Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. pindah rumah
Hari itu jam kerja sudah selesai. Kantor perlahan mulai sepi, hanya terdengar suara mesin printer dan langkah karyawan yang bergegas pulang. Nadin masih duduk di meja, sibuk menutup laptop sambil menghela napas panjang.
“Dua laporan selesai, dan belum ada yang lempar gosip baru hari ini, puji Tuhan,” gumamnya lega.
Namun belum sempat ia bangkit, suara lembut tapi agak genit terdengar di belakangnya.
“Kerja keras banget ya, Nadin. Kayaknya kamu butuh istirahat … atau butuh ditemani pulang?”
Nadin menoleh dan menemukan Gibran sudah berdiri di belakang kursinya, satu tangan menyelip di saku, satu lagi membawa dua cup kopi. Senyumnya terlalu manis buat ukuran jam pulang kantor.
“Uh, terima kasih, Pak Gibran. Tapi saya bisa pulang sendiri kok,” jawab Nadin cepat sambil merapikan barangnya.
Gibran menunduk sedikit, menatapnya dengan ekspresi yang terlalu santai untuk orang baru seminggu kerja.
“Masa? Kantor udah sepi banget, loh. Lagian, rumah kamu kan deket sama rumah Pak Marvin ya? Lewat arahku juga, bisa sekalian.”
Nadin refleks mendongak, “Hah? Kok tahu rumahku deket rumah Pak Marvin?”
“Yah … gosip kantor kan cepat beredar,” jawab Gibran sambil tersenyum miring. “Tenang aja, aku bukan tipe orang yang percaya gosip. Tapi aku bisa pastikan, aku pengen kenal kamu lebih jauh, secara pribadi.”
Nadin mengedip cepat, matanya membulat. “Secara pribadi? Maksudnya...”
Belum sempat Gibran melanjutkan, suara klakson mobil terdengar di depan gedung kaca kantor. Semua orang menoleh karena bunyinya nyaring banget.
Di luar, tampak mobil hitam elegan berhenti tepat di depan pintu masuk. Marvin turun, masih dengan jas hitamnya, wajah datar, dan aura CEO tak sabarannya yang khas.
“Nadin!” serunya datar tapi cukup keras hingga terdengar sampai ke dalam lobi. Seluruh mata langsung beralih ke arah Nadin yang kini ingin menguap jadi angin.
“Ya ampun, kenapa harus di depan umum, sih,” gumamnya pelan.
Gibran menaikkan satu alis. “Kamu dijemput bos besar?”
Nadin tersenyum canggung. “Ehm … iya. soalnya … kami tetangga. Rumahnya deket, jadi sekalian aja bareng.”
“Serius cuma tetangga?” tanya Gibran pelan tapi tajam.
“Serius banget, kami itu kayak...”
“Nadin!” suara Marvin kembali terdengar, kali ini lebih rendah tapi lebih tegas.
Nadin langsung reflek mengambil tasnya. “Saya duluan ya, Pak Gibran. Nanti ngobrolnya disambung kapan-kapan.”
Begitu ia keluar, Marvin sudah bersandar di pintu mobil dengan wajah datar khasnya. Ia membuka pintu tanpa banyak bicara, menunggu Nadin masuk.
“Tumben?” tanya Nadin sambil mengencangkan sabuk pengaman.
Marvin melirik sebentar. “Aku cuma lewat.”
Nadin mendengus. “Lewat sampai nyalain klakson sepuluh detik gitu?”
Marvin tak menjawab, tapi tangan kirinya tiba-tiba bergerak menyalakan musik, seolah ingin menutupi ekspresi wajahnya yang menegang.
“Kamu nggak perlu bareng Pak Gibran. Aku nggak suka orang lain … terlalu dekat dengan karyawanku.”
Nadin menatapnya dengan senyum nakal. “Atau … kamu nggak suka orang lain terlalu dekat sama istrimu, Pak CEO?”
Marvin memutar kepala perlahan, menatapnya tajam tapi ada semburat merah di pipinya.
“Nadin, kita kan sepakat merahasiakan pernikahan ini. Jadi, tolong jangan asal ngomong.”
“Loh, aku cuma nanya. Nggak asal ngomong,” balas Nadin sambil menyandarkan kepala di kursi, pura-pura santai. “Tapi kamu sih, dari tadi muka jutek banget. Kalau aku beneran bareng Pak Gibran, kamu marah ya?”
Marvin diam, satu tangan mengetuk setir pelan, suaranya dingin tapi jelas,
“Aku nggak marah, cuma … kurang suka.”
“Beda tipis, Pak CEO. Beda tipis,” goda Nadin sambil terkekeh. Dan di luar sana, di jendela lantai dua kantor, Aulia berdiri menatap mobil yang menjauh. Matanya menyipit, tangan menggenggam ponselnya erat.
“Jadi, benar dugaan aku. Ada sesuatu antara mereka.”
Senyum miring muncul di wajahnya senyum yang menandakan gosip baru sedang disiapkan.
Mobil hitam milik Marvin baru saja berhenti di depan rumah keluarga Arshanti. Belum juga mesin dimatikan, Nadin sudah buru-buru membuka sabuk pengaman.
“Oke, makasih udah nganter, Pak Tetangga. Aku turun dulu, ya!”
Dia cepat turun sebelum Marvin sempat menjawab. Tapi langkahnya mendadak terhenti. Di depan pagar, Rani dan Damar sudah berdiri rapi seperti dua panitia RT yang sedang siap menyambut tamu kehormatan.
Wajah Rani berseri-seri, sementara Damar melambaikan tangan ke arah mobil Marvin.
“Eh, tuh kan, barengan lagi sama Marvin!” seru ibunya riang. “Pas banget, Nak, Ibu mau ngomongin sesuatu.”
Nadin mengerutkan dahi. “Ngomongin apa lagi, Bu? Jangan bilang...”
“Barang-barangmu udah Ibu kirim ke rumah Marvin pagi ini!” kata Rani cepat, dengan senyum lebar yang terlalu mencurigakan.
“Apa?!”
Nadin hampir menjatuhkan tasnya. “Bu, aku udah bilang belum mau pindah ke sana! Aku masih betah di rumah ini!”
Damar tertawa kecil. “Betah atau masih belum rela tidur sekasur lagi sama suami?”
“Pak!” Nadin langsung menatap ayahnya dengan pipi merah padam. Marvin yang baru keluar dari mobil cuma berdiri diam, menatap adegan itu seperti menonton sinetron keluarganya sendiri. Ia sempat melirik rumah sebelah dan tentu saja, di sana Alexander dan Araya sudah berdiri di teras, melambaikan tangan penuh semangat seperti baru nonton konser. Jaraknya lumayan jauh teras dengan pagar, tetapi pagar itu begitu dekat dengan rumah Nadin, hanya lima langkah.
“Marvin! Nadin! Sini, Sayang!” seru Araya dengan suara lembut namun menggoda. “Mama udah siapin makan malam, kalian pasti lapar habis kerja.”
Rani langsung menimpali, “Wah, pas banget tuh! Daripada kamu sendirian di sini, Nad, mending langsung pulang ke rumah suamimu. Ibu nggak tenang kalau kamu tidur sendiri.”
Nadin menatap ibunya dengan pasrah. “Bu, aku tuh belum siap hidup serumah dengan mertua. Lagian kamarnya Marvin pasti bau parfum cowok banget!”
Marvin menatapnya santai, nada suaranya datar tapi jelas,
“Kalau kamu nggak suka baunya, gampang. Aku pindah ke sofa.”
Rani menatap Marvin dengan bangga. “Lihat tuh, suamimu pengertian banget!”
Nadin mendengus pelan. “Pengertian kepala semut, Bu. Dia tuh dingin kayak kulkas 10 pintu.”
“Yang penting kulkasnya isi, bukan kosong,” seloroh Damar disertai tawa yang bikin Nadin makin pengin kabur.
Sementara dari halaman sebelah, Alexander dan Araya sudah melangkah ke pagar.
“Ayo, ayo, biar cepat pindah! Rumah kalian sudah disiapin. Kasurnya baru, bantalnya empuk, ada AC dingin dan ada Mama di dapur, siap masak sup hangat buat pengantin baru!”
Nadin menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Tuhan … semua orang kayaknya lebih semangat dari aku yang nikah.”
Marvin menahan tawa, tapi sudut bibirnya jelas terangkat. “Ayo, Bu, Pak, saya antar dia sekalian.”
“Bagus!” seru Rani dengan nada puas. “Dan jangan berantem-berantem lagi di malam hari, ya!”
“Bu!” geram Nadin menahan malu.
Rani berkedip polos. “Loh, Ibu cuma ngingetin. Malam pertama kalian aja rumah ini bergetar kayak ada gempa kecil.”
Damar sampai batuk-batuk menahan tawa. “Iya, Bapak sampai sempat nyari helm.”
Nadin membelalak ke arah orang tuanya. “Ta ampun, Pak! Bisa nggak sih, yang begitu nggak perlu di omongin!"
Sementara di seberang pagar, Araya justru tertawa gemas.
“Ah, Nadin memang lucu banget. Cocok sekali buat Marvin yang terlalu serius itu. Ayo, Nak, pulang sama suamimu. Mama tunggu makan malamnya.”
Nadin menatap Marvin, berbisik pelan,
“Aku bersumpah, kalau kamu senyum sekarang, aku lempar sepatu ini.”
Marvin tetap diam, tapi tatapan matanya jelas menggoda.
“Tenang aja, aku cuma senyum di dalam hati.”
“Bagus,” gumam Nadin ketus.
Dia pun akhirnya melangkah ke arah mobil lagi, sambil menoleh ke belakang, “Bu, aku pulang dulu. Tapi kalau aku hilang tiga hari, panggil polisi!”
Rani melambaikan tangan sambil tertawa. “Nggak bakal hilang, paling malah betah!”
Dan begitulah diiringi tawa dua keluarga yang saling menggoda dari halaman masing-masing, Nadin akhirnya dipulangkan ke rumah suaminya sendiri.
Marvin hanya menggeleng kecil sebelum masuk ke mobil, sementara di kursi sebelahnya, Nadin bersungut-sungut seperti kucing basah.
“Aku bener-bener pengen pindah planet…”
“Selama planet itu masih di bawah nama Papa, kamu tetap istriku,” sahut Marvin santai.
“Ih, CEO ngeselin.”
“Tapi suami sah,” balasnya cepat.
Dan kali ini, Nadin tidak bisa menahan tawa.
'Mungkin tinggal serumah dengan Marvin takkan seburuk itu.' pikirnya.
rasanya pengen tak getok aja tuh kepalanya Anita biar gegar otak sekalian . jadi orang kok murahan banget mau merebut suami orang .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
sampai bacanya gemes tolong pelakor di hempaskan biyar kapok dan kena karmanya....
heeee lanjut Thor semangat 💪
tapi ingat aja Anita.... kamu gak akan menang melawan wanita bar-bar seperti Nadin Alexander .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
dan ternyata drama ibu hamil masih berlanjut terus . bukan Nadin yang hamil yang bikin heboh , tapi Marvin suaminya malah sekarang ditambah mertuanya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
tapi pantes aja sih kelakuan Anita kayak gitu , orang ajaran dan didikan ibunya juga gak bener .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
apalagi sekarang Nadin lagi hamil makin sayang dan cinta mereka makin tumbuh lebih besar .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍