Mela tiba lebih dulu di cafe Sherlock. Biema dan Fikar datang beberapa belas menit kemudian. Lalu menemukan Mela yang sudah duduk rapi di salah satu meja cafe. Dia tengah memainkan ponselnya.
Sesaat merasa ada yang mendekat ke mejanya, Mela menoleh. "Aku pikir kamu sudah lupa letak cafe ini, Biema." Sebuah sindiran halus dari bibir Mela karena mereka berdua datang terlambat.
"Tidak," jawab Biema singkat.
"Maaf Mela atas keterlambatan kita." Fikar yang menjadi sopir merasa bersalah.
"Tidak masalah Fikar. Yang penting kalian bisa sampai dan memenuhi janji makan siang yang aku buat mendadak tadi. Jadi aku tidak berhak protes pada kalian karena hal sepele seperti itu." Mela tersenyum manis. itu menular pada Fikar. Bibir Fikar juga melukis senyum.
Namun Biema tidak demikian. Pria ini tidak ikut tersenyum. Dia langsung duduk dan meminta buku menu pada pelayan cafe. "Kamu belum memesan apapun. Pesanlah makan siangmu lebih dulu," kata Biema yang tahu meja masih bersih dari makanan apapun. Karena menunggu mereka berdua, Mela memang sengaja tidak segera memesan.
"Oke, terima kasih." Mela menerima sodoran buku menu dari Biema. "Padahal kamu bisa segera memesan karena ini ada di tanganmu." Biema hanya melihat saja tanpa berkata apa-apa.
"Bukankah, wanita adalah yang pertama?" ujar Fikar dengan jenaka.
"Jadi kalian berdua mau berlagak menjadi pria sejati?" Mela membalas dengan jenaka juga.
"Kita tidak berlagak. Kita berdua memang pria sejati, Mela." Fikar menepuk dadanya pelan. Mela tersenyum.
"Jadi Biema yang dulu polos dan cengeng sekarang sudah menjadi pria sejati?" Kali ini ledekan Mela untuk teman masa kecilnya.
"Aku bukan anak kecil lagi, Mela." Biema tidak senang bila di sebut anak kecil. Memang dengan tubuh tegap dan tinggi semampai, Biema bukanlah lagi anak kecil. Dia pria dewasa. Namun seringkali Mela yang berumur satu tahun lebih tua dari Biema itu selalu menyebut dirinya anak kecil.
Fikar tersenyum geli mendengar Biema protes. Ekor mata Biema melirik pada Fikar dengan tajam. Bibir Fikar langsung mengatup rapat. Mela menyebutkan nama makanan dan minuman. Kemudian Mela menyodorkan buku menu pada Biema.
"Aku juga perlu memesan makan siangku kan, Biem?" tanya Fikar seakan tidak di pedulikan. Biema yang memilih menu melirik.
"Tentu saja, Fik. Masa kamu mau hanya melihat kita berdua saja yang makan ....," ujar Mela tergelak mendengar Fikar masih perlu bertanya. "Pesanlah sebentar lagi. Sesudah Biema." Rupanya Biema berbaik hati membiarkan bawahan sekaligus temannya itu untuk memesan terlebih dahulu. Dia menyodorkan buku menu pada Fikar.
"Benarkah aku boleh memesan lebih dulu?" tanya Fikar tidak percaya.
"Jika tidak mau. Lebih baik tidak usah memesan." Biema hendak menarik buku menu itu lagi, tapi dengan sigap Fikar menahannya. Mela tertawa melihat mereka berdua.
"Oke. Biarkan aku memesan lebih dulu." Biema menipiskan bibir. Setelah memesan, Fikar segera menyerahkan buku menu pada Biema.
Sambil menunggu Biema memesan, Mela dan Fikar berbincang soal masa lalu mereka. Yaitu masa-masa masih di bangku SMA. Mereka bertiga memang cukup dekat. Apalagi Biema dan Mela yang menjadi teman masa kecil dulu.
Meskpun Biema selesai memesan, dia tidak banyak ikut membicarakan masa lalu. Dia cukup sebagai pendengar saja. Meskipun ini membuat Mela perlu menowel atau menjentikkan jari di depan wajah Biema agar pria ini ikut bicara, Biema tetap pada pendiriannya untuk tetap banyak bungkam.
Pesanan pun datang setelah di tunggu-tunggu.
"Jus alpukat!" seru Mela surprise saat melihat pelayan cafe meletakkan jus alpukat di meja. "Siapa yang memesan?" Saat Biema memesan, Mela tengah asyik berbicara dengan Fikar.
"Itu pesananku," ujar Biema sambil mendekatkan tubuh pada meja dan mengangsurkan tangannya meraih gelas jus.
"Hei, kamu masih sangat suka jus alpukat," seru Mela lagi. Kali ini dengan wajah ceria seraya melihat Biema.
"Ya," sahut Biema datar.
"Dia memang suka sekali jus itu. Di kantor, dia juga selalu memesan jus alpukat untuk di sediakan di lemari pendingin miliknya." Fikar membeberkan cerita. Biema menipiskan bibir tidak suka Fikar bercerita. Namun Fikar terlihat santai melihat tatapan tidak suka dari Biema.
"Itu tidak aneh. Aku jadi ingat cerita dulu. Saat kamu masih kecil. Dimana kamu yang tidak mau makan hanya karena tidak ada jus alpukat. Tante Shiren sampai harus mencari kesana kemari buah alpukat itu." Mela kembali bernostalgia.
"Memangnya buah alpukat itu langka disini?" tanya Fikar ikut mendengar kisah masa kecil atasannya.
"Tidak. Hanya saja saat itu tidak musim buah alpukat. Jadi sangat sulit mencarinya." Mela menjelaskan. "Sampai dia melihatku yang sedang meminum jus alpukat. Dengan tanpa dosa, dia bilang ingin minum jus yang sedang ada di genggaman tanganku."
"Bukannya enggak musim ... Kok kamu bisa buat jus alpukat?" Lagi-lagi Fikar bertanya.
"Kakekku punya kebun alpukat di desa. Jadi saat panen, kakekku memetik buah alpukat yang belum masak. Saat mulai tidak musim, keluargaku masih punya stok alpukat."
"Sepertinya Biema tidak ingat." Fikar melihat Biema seakan perlu mengingat-mengingat.
"Oh, ya? Aku kecewa jika Biema tidak ingat." Mela melihat ke arah Biema yang menyendok makanannya. Bibir Biema hanya tersenyum tipis merespon kalimat Mela.
"Lalu? Apa dia merampas jus itu darimu?" tebak Fikar selanjutnya.
"Aku tidak sekasar itu, Fik," ujar Biema menyela.
"Aku ragu." Fikar tidak percaya.
"Tidak. Dia benar. Dia hanya bilang ingin minum. Namun dia tidak mendekat dan terus saja melihat ke arah tanganku. Biema menginginkan jus alpukatku." Mela tergelak. "Rupanya kamu masih ingat kejadian itu."
"Aku masih ingat," ujar Biema singkat. Dengan itu saja Fikar mulai tahu bahwa kenangan masa kecil itu sangat berharga bagi pria ini.
Walaupun terlihat tidak ingat, tapi kenyataannya tidak. Kenangan manis itu sebenarnya masih tersimpan di dalam hati Biema. Memory masa kecil Biema melihat sosok Mela pertama kali.
"Benarkan apa yang aku bilang ... Biema tidak akan pernah lupa akan cerita itu." Mela menunjuk Biema dengan telunjuknya dan tersenyum. Kepala Biema mengangguk pelan. Fikar menoleh pada atasan di sampingnya. Lalu tersenyum penuh arti.
"Lalu, pekerjaan apa yang akan kamu bicarakan denganku?" tanya Biema.
"Aku ingin membuat kerjasama. Pabrik garmen milik ayahku akan menggunakan produk textil dari perusahaanmu." Mela menjelaskan.
"Bukankah banyak perusahaan textil lainnya yang bisa di ajak kerjasama?" tanya Biema seraya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Fikar melirik. Biema seperti menolak tawaran kerja sama ini.
Mela menelan makanan yang baru saja di kunyahnya. "Benar. Tidak hanya perusahaanmu saja yang menyediakan produk textil mentahan yang bisa di ajak kerjasama. Namun aku tahu yang mana yang punya kualitas bagus. Dan aku pasti akan menuju ke perusahaanmu." Mela menunjuk Biema dengan telunjuknya.
"Benar. Textil dari pabrik kita memang punya kualitas bagus yang sudah di akui." Fikar memuji perusahaannya. Biema mengambil gelas di dekat tangan kanannya dan meminum jus alpukat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
najis liat si murahan
2023-02-08
0
Ika Ratna🌼
Biema.... ingat istrimu dirmh 😄
2022-10-22
0
Afrieanty Ataya Ghali
dri awal bca ceritny.jika masalah jus selalu jus alpukat..jngn2 jus alpukat itu mnuman kesukaan thour yah😄
2022-07-18
0