampu membakar langit.
CLANG!
Benturan pertama terjadi suara logam beradu bercampur dengan letupan energi. Lapisan es dan kobaran api saling menghantam, menghasilkan guncangan hebat yang membuat tanah arena retak-retak. Penonton menahan napas, sebagian bahkan berdiri tanpa sadar, matanya tidak bisa lepas dari dua sosok yang bergerak begitu cepat dan penuh intensitas.
Sepuluh menit berikutnya berubah menjadi pertarungan sengit yang seimbang. Lin Xueyin beberapa kali melukai lengan dan bahu Jiang Shen dengan bilah esnya, namun Jiang Shen membalas dengan pedang matahari yang membakar udara, meninggalkan bekas hangus di pakaian hijau zamrud Xueyin.
Darah segar menetes dari tubuh keduanya, nafas mereka mulai berat. Energi Qi di dalam dantian masing-masing terkuras dengan cepat, namun tak ada yang mau menyerah.
“Luar biasa …” gumam salah satu tetua sekte yang duduk di kursi kehormatan.
“Dua anak muda ini … seolah ditakdirkan untuk bersinar bersama,” sahut yang lain dengan mata penuh rasa kagum.
Arena benar-benar bergemuruh oleh sorak sorai penonton. Tidak ada yang bisa berkata-kata dengan jelas, mereka hanya bisa bersorak dan berteriak, menyaksikan duel yang bahkan lebih menegangkan daripada duel para senior mereka.
Akhirnya, setelah puluhan bentrokan pedang, keduanya terhuyung mundur bersamaan. Nafas terengah, tubuh penuh luka, pakaian compang-camping, dan peluh bercampur darah.
Namun pada saat itu, Jiang Shen dan Lin Xueyin saling menatap. Tatapan mereka tidak lagi sekadar tatapan lawan, melainkan pengakuan diam-diam—pengakuan bahwa di hadapan mereka berdiri seseorang yang sama sekali tidak bisa diremehkan.
Arena kembali hening. Hanya suara napas berat mereka berdua yang terdengar, sementara semua orang tahu … pertarungan baru saja memasuki titik yang akan menentukan segalanya.
Darah bercampur peluh menetes dari tubuh keduanya, namun baik Lin Xueyin maupun Jiang Shen sama sekali tidak menunjukkan niat untuk berhenti. Aura mereka memanas, menyelimuti seluruh arena dengan tekanan yang membuat para penonton menelan ludah tanpa sadar.
Lin Xueyin menggenggam pedang pusaka tingkat Awannya, napasnya tersengal namun tatapan matanya tetap dingin dan penuh tekad. Suara lirih keluar dari bibirnya, seolah mantra yang hanya ia dan langit yang mendengar.
“Teknik Pedang Es — Tarian Teratai Salju.”
Sekejap kemudian, hawa dingin yang menusuk tulang meluap dari tubuhnya. Di udara, bunga-bunga es berbentuk teratai bermekaran, berputar mengikuti ayunan pedangnya. Setiap kelopak teratai itu membawa bilah es setajam ribuan pisau, berkilauan indah namun mematikan.
Jiang Shen tidak tinggal diam. Dengan tubuh yang hampir roboh, ia mengangkat pedang ungu gelapnya yang bergetar oleh sisa energi Qi terakhirnya. Senyumnya muncul, samar namun penuh keyakinan. “Kalau begitu, aku akan menanggapinya dengan ini.”
Pedangnya menyala, sinar emas memancar begitu terang hingga memaksa sebagian penonton menutup mata.
“Teknik Pedang Matahari — Cahaya Menyilaukan!”
Arena seketika berubah menjadi pertarungan antara musim dingin abadi melawan matahari siang hari.
Teratai salju berputar menuruni langit, membekukan udara di sekitarnya, sementara pedang matahari Jiang Shen meledakkan cahaya keemasan yang menyilaukan, membakar hawa dingin itu dengan panas yang seolah sanggup merobek langit.
Keduanya bertabrakan di tengah arena ...
BOOOMM!!!
Ledakan besar meledak, tanah bergetar hebat, dan suara retakan memenuhi udara.
CRACK!
Arena batu yang kokoh hancur berkeping-keping, bebatuan terlempar ke segala arah seperti hujan meteor.
Gelombang energi yang dilepaskan terlalu besar bagi penonton biasa. Para tetua panitia yang duduk di tribun langsung bergerak serempak, membentuk lapisan penghalang bercahaya yang menjulang tinggi. Penghalang itu bergetar hebat saat hantaman energi menerpa, namun tetap berdiri kokoh, melindungi ribuan pasang mata yang menyaksikan duel paling dahsyat dalam sejarah turnamen itu.
“Ini gila … mereka hanya di usia belasan tahun!” seru salah satu tetua dengan wajah kaku.
“Jika mereka terus bertumbuh, masa depan benua ini mungkin benar-benar akan berubah,” tambah yang lain dengan nada terkejut.
Ledakan energi akhirnya mereda. Asap dan debu menutupi seluruh arena, membuat semua orang menahan napas, menunggu siapa yang akan berdiri terakhir.
Namun, ketika debu perlahan-lahan menghilang, pemandangan di hadapan mereka membuat seluruh stadion terdiam.
Di tengah arena yang kini sudah hancur berantakan, Jiang Shen dan Lin Xueyin sama-sama tergeletak tak sadarkan diri. Tubuh mereka penuh luka, pedang mereka terlempar dari genggaman, dan wajah keduanya pucat pasi.
Sunyi … sejenak tidak ada satu pun suara terdengar.
Lalu, keributan besar meledak di antara penonton.
“Imbang?!”
“Tidak mungkin … final ini berakhir tanpa pemenang?”
“Ini pertama kalinya sepanjang sejarah turnamen!”
Klan Lin segera melompat turun ke arena. Beberapa tetua mereka mengangkat tubuh Lin Xueyin dengan penuh kehati-hatian, membawa sang Peri Kota Jinan menuju ruang pengobatan.
Sementara itu, panitia turnamen dengan cepat mendekati Jiang Shen. Melihat kondisinya yang parah namun napasnya masih teratur, mereka mengangkat tubuhnya dan membawanya ke ruang pemulihan khusus yang disediakan bagi para peserta.
Sorakan, bisikan, dan diskusi langsung memenuhi tribun. Semua orang membicarakan hal yang sama: apa yang harus dilakukan dengan hadiah final? Turnamen ini sejak dahulu hanya menetapkan satu pemenang tunggal, namun sekarang hasilnya benar-benar berakhir seimbang, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya.
“Apakah kita membaginya dua?” bisik salah satu tetua.
“Tidak bisa semudah itu … ini akan memicu perdebatan panjang.”
“Bagaimanapun juga, sejarah telah tercipta hari ini.”
Arena yang hancur, penonton yang masih berdebar, dan dua anak muda yang tak sadarkan diri—semua itu akan dikenang dalam catatan turnamen besar Kota Jinan sebagai pertarungan paling megah, paling emosional, dan paling mengejutkan yang pernah ada.
MC nya belom mengenal luas nya dunia karena belom berpetualang keluar tempat asal nya,hanya tinggal dikota itu saja
Jangan buat cerita MC nya mudah tergoda pada setiap wanita yg di temui seperti kebanyakan novel2 pada umum nya,cukup 1 wanita.