Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelaku Sebenarnya
Meskipun Zoe sudah berkata, jika bukan dia pelakunya. Tetap saja para pria itu tidak percaya, mengingat mereka masih belum percaya jika Zoe telah berubah.
Arya dengan kasar menarik pergelangan tangan Zoe. “Ikut gue! Lo harus ke ruang guru sekarang juga! Lo harus tanggung jawab atas perbuatan lo.”
“Lo udah kelewatan, Zoe!” sahut Arvan sambil menggenggam lengan Zoe yang lain. “Kali ini lo harus dikeluarin dari sekolah ini! Lo udah terlalu jauh bully Alicia!”
Zoe menghempaskan tangan mereka berdua dengan gerakan cepat. Suaranya tegas dan penuh emosi. “Gue udah bilang! Bukan gue pelakunya! Kalian ini tuli, hah?!”
Namun Levi, Arya, Arvan, dan bahkan Dwiki tetap berdiri di depan Zoe, menghadangnya. Hanya Jayden yang diam, entah kenapa dia tidak percaya Zoe melakukan hal ini.
“Lo cuma ngeles, Zoe,” kata Levi tajam. “Mau sampai kapan lo bohong? Gak ada orang lain yang mungkin ngelakuin itu selain lo!”
Zoe mengepalkan tangannya, napasnya mulai berat. “Lo semua. gila ya?”
Arya kembali menjulurkan tangan, kali ini hendak mendorong Zoe. Tapi sebelum sempat menyentuhnya, tiba-tiba....
Bugh!
Bugh!
Plak!
Zoe dengan cepat menangkap tangan Arya, memelintirnya, dan membanting tubuh pria itu ke lantai dengan gerakan cepat. Arvan maju, namun Zoe memukul dada Arvan dengan siku hingga terhuyung. Dwiki mencoba menahan Zoe dari belakang, tapi Zoe memutar tubuh dan menyikut dagu Dwiki.
Levi, yang paling tenang, justru terpaku. Namun saat akhirnya ia bergerak maju, Zoe menyapu kakinya hingga Levi ikut jatuh terhempas di lantai lorong sekolah yang mulai dipenuhi kerumunan siswa yang menonton.
Brugh!
Semua orang terdiam merasa terkejut. Beberapa siswa menahan napas, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.
Zoe berdiri di tengah lingkaran itu, napasnya memburu, tatapannya tajam menusuk ke arah keempat pria di lantai.
“Gue udah bilang, bukan gue pelakunya!” bentaknya. “Apa kalian ini gak paham bahasa manusia?!”
Tiba-tiba terdengar suara berat dari arah lorong, “Adaa apa ini?!”
Semua orang menoleh. Pak Jef, guru olahraga yang berbadan besar dan berwajah serius, datang dengan langkah cepat.
Levi, yang meringis sambil memegang sikunya, menunjuk Zoe. “Pak! Zoe … Zoe udah mukulin kita. Kami cuma mau bawa dia ke ruang guru karena dia ngebully Alicia. Tapi dia malah nyerang kita duluan.”
Pak Jef menatap Zoe dengan tajam. “Benar itu, Zoe? Kamu mukuli mereka?”
Zoe tetap tenang, meski nafasnya masih naik-turun karena memukul para pemuda itu.
“Kalau soal mukul, iya, Pak. Karena saya dibentak, ditarik, dan dipaksa pergi tanpa bukti. Saya refleks bela diri,” katanya tegas. “Tapi kalau soal membully Alicia, itu tidak benar. Apa saya harus ngakuin sesuatu yang gak saya lakuin cuma karena ditekan ramai-ramai?”
“Dia bohong, Pak!” seru Arya.
“Gak usah percaya dia! Dia manipulatif!” tambah Arvan cepat.
Suasana semakin tegang sampai terdengar suara langkah cepat mendekat.
“Zoe!”
Semua kepala menoleh. Ryder muncul dengan seragam sekolahnya yang kusut, tatapannya langsung mengarah ke Zoe yang masih berdiri di tengah kerumunan.
Zoe menoleh. “Gue gak apa-apa,” ucapnya singkat.
Ryder berjalan maju, menatap satu per satu wajah pria yang terkapar di lantai.
“Kalau semuanya masih ribut soal siapa pelakunya,” katanya dingin, “kenapa gak kita lihat CCTV aja?”
Beberapa murid langsung mengangguk-angguk setuju. Pak Jef juga tampak berpikir sejenak.
Levi berdiri dengan susah payah. “Baik. Kita lihat. Tapi kalau Zoe ketahuan bohong, dia harus sujud minta maaf ke Alicia dan dikeluarin dari sekolah.”
Arya menimpali cepat, “Betul! Ini udah kelewat batas!”
Zoe hanya menyipitkan mata, lalu menoleh ke Ryder.
Ryder menatap Levi dengan dingin. “Kalau ternyata Zoe gak salah, lo semua yang sujud minta maaf di depan dia.”
Dwiki tertawa sinis. “Heh, gak mungkin. Zoe pasti pelakunya.”
Levi menepis debu di seragamnya. “Iya, gak mungkin Zoe gak bersalah. Tapi kalau emang bener dia gak salah gue sujud.”
Arya dan Arvan sama-sama menyeringai meski masih meringis kesakitan. “Gue juga.”
Zoe menarik napas pelan, lalu tersenyum tipis. “Oke. Kita lihat aja siapa yang bakal sujud.”
Pak Jef menyela, “Semua ikut saya ke ruang keamanan. Kita selesaikan ini sekarang.”
Dan dengan langkah-langkah berat penuh ketegangan, mereka bergerak menuju ruang CCTV.
**
Ruang keamanan terasa sesak. Semua mata menatap layar monitor besar di dinding, sementara seorang petugas mulai memutar rekaman CCTV seperti yang diminta oleh Pak Jef dan guru kesiswaan.
Zoe berdiri di sisi Ryder, wajahnya datar dan tanpa emosi. Di seberang, Levi, Arya, Arvan, dan Dwiki tampak percaya diri. Senyum tipis menghiasi bibir mereka, seolah sudah yakin apa yang akan mereka lihat akan mempermalukan Zoe.
Rekaman kini mulai diputar.
Tampak Alicia keluar dari kelas, berjalan santai ke arah toilet perempuan. Tak ada yang aneh, Alicia masuk toilet dan beberapa menit keluar sambil merapikan rambutnya.
Tak lama setelah itu, muncul sosok Melisa bersama dua temannya Clara dan Janice. Mereka dengan jelas terlihat menarik paksa Alicia masuk ke dalam toilet. Salah satu dari mereka berdiri di depan pintu toilet, menempelkan kertas bertuliskan "toilet rusak".
Lalu, terdengar jeritan dari dalam, karena cctv itu dilengkapi dengan suara, raut ketakutan dan kepanikan Alicia begitu jelas saat ditarik masuk. Tubuhnya tampak melawan, namun Melisa dan dua gadis lainnya terlalu kuat.
Ruangan itu terlihat sunyi. Bahkan guru kesiswaan pun terdiam.
Dwiki menelan ludah, Levi mengerutkan keningnya, sementara Arya dan Arvan saling pandang dengan raut tak percaya.
Tapi dengan cepat, Arvan berucap, “Di dalam toilet itu gak ada kameranya. Bisa aja Zoe udah ada di dalam duluan. Dia kerja sama sama Melisa.”
“Iya,” timpal Levi cepat. “Bisa aja, kan? Mereka konspirasi. Zoe memang licik dari dulu!”
Zoe mengangkat alis, menatap mereka seperti menatap makhluk asing. Tapi sebelum dia bisa buka suara, Ryder maju satu langkah.
Bugh!
Tinju Ryder mendarat keras di pipi Arvan, membuat cowok itu terjatuh dan mengaduh.
“Lo masih aja nuduh orang tanpa bukti!” seru Ryder tajam, suaranya menggema di ruangan.
Pak Jef langsung menarik Ryder mundur. “Ryder! Jangan pakai kekerasan! Ini sekolah!”
“Maaf, Pak,” ucap Ryder dengan rahang mengeras. “Tapi saya gak tahan liat orang yang keras kepala dan buta hati!”
Levi maju, wajahnya merah padam. “Pak, bisa aja yang Arvan bilang tadi itu benar! Gak ada kamera dalam toilet! Bisa aja Zoe nyuruh Melisa dan Zoe menunggu di dalam, apalagi Zoe gak ada di kelas waktu jam pelajaran!”
“Cukup!” bentak Pak Jef dengan nada tajam.
Sebelum suasana semakin panas, pintu ruang keamanan terbuka.
Bu Tania, guru matematika, masuk sambil membawa beberapa buku. Dia tampak bingung melihat keributan di dalam.
“Lho, Zoe! Ternyata kamu di sini,” katanya. “Kebetulan Ibu baru saja ingin mampir ke kelas kamu. Ini buku untuk persiapan olimpiade matematika dan kimia. Tadi Ibu lupa kasih pas kita latihan tadi.”
Pak Jef langsung berbalik. “Bu Tania, maksud Ibu, Zoe ada bersama Ibu saat jam pelajaran pertama tadi?”
Bu Tania mengangguk. “Ya, saya, Bu Mega, dan Bu Moon tadi sedang memberi soal latihan pada Zoe di ruang guru. Dia kan perwakilan sekolah untuk olimpiade minggu depan.”
Suasana langsung berubah sunyi. Bahkan tarikan napas Levi pun terdengar jelas.
Ryder menyeringai kecil. “Lihat tuh. Bukti Zoe gak ada di kelas karena lagi di ruang guru. Jadi yang bilang dia ke toilet buat ngebully Alicia itu semua omong kosong dan jelas fitnah.”
Arya dan Arvan menunduk, wajah mereka memerah karena malu. Dwiki hanya berdiri kaku, tak berani bicara.
Pak Jef menatap mereka semua. “Kalian … sudah menuduh Zoe tanpa bukti. Bahkan menghasut teman-teman lain untuk ikut percaya. Ini serius. Sangat serius.”
Levi menggertakkan giginya. “Gue … gue gak tahu .…”
“Dan ingat! Kalian udah janji,” sela Ryder sambil melipat tangan, “kalau Zoe gak bersalah, kalian bakal sujud minta maaf.”
Tatapan semua orang kini tertuju ke empat siswa yang wajahnya berubah pucat itu.
Pak Jef menoleh pada guru kesiswaan. “Saya serahkan penanganan mereka pada Ibu.”
Guru kesiswaan mengangguk tegas. “Saya akan laporkan ini ke kepala sekolah. Dan kalian.” dia menunjuk Levi dan teman-temannya, “siapkan diri untuk konsekuensinya.”
Zoe tetap berdiri diam. Sorot matanya dingin namun tenang.
Ryder menoleh ke arahnya dan berbisik, “Lo gak apa-apa?”
Zoe menjawab tanpa menoleh, “Gue baik. Tapi harga diri orang, kalau diinjak, gak bisa dibalikin kayak semula.”
hadehh kasihan nya zoee
zoe yg skrg mah beda kalii
mana ada zoe kok mumdur dan takut blm tau aja zoe skrg adalh jiwa zoe dr alam lain kali ehh alam apa ya masa iya alam lain 🤣🤣🤣🤣