Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 32
Sandra, Bagas, Mira, dan Indra baru saja tiba di rumah mendiang mertua sekaligus orang tua mereka. Sayangnya, hanya Bima dan Regina yang mengetahui perihal tersebut, karena sesuai kesepakatan, jika anggota keluarga yang dititipkan di panti jompo meninggal, pihak keluarga tidak akan diberi tahu.
"Mas, kenapa sih dari rumahnya si Bima kamu cuekin aku? Malah asyik sama makanan," protes Mira pada suaminya, Indra.
"Iya nih, Mas Bagas juga malah asyik dengan makanan," sambung Sandra.
"Memangnya kenapa? Itu makanan orang kaya, sayang kalau tidak kita nikmati," ucap Indra.
"Iya, kalian saja yang aneh. Kalaupun Bima mengeluarkan uang banyak untuk acara empat bulanan anaknya, biarin saja, yang penting bukan uang kita," timpal Bagas.
Mendengar jawaban yang tak memuaskan, Sandra dan Mira pun geram. "Tidur di luar!" keduanya kompak berseru.
Mira dan Sandra berjalan masuk ke kamar masing-masing sambil menghentakkan kaki. Indra dan Bagas masih berusaha mencerna ucapan istri mereka.
"Eh, tidak bisa begitu dong!" teriak Bagas yang baru saja sadar. Ia langsung berjalan ke arah kamarnya, tangannya menekan gagang pintu, tapi sayang, Sandra, sang istri, sudah lebih dulu mengunci pintu dari dalam.
Melihat Bagas, sang adik, dikunci dari luar oleh istrinya, Indra pun cemas. Ia bergegas membuka pintu kamar. Sama saja, dirinya pun juga dikunci dari luar.
Kedua kakak beradik itu pun menghela napas kasar dan membanting tubuh mereka di sofa panjang. Malam ini, mereka tidur ditemani nyamuk di ruang tamu.
Keesokan harinya, Bagas dan Indra baru saja bangun. Mereka saling bertatapan, lalu kompak meraih ponsel dan mengusap layarnya. Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh.
Seketika, tubuh mereka lemas tak bertulang. Mereka terlambat bekerja. Kalaupun mereka tetap berangkat, hari sudah terlalu siang, hampir jam makan siang. Keduanya memilih menyalakan televisi untuk mengusir kebosanan.
Tak lama kemudian, pintu kamar dari masing-masing terbuka. Istri mereka baru saja bangun dan menatap kedua kakak beradik itu dengan heran.
Mira mengambil segelas air putih dan menghampiri sofa, duduk di samping suaminya, Indra. Sementara itu, Sandra baru saja keluar dari kamar mandi, terlihat mengusap wajahnya dengan handuk kecil.
"Kalian tidak bekerja?" ucap Sandra membuka suara.
Bagas dan Indra masih diam, terpaku pada ponsel masing-masing, seolah tuli akan pertanyaan Sandra.
Kening Mira berkerut melihat tingkah suaminya dan kakak iparnya. Apakah ini karena kejadian semalam saat mereka dikunci di luar? Tapi, di sisi lain, Mira merasa ini juga salah mereka karena lebih membela Bima daripada istri sendiri.
"Kruuuuukk...."
Suara perut Bagas memecah keheningan. Ketiganya kompak menoleh pada Bagas yang hanya bisa meringis malu.
Sandra hanya mencebik. Ia memilih melangkah menuju kamar. Bagas yang melihat itu segera menyusul sang istri. Ia tak ingin dikunci lagi di luar kamar, terlebih saat ini cacing di perutnya sudah berdemo meminta makan.
Indra menatap Mira yang sedang menonton sinetron Ikan Terbang sambil memegang gelas kosong.
"Yang," panggil Indra pada Mira, sang istri.
Mira memilih tetap fokus pada sinetronnya, enggan menoleh pada suaminya.
"Tadi malam cuekin aku, sekarang panggil-panggil aku? Rasain," ucap Mira dalam hati.
Mira melirik suaminya dari ekor mata. Indra masih menatapnya dengan intens.
Akhirnya, ia menyerah. Mira menoleh dan menatap sang suami. "Ya, ada apa?" ucap Mira malas.
"Aku lapar," ucap Indra.
"Semalam kan habis makan banyak, makanan orang kaya, kok masih lapar?" ejek Mira.
Indra mendengus kesal. Ia pun bangkit masuk ke kamar. Tak perlu waktu lama, Indra sudah memakai kaus hitam polos dan celana pendek, juga mengantongi dompet dan ponselnya.
Indra langsung mengambil kunci motor, menyalakan mesinnya, dan pergi.
Mira terheran, tapi ia memilih mengangkat kedua bahunya, acuh tak acuh.
***""
Sandra dan Bagas baru saja terbangun. Mereka lebih memilih kembali tidur hingga pukul satu siang, barulah mereka bangun.
Keduanya melangkah menuju dapur karena mendengar dentingan sendok dan piring. Terlihat Mira yang tengah menyantap mi goreng yang tadi dipesannya melalui aplikasi daring, sementara Indra belum juga kembali.
Pandangan Bagas mengedar mencari sesuatu. Akhirnya, ia menemukan bungkus mi goreng yang hanya satu porsi tergeletak di tempat sampah. "Cuma satu, Mbak?" tanya Bagas.
Mira mengangguk, masih dengan mengunyah mi goreng dalam mulutnya.
Sandra mengambil air dan merebusnya di panci, lalu berjalan meninggalkan suami dan kakak iparnya di dapur. Tak berselang lama, Sandra datang dengan dua bungkus mi instan yang ia bawa dari kamar.
Ya, begitulah mereka, hanya mementingkan perut masing-masing. Berbeda dengan Regina dan Bima yang akan membeli lebih untuk anggota keluarga yang lain.
Mira tersenyum sinis, mengamati tingkah adik iparnya. Ia akan menyesuaikan diri dengan lawannya; jika lawannya baik, Mira tak segan berbagi, tetapi jika lawannya seperti Sandra, ia pun tak akan ragu untuk membalas.
Meskipun Sandra dan Bagas kelaparan, Mira enggan memberi, bahkan hanya sebungkus mi instan. Hatinya sekeras batu, tak tergerak oleh penderitaan mereka.
Suara motor Indra memekik, memecah keheningan. Mira segera bangkit dan meninggalkan makanannya di meja makan. Langkahnya tergesa, penuh harap.
Mira menyambut suaminya, berharap Indra membawakan sesuatu untuknya. Namun, harapannya pupus. Indra datang dengan tangan kosong, tanpa membawa apa pun. Mira pun merengut, wajahnya menekuk seperti langit mendung.
Melihat mimik istrinya, Indra terheran. "Kenapa?" tanyanya basa-basi, padahal ia sudah tahu apa yang membuat istrinya merengut.
"Kamu nggak bawa apa-apa buat aku?" tanya Mira. Dengan enteng, Indra menggeleng.
"Awas kamu ya," pekik Mira, lalu menghentakkan kakinya masuk ke dalam kamar, meninggalkan Indra di teras.
"Kenapa, Bang?" tanya Bagas yang baru saja berpapasan dengan kakak iparnya. Indra hanya mengangkat kedua bahunya, tanda ia tak tahu.