Ditolak di pelaminan, Sinta Lestari belajar membangun kembali dirinya dari reruntuhan. Empat tahun kemudian, ia masih menutup rapat hatinya—hingga sebuah malam hujan mempertemukannya dengan Kevin Mahendra, pria asing dengan tatapan hijau keemasan dan senyum licik yang mampu mengguncang pertahanannya. Malam itu hanya percakapan singkat di kedai kopi, berakhir dengan ciuman panas yang tak pernah bisa ia lupakan.
Kini takdir mempertemukan mereka lagi di Pangandaran. Kevin, pria dengan masa lalu kelam dan ambisi membangun “steady life”-nya, tak pernah percaya pada cinta. Sinta, perempuan yang takut kembali dikhianati, enggan membuka hati. Namun, keduanya terikat dalam tarik-ulur berbahaya antara luka, hasrat, dan kesempatan kedua.
Apakah mereka mampu menjadikan hubungan ini nyata, atau justru hanya perjanjian sementara yang akan kembali hancur di ujung jalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prologue
Lima tahun yang lalu
Gaun pengantin putih itu terasa berat di tubuhnya, meski tampak indah berkilauan diterpa cahaya matahari yang masuk dari dinding-dinding kaca. Sinta Lestari menunduk, jemari gemetar meraba kalung peninggalan ibunya. Napasnya pendek, tercekat di dada. Ini seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya—hari yang ia tunggu bertahun-tahun. Tapi detik-detik yang berjalan terasa mencekik.
Orang-orang mulai berbisik. Kursi panjang yang semula riuh kini diliputi kegelisahan. Musik pengiring yang sedari tadi mengalun berubah jadi pengingat kejam: sang pengantin pria belum juga datang. Prasetyo Adi, laki-laki yang seharusnya duduk di meja akad bersamanya, menghilang.
Arum, adik Sinta, berusaha menenangkannya. Bella dan Intan berlari-lari kecil, mencoba mengalihkan perhatian para tamu. Tapi waktu terus berjalan, menit demi menit, tanpa tanda-tanda Prasetyo akan muncul.
Sinta menegakkan kepala, mencoba tegar. Hatinya masih berdoa, tolong… datanglah.
Namun pintu tetap tertutup. Tidak ada langkah kaki, tidak ada senyum pria yang ia cintai.
Bisikan di antara tamu semakin keras. Beberapa menutup mulut, sebagian lain memandang iba, sebagian lagi hanya menatap dengan mata penasaran.
Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya lolos, mengalir di pipinya. Tangannya yang masih menggenggam buket bunga terkulai lemah. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia ditinggalkan. Di pelaminan. Di depan semua orang.
Dunia seolah runtuh. Malu, marah, sedih, hancur—semua bercampur jadi satu. Sinta tidak hanya kehilangan calon suami, tapi juga kepercayaannya pada cinta.
Hari itu, di bawah langit Pangandaran yang biru cerah, Sinta berjanji pada dirinya sendiri:
Ia tidak akan pernah lagi menyerahkan hatinya dengan mudah.