Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Di tengah hiruk-pikuk kota Amerika yang tak pernah tidur, sebuah penthouse menjulang tinggi, seolah menjadi menara sunyi bagi penghuninya. Dari luar tampak mewah, dari dalam memantulkan kesepian yang pekat. Gadis yang tadi berenang di kolam rooftop kini berjalan pelan menuju kamarnya. Kaki-kakinya yang masih basah meninggalkan jejak air di lantai marmer putih.
Pintu kamar terbuka, aroma lembut parfum bercampur klorin masih melekat di tubuhnya. Ia berhenti sejenak di depan meja rias, membiarkan matanya menangkap pantulan dirinya di cermin besar. Gadis itu menatap lekat, seolah berusaha mengenali sosok yang kini berdiri di depannya.
“Sudah… tiga tahun sejak hari itu,” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan yang hanya dirinya sendiri bisa dengar.
Tangannya perlahan membuka laci meja rias, suara engselnya berderit halus, menyingkap benda yang selama ini ia sembunyikan: sebuah cincin emas. Bukan sekadar perhiasan, melainkan penanda identitas yang tidak boleh ada seorang pun tahu. Di dalam cincin itu, terukir nama yang dulu ia sandang dengan bangga— Elanor Cromwell. Huruf-hurufnya dipahat indah, sederhana tapi penuh makna.
Air matanya nyaris jatuh, tapi ia buru-buru menghela napas panjang. Rambutnya yang kini sebahu, lurus berwarna pirang keemasan, berkilau samar terkena pantulan lampu kamar. Ia bahkan nyaris tidak lagi mengenali dirinya sendiri—gadis dengan rambut hitam panjang itu telah ia kubur bersama nama lamanya.
Tatapannya kembali pada cermin, lebih tajam, lebih dingin. Suaranya kini terdengar mantap, seolah ia sedang bersumpah pada bayangan yang menatap balik dari balik kaca.
“Elanor Cromwell sudah mati… tiga tahun lalu.”
Ia menyelipkan cincin itu ke jari manisnya, dan untuk pertama kalinya senyum samar terbit di bibirnya. Bukan senyum gadis manis penuh kasih, tapi senyum yang menyimpan luka, sekaligus tekad yang membara.
“And now, Kimberley Morgan will take her position… and no one will ever know the truth.”
Cermin seakan merekam transformasi itu. Dari seorang gadis yang pernah dicintai banyak orang, menjadi sosok baru yang misterius, dengan identitas yang terbungkus rapat.
Tanpa ragu lagi, ia melangkah keluar dari kamar, gaun tipisnya berayun mengikuti langkah pasti. Di luar, seorang pelayan sudah menunggu. Dengan sopan, pria itu membungkuk sedikit.
“Miss, your father is waiting for you in his office.”
Kimberley atau Elanor yang pernah ada, hanya mengangguk tenang.
Dan dengan itu, ia melangkah pergi, meninggalkan bayangan lamanya di balik pintu kamar, seolah menegaskan kalau Elanor Cromwell memang sudah tiada. Yang kini hidup, hanyalah Kimberley Morgan.
Pintu kaca berbingkai hitam terbuka perlahan. Kimberley melangkah masuk dengan mantap, rambut pirangnya yang sebahu masih sedikit basah setelah berenang, meninggalkan jejak aroma klorin yang samar. Sepatu hak tipis yang ia kenakan berdenting lembut di atas lantai marmer putih.
“Hello, Daddy,” sapanya pelan namun hangat.
Pria paruh baya yang duduk di belakang meja besar dari kayu mahoni itu langsung mengangkat kepala. Senyum lembut merekah di wajahnya, sebuah senyum yang jarang ia tunjukkan pada dunia luar. Ia berdiri, menyibakkan jas hitamnya, lalu berjalan mendekat dengan langkah penuh wibawa.
“That’s my beloved daughter,” katanya sambil merentangkan tangan. “How are you, girl?”
Kimberley menyambutnya dengan senyum tipis. “I’m fine, Daddy.”
Mereka berdua akhirnya duduk di sofa panjang yang terletak di sisi ruangan. Dari jendela kaca besar di belakang mereka, pemandangan kota yang sibuk terbentang; gedung-gedung pencakar langit berbaris, lampu-lampu lalu lintas berkedip-kedip, dan suara samar kehidupan malam kota Amerika menyusup masuk.
Sebuah jeda sunyi mengisi ruangan. Sang ayah menatap putrinya dengan pandangan yang sulit dibaca, antara bangga, cemas, dan penuh cinta. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya dengan nada rendah tapi tegas.
“Are you really sure, planning to return… to that place? To the land where they once tried to kill you?”
Pertanyaan itu menggantung berat di udara. Kimberley tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah ayahnya, lalu tersenyum hangat—senyum yang memadukan kelembutan seorang anak dengan keteguhan seorang wanita yang sudah ditempa luka.
Ia meraih tangan ayahnya, menggenggam erat seolah ingin meyakinkan.
“I can take care of myself, Dad. Trust me. You don’t have to worry.”
Ayahnya memejamkan mata sebentar, mengembuskan napas panjang. Ia tahu putrinya keras kepala, sama keras kepalanya seperti dirinya di masa muda. Ketika ia membuka mata lagi, tatapannya lebih serius, lebih gelap.
“Listen to me, Kimberley,” katanya dengan suara berat. “If anything happens to you… if they dare to touch even a single hair on your head again—” ia terdiam sejenak, rahangnya mengeras, “—I will blow that country to the ground. I swear it.”
Kimberley terkekeh pelan. Nada ancaman ayahnya terdengar terlalu besar, terlalu berlebihan, tapi di balik itu ia tahu satu hal: pria ini benar-benar akan melakukannya jika ia sampai kehilangan dirinya lagi. Dengan lembut, ia membungkuk, mengecup pipi ayahnya.
“I love you, Dad,” bisiknya.
Sang ayah hanya terdiam, membiarkan kehangatan itu bertahan sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang.
Kimberley bangkit berdiri. Rambut pirangnya jatuh menutupi sebagian wajahnya, tapi matanya bersinar tajam, penuh dengan tekad yang tersembunyi di balik kelembutan senyumnya. Ia melangkah menuju pintu, meninggalkan ruangan itu dengan aura misterius
Begitu Kimberley mendorong pintu kayu besar itu, langkahnya terhenti mendadak. Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi dengan tubuh tegap, mengenakan setelan hitam yang rapi. Nicholas, bodyguard yang selalu ditugaskan sang ayah untuk menjaganya, berdiri seperti patung, seakan telah menunggu sejak lama.
Kimberley terlonjak kaget.
“Jesus, Nico!” serunya sambil menepuk dadanya. “Were you trying to give me a heart attack?”
Ekspresi Nicholas tidak berubah. Sorot matanya tenang, dingin, penuh wibawa.
“My apologies, Miss Morgan. I was instructed to wait here for you,” jawabnya datar.
Kimberley mendengus kesal, bibirnya mengerucut manja. “You’re always so stiff, Nico. Can’t you just say something like, ‘Hey Kim, how was your talk with Daddy?’”
“I am not permitted to address you in that manner, Miss,” Nicholas menimpali, tetap dengan nada formal dan sikap kaku.
Kimberley menatapnya dengan dramatis, lalu menghela napas panjang. “Ugh, you’re impossible. No wonder I always end up looking like the childish one around you.”
Nicholas tidak bergeming, seakan kata-kata itu hanya angin lalu.
Kimberley akhirnya menyerah, mengibaskan tangannya ke udara. “Fine. Forget it. Just… get my suitcase ready.”
Nicholas sedikit memiringkan kepalanya. “For what purpose, Miss?”
Kimberley menatap lurus ke matanya, kali ini tanpa senyum, nada suaranya penuh ketegasan.
“Tomorrow,” ujarnya, “we’re going back. Back to Olympus City.”
Kali ini, ada sedikit perubahan di wajah Nicholas. Alisnya berkerut tipis, rahangnya mengeras. “Miss Morgan… are you certain? That city—”
“I know exactly what that city means, Nico,” Kimberley memotong cepat, suaranya tenang namun tegas. “But Elanor Cromwell is dead. Kimberley Morgan is the one returning. Don’t forget that.”
Hening beberapa detik. Nicholas akhirnya menundukkan kepalanya, tanda patuh meski jelas ada keraguan dalam dirinya.
“As you wish, Miss Morgan. I will have everything prepared by dawn.”
Kimberley tersenyum tipis, puas. Ia melewati Nicholas dengan langkah ringan, aroma parfumnya sempat tertinggal di udara. “Good boy, Nico,” ucapnya sambil terkekeh kecil. “Always so reliable.”
-----
Pagi itu, langit kota masih diselimuti semburat jingga ketika Kimberley Morgan melangkah keluar dari pintu kaca penthouse. Rambut pirangnya yang sebahu bergoyang ringan tertiup angin pagi. Nicholas sudah berdiri di samping sedan hitam panjang yang diparkir di pelataran. Tubuh tegapnya tegak lurus, tatapan lurus ke depan, seperti prajurit yang selalu siaga.
Kimberley mendengus kecil. “You know, Nico… sometimes I wonder if you sleep standing up.”
Nicholas hanya menoleh sekilas. “I make sure to be ready whenever you need me, Miss Morgan.”
Kimberley menggeleng sambil tersenyum geli. “There it is again! That cold, perfect answer. Don’t you ever get tired of being… well, boring?”
“A bodyguard is not meant to entertain, Miss,” balas Nicholas, tetap datar.
Kimberley mendekat, matanya berkilat nakal. Ia berjinjit sedikit lalu menatap wajah Nicholas dari dekat, seakan berusaha membaca pikirannya.
“Come on, Nico. Just once, smile for me. Just once. I bet you’d look a hundred times more handsome.”
Nicholas terdiam, wajahnya tetap sama kaku. Kimberley mendesah dramatis lalu menyandarkan dagunya di bahunya.
“You see? This is why people think I’m the crazy one. Because you’re just—”
Tiba-tiba, Nicholas menarik napas panjang, dan sudut bibirnya bergerak sedikit—sangat tipis, hampir tidak terlihat. Sebuah senyum kecil, sekilas, yang langsung menghilang.
Kimberley terbelalak, matanya membesar. “Oh my God! Did you just… smile?!”
Nicholas cepat-cepat menegakkan tubuhnya. “It was not intentional, Miss.”
Kimberley terkekeh keras sambil menepuk tangannya. “I did it! I broke the great Nicholas! You can smile after all.”
Nicholas menunduk sedikit, mencoba menutupi ekspresinya, tapi jelas pipinya menegang. Kimberley semakin geli melihat itu.
“Don’t worry, your secret’s safe with me,” katanya, dengan nada menggoda. “But seriously, you should do that more often. Makes you look… less like a robot.”
Nicholas akhirnya menyerah dengan helaan napas berat. “If it makes you happy, Miss Morgan, then… I suppose I can try.”
Kimberley tersenyum puas, lalu menyelinap masuk ke dalam mobil. “Good. Now let’s fly back to hell, shall we?”
---
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di bandara pribadi. Jet hitam dengan logo keluarga Morgan sudah siap di landasan. Awak kabin berbaris rapi, menundukkan kepala begitu Kimberley melangkah keluar dari mobil.
Dengan kacamata hitam menutupi wajahnya, Kimberley tampak seperti bintang film yang kembali dari masa pensiun. Ia menoleh sekilas ke Nicholas, yang tetap berjalan satu langkah di belakangnya.
“You know, Nico…” katanya sambil menaiki tangga jet, “going back to Olympus feels like stepping into a lion’s den. Aren’t you scared?”
Nicholas menjawab tanpa ragu, suaranya tenang tapi dalam.
“My only concern is your safety, Miss. Fear is irrelevant.”
Kimberley berhenti sejenak di anak tangga terakhir, menoleh padanya dengan senyum tipis.
“That’s why I keep you around. You’re my shield, my sword… and sometimes, my unwilling clown.”
Nicholas hanya mendengus pelan, kali ini benar-benar tidak bisa menahan ekspresi setengah jengkel yang jarang sekali muncul di wajahnya.
Kimberley tertawa puas, lalu masuk ke dalam jet. “See? I told you I’d get to you one day.”
Mesin jet mulai meraung. Beberapa menit kemudian, pesawat itu terangkat dari landasan, menembus awan menuju langit biru.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭