Boqin Changing, Pendekar No 1 yang berhasil kembali ke masa lalunya dengan bantuan sebuah bola ajaib.
Ada banyak peristiwa buruk masa lalunya yang ingin dia ubah. Apakah Boqin Changing berhasil menjalankan misinya? Ataukah suratan takdir adalah sesuatu yang tidak bisa dia ubah sampai kapanpun?
Simak petualangan Sang Pendekar Dewa saat kembali ke masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berinvestasi
Terlihat sebuah kedai mie sederhana dengan papan nama Mie Selendang Mayang di depan mereka. Boqin Changing memilih singgah ke kedai itu karena ia cukup familiar dengan nama kedai itu di kehidupan pertamanya. Huruf-huruf pada papan nama tersebut persis seperti milik sebuah restoran terbesar Kekaisaran Qin di masa depan.
Pada kehidupan pertamanya, Selendang Mayang adalah restoran paling terkenal seantero Kekaisaran Qin. Cabangnya tersebar di mana-mana, bahkan sampai ke luar kekaisaran. Rasanya luar biasa lezat dan memiliki penggemar setia yang tak terhitung jumlahnya.
Namun, Boqin Changing merasa aneh. Restoran yang begitu terkenal di masa depan, mengapa saat ini hanya berupa kedai sederhana? Jangan-jangan ini sebenarnya kedai lain yang hanya kebetulan memiliki nama yang sama.
Wang Tian dan Boqin Changing kemudian masuk ke dalam. Ruangannya tidak terlalu luas dan, anehnya, sama sekali tidak ada pengunjung.
“Permisi, apakah kedainya masih buka?” tanya Wang Tian di dalam kedai.
Seorang lelaki tua bertubuh gemuk bergegas menghampiri mereka dengan tergesa-gesa.
“Selamat datang, Tuan. Silakan duduk, nanti saya bawakan menunya,” ucapnya sambil mempersilakan mereka duduk di meja kosong.
Setelah itu, pria gemuk tersebut kembali untuk mengambil daftar menu. Saat Boqin Changing melihatnya, ia terkejut melihat daftar menu itu sama persis dengan milik Restoran Mie Selendang Mayang di masa depan.
Dalam benaknya, ia mulai menduga mungkinkah kedai ini adalah cikal bakal restoran besar itu? Sekarang ia hanya perlu memastikan rasa makanannya. Boqin Changing tahu betul cita rasa mie tersebut karena di kehidupan pertamanya ia cukup sering memakannya.
Setelah mereka memesan, hidangan pun tiba. Tanpa menunggu lama, Boqin Changing langsung mencicipi semangkuk mie panas di depannya.
“Pelan-pelan, Chang’er,” tegur Wang Tian.
“Baik, Guru,” jawabnya sambil menelan suapan pertama.
Benar saja, rasanya… sama persis. Boqin Changing pun yakin, kedai ini memang Selendang Mayang sebelum berkembang menjadi sebuah restoran besar.
“Ah… enak sekali mienya, Chang’er. Aku belum pernah makan mie seenak ini,” puji Wang Tian.
Boqin Changing hanya tersenyum dan memesan beberapa porsi tambahan. Setelah kekenyangan, sebuah ide terlintas di kepalanya.
“Guru, bagaimana kalau kita berinvestasi di kedai ini? Aku yakin di masa depan tempat ini akan berkembang pesat.”
Wang Tian mengangkat alis. “Apa maksudmu?”
Boqin Changing pun menjelaskan rencananya membeli kepemilikan kedai sebelum ada investor lain masuk. Dengan masuk di awal, mereka akan mendapat keuntungan besar saat kedai ini sukses di masa depan. Penjelasannya begitu sistematis, bahkan tampak seperti seorang pebisnis ulung. Wang Tian akhirnya mengangguk, nyaris tersihir oleh pemikiran visioner muridnya.
“Terserah kamu saja, Chang’er. Saat ini kita punya seratus koin emas, dan itu sebenarnya milikmu. Kalau kamu ingin menginvestasikannya di sini, Guru tidak keberatan.”
Boqin Changing tersenyum puas. Ia memanggil pemilik kedai, yang ternyata bernama Liung Nei. Dari penuturannya, kedai ini baru dibuka kemarin, sehingga belum banyak pelanggan. Boqin Changing lalu menawarkan modal seratus koin emas untuk membantu pengembangan.
Awalnya Liung Nei menolak, khawatir tidak sanggup mengembalikan uang sebesar itu jika usahanya gagal. Namun, dengan “rayuan maut” yang diselipi tawaran berbagi kepemilikan, Boqin Changing berhasil meyakinkannya.
Akhirnya, mereka sepakat. Boqin Changing dan Wang Tian memegang 40% saham, sementara 60% saham lainnya tetap milik Liung Nei. Persentase yang lebih besar sengaja ia berikan karena Liung Nei yang akan menjalankan operasional, sedangkan dirinya dan gurunya hanya menjadi investor pasif.
Boqin Changing kemudian meminta kertas dan pena untuk menulis kontrak serta rencana pengembangan. Liung Nei hanya bisa melongo melihat seorang anak sekitar sebelas tahun begitu mahir menulis perjanjian bisnis. Wang Tian sendiri memilih pindah meja, meneguk arak, dan membiarkan muridnya mengurus semua negosiasi.
Liung Nei mulai curiga bahwa Boqin Changing mungkin anak bangsawan besar yang sedang berkelana. Cara bicaranya, rencananya yang terstruktur, dan keberaniannya menanam modal sungguh di luar dugaan.
“Ah, akhirnya selesai, paman. Mulai sekarang, kita rekan kerja,” ujar Boqin Changing sambil menyerahkan kontrak bertanda tangan dan sidik jarinya.
“Saya yang beruntung, tuan muda. Saya janji akan mengikuti instruksi Anda,” balas Liung Nei sambil menandatangani surat perjanjian itu.
Boqin Changing lalu berniat memanggil gurunya untuk ikut menandatangani kontrak. Baginya, ini juga bentuk bakti seorang murid untuk memastikan gurunya memiliki masa depan yang terjamin secara ekonomi. Namun saat ia menoleh… Guru Tian sudah tertidur di atas meja.
“Aih… sepertinya aku terlalu lama berbincang dengan Paman Liung Nei,” gumamnya sambil tersenyum kecut.
bosen kl tarung melulu😅