Melihat kedua orangtuanya berdiri, Paris ikut berdiri. Gadis ini kurang paham siapa mereka. Namun alisnya mengerut seperti pernah tahu suami istri itu. Semakin mendekat, Paris semakin melihat dengan jelas siapa kedua orang itu.
"Maaf, membuat kalian menunggu. Kita harus menanti kepulangannya untuk bisa barengan kesini," ujar perempuan paruh baya itu sambil mengulurkan tangan.
"Enggak apa-apa. Aku paham dia memang orang sibuk." Nyonya Wardah menerima uluran tangan dengan senyumnya.
"Bagaimana kabarnya, Hendarto?" tanya laki-laki paruh baya.
"Tentu saja baik," jawab Hendarto.
"Halo Paris," sapa perempuan paruh baya melihat Paris. Bibir Paris tersenyum sambil menjabat tangan. Bibi ini mengenalnya?
Sebentar. Wajah ini enggak asing?
"Halo Paris!" seru sebuah suara dari arah belakang mereka. Paris menolehkan kepala mencari asal suara.
Sandra?
Gadis itu mendekat ke arah meja Paris dan keluarganya.
Jadi mereka berdua adalah orangtua Sandra? Pantas aku merasa tidak asing.
Gadis itu tidak datang sendiri. Ada seseorang di belakangnya. Seorang lelaki. Siapa lagi kalau bukan Biema.
"H-hai ..." sahut Paris gagap. Jadi mereka akan bertemu keluarga Sandra? Lalu pestanya?
"Wahh Sandra semakin besar dan cantik ya ..." Nyonya Wardah melontarkan pujian untuk putri keluarga Nugraha.
"Terima kasih tante, tapi Sandra tentu masih kalah dengan Paris yang keren." Sandra memang selalu mengagumi Paris.
"Benarkah?" Nyonya Wardah tersenyum setuju. Lalu menoleh pada Putrinya yang menipiskan bibir melihat sikap bundanya. Paris tidak terlalu mendengarkan pujian mereka tentang dirinya. Dia lebih fokus pada Biema. Laki-laki yang bikin kesal dengan mulut sadisnya itu.
Bola mata Paris memandang pria yang mulai mengulurkan tangan pada tuan Hendarto.
"Putraku, Biema," ujar Nugraha bangga.
"Wahh ... dia menjadi pria yang tampan." Hendarto menerima jabat tangan Biema seraya menepuk bahu pria itu. Kemudian beralih ke nyonya Wardah.
"Benar, Biema memang tampan," imbuh beliau dengan senyuman ramah nan indah. Paris menggelengkan kepala melihat pujian beruntun untuk pria ini. "Ini putri kami, Biema. Paris." Nyonya Wardah memegang kedua bahu putrinya dari samping. Sekalian berusaha membuat Paris tegak dan menoleh ke depan. Karena sepertinya gadis ini enggan.
Biema mengulurkan tangan. Bermaksud untuk berjabat tangan. Paris menerima uluran tangan setelah di towel bundanya. Akhirnya uluran tangan tercipta berkat paksaan bunda.
"Pestanya mana?" bisik Paris masih saja bertanya soal pesta. Bunda memberi kode putrinya untuk diam. Beliau tidak mau menjawab. Paris menipiskan bibir kesal.
Sepertinya tidak ada pesta yang di maksud bunda di awal keberangkatan mereka. Semua itu hanya bohong belaka. Semakin lama obrolan orangtua membuat Paris jenuh. Bahkan Sandra yang biasanya menyenangkan, sekarang juga ikut terkena aura tidak menyenangkan dari obrolan mereka. Hingga Paris memilih berpura-pura ke toilet untuk menjernihkan otaknya.
Kenapa tiba-tiba bertemu dengan keluarga Sandra? Apa Biema mengadukanku soal insiden lama itu? Tidak! Aku harus mencegahnya. Tidak ada alasan lain bunda dan ayah tiba-tiba ada acara makan malam dengan keluarga mereka. Pasti ini soal insiden itu. Jadi bunda dan ayah harus sedikit melunak dan baik kepada mereka agar tidak membuat masalah itu besar. Begitukah? Jika iya kenapa bunda justru bersikap perhatian sekali padaku?
Kembalinya Paris dari toilet, dia mendapati mejanya kosong.
"Kenapa kamu ada di meja ini sendiri?" tanya Paris terkejut melihat Biema duduk sendirian di tempat mereka tadi. Bola mata Biema melihat ke Paris yang enggan duduk sejenak. Kemudian mengerjap sekali dan melihat ke arah lain.
"Karena tempat ini memang tinggal kita berdua saja," jawabnya santai.
"Apa maksudmu?" tanya Paris tidak suka. Dengan sikap tenang seperti tadi Biema tidak segera menjawab pertanyaan Paris. Akhirnya Paris duduk di kursi dan mengambil gelas minuman di meja. "Sudahlah tidak usah menjawab," pungkas Paris tidak mau menunggu jawaban pria ini. Padahal Biema sudah membuka mulut hendak menjawab.
Suasana keduanya hening. Tidak ada pembicaraan sama sekali. Pria ini berkali-kali melihat ke arlojinya. Sepertinya dia menanti seseorang. Atau dia sedang ada perlu lain. Tangan Paris mendekatkan gelas ke bibirnya. Menyesap minuman itu perlahan.
Biema juga demikian. Dia meneguk minumannya. Jika Paris bersikap acuh tak acuh. Sementara Biema menyempatkan sejenak bola matanya melirik ke arah gadis itu. Beberapa detik. Setelah itu kembali menundukkan mata melihat minumannya. Selang beberapa menit, bola mata Biema kembali melihat Paris.
"Ada apa? Kenapa melihatku?" tanya Paris tanpa basa basi. Setelah memergoki Biema sedang melihatnya, Paris tidak segan bertanya. " Jika ada perlu bicara saja. Jangan hanya melihatku seperti itu. Aku tidak merasa terkesan di pandangi seorang pria. Aku justru kesal jika kamu hanya mencoba melihatku dengan sembunyi-sembunyi." Panjang lebar Paris menyatakan ketidaksukaannya.
"Jadi aku boleh melihatmu terang-terangan?" tanya Biema membuat Paris mengernyit.
"Tidak. Aku tetap tidak suka. Hanya saja kamu terlihat ingin bicara padaku. Lebih baik bicara saja kalau ada perlu." Nada bicara Paris terdengar ketus.
"Tidak. Aku tidak ada perlu denganmu," jawab Biema tegas dan membuat Paris sedikit menggerutu. Jelas tadi matanya menemukan pria ini sedang melihatnya bukan hanya sekali.
Paris celingukan. Mencari keluarganya yang sejak tadi tidak muncul.
"Hei," panggil Paris. Biema yang melihat ke arah panggung menoleh. "Boleh kasih tahu dimana semua orang yang tadi ada di meja ini?" Pria itu tidak segera menjawab. Matanya hanya melihat Paris. Kening Paris berkerut. "Hei, jangan menoleh, jika kamu tidak mau menjawab pertanyaanku," gerutu Paris.
"Bisa ucapkan minta tolong?" tanya Biema datar dan dingin.
"Hah?" Paris melongo.
"Ada adab meminta bantuan pada orang lain. Misalkan di awali dengan kata ... tolong." Biema memberi contoh. Paris menipiskan bibir. Pria ini hanya berlagak.
"Bisa beritahu dimana orangtuaku?" tanya Paris masih dengan ke angkuhannya. Biema memandang lagi. "Tolong ...," imbuh Paris dengan enggan.
"Mereka sudah pulang."
"Hmmm ... sungguh lucu. Tidak mungkin mereka pulang tanpa aku," ujar Paris tersenyum remeh. Tangannya bersidekap dan membuang muka ke arah lain.
"Kenapa tidak mungkin?"
"Itu sudah jelas, Biema. Mereka orangtua yang baik. Bundaku tidak akan meninggalkanku. Bunda mengajakku datang kesini, tentu pulang juga akan mengajakku," ujar Paris angkuh. Biema menatap Paris yang berkata apa yang di katakan dirinya mustahil dengan bola mata malas.
"Jika tidak percaya hubungi saja ponsel salah satu keluargamu. Pasti akan ada yang bisa membuatmu yakin." Keyakinan Biema saat mengatakan itu membuat Paris sedikit ragu akan keyakinannya sendiri. Tiba-tiba dia ragu. Duduknya yang rapi dan angkuh mulai goyah.
Apakah yang di katakan Biema saat ini adalah benar?
"Kenapa diam? Kamu takut, kalau perkataanku benar?" tanya Biema seperti sengaja memprovokasi.
"Takut? Kenapa harus takut?" Paris menyamarkan kegugupannya.
"Silakan telepon sekarang. Aku ingin tahu bagaimana reaksimu saat mendengar bahwa aku benar." Bola mata Biema menyiratkan dia tidak berbohong. Ini sebuah tantangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
💦tiatiandra💦
berulangkali baca tetap suka...
2025-02-14
0
Qaisaa Nazarudin
Perjodohan Paris dan Biema kan..😄
2024-04-02
0
Mbah Edhok
bisa membayangkan dalam kondisi yang tahu apa2 karena ulang para orang tua ... Hatinya Paris pasti rasanya nano2 ...
2023-11-25
0