Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama setelah handuk melorot
Malam tak berakhir dengan drama atau kecanggungan—justru sebaliknya. Setelah handuk Reva nyaris melorot sepenuhnya dan Raka buru-buru menarik selimut untuk menutupinya, keduanya duduk berdampingan di tepi tempat tidur, masih saling berpelukan, napas mereka perlahan kembali tenang. Hujan di luar mulai reda, menyisakan tetes-tetes lembut yang mengetuk jendela seperti irama pengantar tidur.
Reva menyandarkan kepalanya di bahu Raka, rambutnya yang masih lembap meninggalkan bekas basah di kaosnya. Ia menghela napas, lalu berkata pelan, “Kalau kamu bilang ini ke mama dan papa, aku bakal pura-pura nggak kenal kamu seumur hidup.”
Raka tertawa, suaranya hangat dan rendah. “Aku malah mau pasang spanduk di depan kamar : ‘Reva akhirnya mengakui kalau aku pria paling memesona se-indonesia .’”
Reva mendorong dadanya dengan siku. “Gila! Kamu itu—”
“Gila karena kamu,” potong Raka, menangkap tangannya sebelum ia sempat menyerang lagi. Ia mengecup punggung tangan Reva, lalu menatapnya dengan senyum yang membuat jantung Reva berdebar tak karuan. “Tapi serius… aku nggak akan cerita ke siapa-siapa. Ini cuma kita berdua.”
Reva meleleh. Ia menatap matanya—mata yang selama ini ia anggap iseng dan penuh canda, tapi kini terasa begitu dalam, begitu nyata. “Kamu berubah, ya?”
“Nggak berubah. Cuma… berani,” jawabnya lembut. “Aku capek pura-pura nggak peduli.”
Reva tersenyum, lalu membenamkan wajahnya di dadanya lagi. “Aku juga.”
Mereka diam sejenak, hanya mendengarkan suara hujan dan detak jantung masing-masing. Lalu, tiba-tiba Reva mendongak. “Eh, tapi tadi… kamu lihat berapa lama sih sebelum masuk?”
Raka pura-pura berpikir keras, menggaruk dagu. “Hmm… sekitar tiga detik? Tapi aku langsung tutup mata! Janji!”
“Bohong! Matamu melotot kayak lihat hantu!” Reva tertawa, pipinya memerah.
“Kalau hantunya secantik kamu, aku rela dihantui tiap malam,” balas Raka, lalu cepat-cepat menghindar saat Reva menggapai bantal di sampingnya.
“Dasar gombal!” serunya, melempar bantal ke arahnya.
Raka menangkapnya dengan mudah, lalu meletakkannya kembali di tempat tidur. “Aku nggak gombal. Aku cuma jujur. Lagian, kamu sendiri kan yang bilang ‘jangan berhenti’ tadi?”
Reva langsung terdiam, wajahnya memerah lagi. “Itu… itu karena suasana! Jangan dipakai buat ngeledek!”
“Siapa ngeledek? Aku cuma mengingatkan bahwa kamu juga suka,” goda Raka, lalu menariknya kembali ke pelukannya sebelum ia sempat kabur.
Reva menggerutu, tapi tak benar-benar melawan. Ia nyaman di sana—terlalu nyaman untuk dilepaskan. “Kamu tahu nggak, aku sempat mikir kamu nggak suka sama aku ,karena kamu punya cewek lain '.
Raka mengerutkan dahi. “cewek lain ? "
"Iya,siapa tahu sebelum kamu menikah denganku ,kamu sudah punya cewek ."
Mendengar ucapan Reva ,raka nampak tersenyum .kemudian kembali memeluk Reva
"Aku nggak ada cewek lain ,karena sudah ada cewek yang menjadi pendamping hidupku ,cewek yang suka marah marah kalau aku suka lupa makan ." ucap Raka dan kembali mengecup pipi Raka .
Reva mengerjap ,dan tersenyum . “Kamu ingat itu?”
“Semua hal kecilmu, aku ingat,” katanya pelan, lalu menambahkan dengan cengiran, “Termasuk waktu kamu nyanyi lagu dangdut sambil masak mie, terus pura-pura nggak tahu pas aku ketawa di luar pintu.”
Reva menutup wajahnya dengan tangan. “Astaga… itu memalukan.”
“Nggak. Itu lucu. Dan manis,” ujar Raka, menarik tangannya perlahan. “Aku suka kamu apa adanya. Bahkan pas kamu marahin aku karena nyuruh bayar listrik bareng.”
“Karena kamu selalu lupa bayar!” protes Reva.
“Tapi sekarang aku nggak akan lupa lagi,” janjinya, menatap matanya. “Karena sekarang kita… lebih dari sekadar teman hidup?”
Reva menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Lebih. Tapi jangan jadi sok romantis tiap hari, ya. Aku nggak tahan.”
“Janji. Cuma pas kamu pakai handuk doang,” selorohnya.
Reva langsung mencubit lengannya. “Raka!”
“Adu duh! Serius, aku janji! Nggak akan godain kamu pas kamu lagi mandi… kecuali kamu izinin,” tambahnya cepat, lalu tertawa saat Reva mengacak-acak rambutnya kesal.
Tapi tawanya perlahan mereda. Ia menatap Reva dengan lembut, lalu menyentuh pipinya. “Aku senang kamu nggak marah.”
“Aku sempat kaget… tapi nggak marah,” akunya. “Karena… aku juga merasa hal yang sama. Cuma takut salah paham.”
“Sekarang nggak ada salah paham lagi,” kata Raka, lalu mencium keningnya. “Kita mulai dari sini. Perlahan. Serius. Tapi tetap… kita.”
“Artinya tetap boleh ngeledek kamu tiap kamu nyanyi fals?” tanya Reva, matanya berbinar.
“Boleh. Asal kamu tetap di sini,” jawabnya, menariknya lebih dekat.
Mereka duduk dalam diam yang nyaman, saling memeluk seperti dua bagian yang akhirnya utuh. Tak ada tekanan, tak ada drama—hanya kejujuran yang akhirnya berani diucapkan.
Lalu, perut Reva berbunyi keras.
Raka tertawa. “Lapar?”
“Mandi lama bikin lapar,” jawab Reva malu-malu.
"kita makan yuk ?" sahut Raka
"Ayok ! tapi aku ingin makan yang anget -anget,malas makan nasi ."
mendengar ucapan Reva Raka nampak terdiam
“Sepertinya Ada mie instan di dapur. Aku masak?”
“Tapi kamu masaknya selalu keasinan.”
“Kali ini aku janji nggak pakai garam berlebihan,” ujarnya, lalu berdiri dan menawarkan tangannya. “Tapi kamu harus pakai baju dulu. Aku nggak mau godaan kedua malam ini.”
Reva memukul lengannya, tapi menerima tangan itu dan berdiri. “Pergi dulu. Aku ganti baju.”
Raka berpaling, tapi sebelum keluar, ia menoleh lagi. “Kalau kamu butuh bantuan buka kancing—”
“Keluar!” seru Reva sambil melempar sandal.
Raka tertawa riang dan menutup pintu, tapi suaranya masih terdengar dari luar, “Aku tunggu di dapur, calon ibu dari anak -anakku!”
Wajah Reva merona ,tapi senyum tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia cepat-cepat mengenakan kaos dan celana pendek favoritnya, lalu menyisir rambut yang mulai kering. Di cermin, ia melihat wajahnya—masih memerah, tapi bersinar dengan cara yang berbeda.
Di dapur, Raka sudah sibuk merebus air, memecahkan telur dengan canggung, dan mencoba membaca petunjuk di bungkus mie. Reva bersandar di kusen pintu, memperhatikannya.
“Kamu kayak orang pertama kali masak,” komentarnya.
“Ini pertama kalinya aku masak buat orang yang aku suka,” jawab Raka tanpa menoleh. “Jadi harus sempurna.”
Reva mendekat, berdiri di sampingnya. “Nggak perlu sempurna. Asal nggak keasinan, aku makan.”
Raka menoleh, lalu mencium pipinya cepat. “Kamu bikin aku jadi ingin jadi lebih baik.”
“Jangan lebay,” goda Reva, tapi ia memegang tangan Raka sebentar sebelum kembali ke kursi makan.
Mereka makan berdua di meja kecil itu, berbagi satu mangkuk mie besar—seperti yang sering mereka lakukan dulu, tapi kini rasanya berbeda. Setiap sentuhan tak sengaja, setiap tatapan, setiap tawa kecil terasa lebih bermakna.
“Jadi… sejak kapan?” tanya Reva tiba-tiba.
“Sejak kamu marahin aku karena nyuci baju bareng tanpa pisahin warna putih,” jawab Raka tanpa ragu. “Pas itu kamu terlihat… galak banget. Tapi aku malah jatuh hati.”
Reva tertawa. “Kamu aneh.”
“Tapi kamu suka.”
“Mungkin… sedikit.”
“Sedikit aja cukup,” kata Raka, menatapnya lembut. “Aku akan buat kamu suka lebih.”
Reva menatapnya, lalu mengambil sumpit dan mencubit hidungnya. “Asal jangan bikin aku malu di depan mama papa”
“Janji. Cuma di kamar mandi aja kamu malu,” selorohnya lagi.
“Raka!”
Tapi ia tak bisa marah lama-lama. Karena di balik candaan itu, ia tahu—Raka benar-benar serius. Dan untuk pertama kalinya, Reva merasa bahwa cinta tak harus dramatis atau penuh bunga. Cukup dengan mie instan, hujan malam, dan seseorang yang tahu cara membuatmu tertawa bahkan saat kamu sedang memakai handuk yang nyaris jatuh.
Malam itu, mereka tak langsung tidur. Mereka duduk di balkon kecil, memandang langit yang mulai berbintang setelah hujan. Raka melingkarkan lengannya di bahu Reva, dan Reva menyandarkan kepalanya di bahunya.
“Besok aku antar kamu kuliah,” kata Raka.
“Ban Mobil kamu masih bocor.”
“Aku perbaiki. Demi kamu.”
Reva tersenyum. “Kalau bocor lagi, aku tinggal jalan kaki.”
“Nggak boleh. Aku nggak mau kamu kehujanan lagi.”
“Kamu mulai kayak drama Korea.”
“Kalau kamu suka, aku jadi oppa-mu.”
Reva tertawa, lalu mencubit pipinya. “Oppa yang norak.”
“Tapi oppa yang sayang kamu,” balas Raka, mencium puncak kepalanya.
Dan di bawah langit malam yang tenang, di antara tawa dan bisikan lembut, dua hati yang selama ini saling menunggu akhirnya berani melangkah—bukan dengan gembar-gembor, tapi dengan kehangatan yang tulus, penuh cinta, dan sedikit canda yang selalu menjadi bahasa mereka.
Karena cinta mereka bukan tentang kesempurnaan. Tapi tentang keberanian untuk jujur… bahkan saat hanya mengenakan handuk pendek.