"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiara pingsan
Raisa dan Galang masih duduk di ruang tamu. Hujan deras masih menyelimuti malam itu. Tiara sudah tertidur sambil memeluk Reihan di sampingnya. Sementara Denis masih duduk di balkon sambil mengingat pertemuan dengan Tiara sore tadi.
"Galang, Tumben kau bersikap seperti itu?" tanya Raisa menelisik.
"Maksud Mama? Sikap yang mana?"/tanya Galang balik.
" Tak biasanya kau bersikap peduli, apalagi dengan Tiara. Apa terjadi sesuatu padanya?" tutur Raisa lagi.
"Ah itu... lebih baik Mama bertanya langsung padanya. Aku tak ingin ikut campur." jelas Galang.
"Berarti memang ada sesuatu, begitu?" sahut Raisa lagi.
Galang hanya mengangguk pelan. Tak lama Bu Suti keluar dari dapur sambil membawa teh hangat di nampan.
"Silahkan di minum Nyonya, Tuan..."
"Oh iya bu Suti, tentang pagi tadi, aku rasa kecurigaan mu benar." kata Raisa, bu Suti langsung mengernyit.
"Maksud Nyonya, nona Tiara ?" tanya bu Suti, Raisa hanya mengangguk pelan.
Bu Suti meletakkan nampan di atas meja, tangannya sempat bergetar halus sebelum ia duduk perlahan di kursi sebelah Raisa. Raut wajahnya terlihat serius, seolah mencoba menimbang-nimbang kata.
"Kalau boleh saya jujur... nona Tiara mungkin selama ini sangat menderita. Aku melihat dirinya selalu menangis di kamar tuan muda Reihan." aku bu Suti.
Galang terdiam sesaat. Selama ini ia bersikap dingin dan terlalu keras padanya tanpa tahu apa yang Tiara pendam didalam hatinya.
"Kau benar bu Suti. Dari yang aku tahu saat pertama bertemu dengannya, Tiara hanya mengatakan jika hidupnya sudah tak berharga. Dan aku pikir... itu hanya perasaannya saja. Tapi entah kenapa setiap melihatnya berdiam diri,tatapannya selalu berbeda." ungkap Raisa juga.
Galang yang hanya mendengar pembicaraan mereka pun hanya diam sambil membayangkan pertemuan Tiara dengan Denis sore tadi. Dadanya terasa sesak, ada gemuruh amarah yang tak dapat ia sembunyikan namun Galang mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Ma, aku ke atas dulu. Besok aku masih harus bekerja." ungkap Galang.
Raisa mengangguk mengiyakannya. Galang pun naik dan meninggalkan dua wanita paru baya itu di ruang tamu. Sejenak Galang berhenti di depan pintu kamar Reihan. Perlahan ia memutar handel pintu dan melihat Tiara tertidur pulas bersama Reihan.
Galang menghela nafas pelan, lalu menutup kembali pintu kamar itu sangat pelan. Galang melangkah menuju kamarnya, tatapannya berhenti saat melihat hadiah pemberian Denis tadi.
Kembali Galang membukanya, sebuah bros berbentuk bunga lili yang mengingatkannya pada bunga yang tergeletak di atas makam putra Tiara.
"Apakah ini takdir? Atau kebetulan ?" gumam Galang.
***
Keesokan paginya Tiara merasa pusing ketika ia baru saja bangun saat hendak menyusui Reihan. Mungkin karena kelelahan dan menangis kemarin.
Tiara memejamkan mata sesaat, menahan rasa pening yang berputar di kepalanya. Tubuhnya terasa lemah, pandangannya sedikit kabur. Ia menarik napas pelan, mencoba menstabilkan diri sambil merengkuh Reihan yang mulai menggeliat kecil di pelukannya.
"Maaf ya, Nak… Mama cuma agak pusing," bisiknya lirih, suaranya nyaris hilang tertelan pagi yang masih sunyi.
Langit masih tampak abu-abu, sisa hujan semalam membuat udara terasa dingin dan lembap. Tiara hendak berdiri untuk mengambil air putih di meja kecil, namun baru beberapa langkah ia berjalan, pandangannya berkunang. Ia segera memegang dinding agar tidak terjatuh.
Saat itu, pintu kamar terbuka perlahan. Galang berdiri di ambang pintu dengan pakaian kerjanya yang rapi, dasi hitam di leher, dan wajah datar seperti biasa. Namun tatapannya langsung berubah begitu melihat Tiara yang tampak pucat.
"Tiara?" panggilnya, cepat melangkah mendekat.
Tiara menoleh pelan, mencoba tersenyum meski bibirnya kering.
"Tuan… maaf, aku tidak bermaksud mengganggu Anda. Aku hanya ingin..."
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya limbung. Galang refleks menangkapnya sebelum jatuh.
"Tiara!" seru Galang panik, memeluk tubuhnya yang lemas. Ia menepuk pipi Tiara pelan, mencoba membuatnya sadar.
Tiara membuka mata samar-samar, menatap wajah Galang yang begitu dekat.
"Maaf…aku hanya sakit kepala saja"
"Diam," ujar Galang cepat tapi lembut.
"Kau demam. Tubuhmu panas sekali." tambahnya.
Tanpa pikir panjang, Galang mengangkat Tiara dalam gendongannya. Ia membaringkannya kembali di tempat tidur, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Reihan yang tadinya diam, mulai menangis kecil karena merasakan suasana tegang.
"Tenang, Nak… Mama baik-baik saja," gumam Galang pelan, tanpa sadar ia refleks menyebut mama untuk putranya.
Bu Suti lalu menggendong Reihan setelah mendengar suara gaduh begitu ia masuk kamar.
"Astaga, Nona Tiara kenapa, Tuan?" tanya Bu Suti panik.
"Sepertinya dia demam dan kelelahan. Tolong ambilkan air hangat dan kain basah."
"Baik, Tuan!" jawab Bu Suti cepat, bergegas ke dapur.
Galang menggulung kemejanya lalu duduk di tepi ranjang, menatap Tiara yang kini tertidur dengan napas berat. Ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak, bukan sekadar kasihan, tapi lebih dari itu. Ia teringat wajah pucat Tiara di pemakaman kemarin, tatapannya yang kosong namun penuh luka.
Tangannya tanpa sadar menyentuh kening Tiara, mengusap peluh halus di sana.
"Kau terlalu kuat untuk menanggung semuanya sendiri,” bisiknya pelan.
"Galang, apa yang terjadi?" kata Raisa saat muncul di pintu, wajahnya ikut khawatir.
"Dia demam, Ma. Mungkin Kelelahan," jawab Galang singkat.
Raisa mendekat, memeriksa Tiara yang masih terbaring.
"Ya Tuhan, Tiara... kenapa kau seperti ini, Nak? Kau sudah panggil dokter?"
Galang hanya mengangguk, pandangannya tak beralih dari Tiara.
"Mungkin sebentar lagi dokter Ridwan akan datang, Ma. Aku sudah menghubunginya tadi."
Bu Suti masuk sambil membawa air hangat dan handuk kecil sesuai yang dipinta Galang. Sambil menunggu dokter Ridwan, Galang perlahan mengompres kening Tiara.
Raisa memperhatikan gerak-gerik putranya yang begitu hati-hati saat mengompres kening Tiara. Cara Galang memeras kain dan menempelkan handuk kecil itu di dahi Tiara begitu lembut, berbeda dari sosoknya yang biasanya tegas dan dingin. Ada sesuatu dalam sorot matanya—perhatian yang tak ia sadari tengah tumbuh.
"Galang…" panggil Raisa pelan, setengah berbisik agar tidak membangunkan Tiara.
"Aku rasa, kau tidak perlu menunggu dokter sendirian. Biarkan Mama yang di sini." sambungnya.
Galang menggeleng pelan tanpa menoleh.
"Tidak apa, Ma. Aku akan tunggu sampai dokter datang. Kau istirahat saja dulu."
Raisa menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas panjang.
"Baiklah, tapi kalau panasnya tidak turun, segera panggil Mama."
Ia lalu menatap Tiara sejenak sebelum keluar dari kamar, diikuti Bu Suti yang membawa Reihan agar Tiara bisa beristirahat. Kini hanya Galang dan Tiara di dalam kamar. Hujan kecil masih menetes di luar, meninggalkan suara lembut yang mengisi keheningan pagi. Tiara tampak tenang, meski keringat dingin masih membasahi pelipisnya.
Galang memperhatikan wajah itu dengan saksama, pucat, namun tetap cantik. Ada kesan rapuh yang selama ini tak pernah ia lihat, karena Tiara selalu berusaha tampak kuat di depan semua orang. Tiba-tiba Tiara menggeliat kecil. Kelopak matanya terbuka perlahan, menatap Galang dengan pandangan kabur.
"Tuan… kenapa Anda di sini?" suaranya serak, lemah.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️