Di dalam kamar, Paris melemparkan tas ransel seenak jidatnya. Lalu membanting tubuhnya di atas ranjang dengan kesal.
"Dia memang mengesalkan. Dia memang menyebalkan," gerutu Paris sambil membuat gerakan tidak beraturan di atas ranjang. Hingga membuat kusut dan berantakan sprei yang sudah tertata rapi menyelimuti kasur berbahan spon dengan kualitas tinggi.
Bahkan seragam sekolahnya pun menjadi kusut seperti kain lap. Tubuhnya bangkit dan duduk dengan kaki menggantung di pinggir ranjang.
"Bagaimana bisa dia mengiyakan rencana bunda. Bukannya menentang dan menolak semuanya, dia justru setuju dan bersikap seperti semuanya bakal terjadi meskipun dia tidak melakukan apa-apa. Ini semua sungguh mustahil." Paris menggerak-gerakkan kakinya kesal. Tangannya juga ikut meremas-remas kain sprei hingga alas kasur itu tertarik-tarik tidak karuan.
"Apa dia tidak punya kegiatan lain selain mengangguku? Arrgghh!!" Paris membanting tubuhnya lagi di atas ranjang. Berguling-guling kesal karena keputusan bundanya.
Bagaimana bisa dia yang masih muda, masih berumur belasan tahun sudah menyandang predikat sebagai seorang istri?
Tak terasa airmatanya jatuh. Paris menangis lagi. Sudah berkali-kali dia marah dan mengajukan keberatan atas keputusan bunda menikahkannya dengan pria ini. Namun bunda tetap pada pendiriannya, yaitu dia harus menikah dengan Biema.
Tangannya mengusap kasar airmata itu. Menangis juga percuma. Tidak ada yang menggubrisnya. Bahkan pria yang di nikahkan dengannya juga tidak melakukan hal apa-apa untuk membatalkan pernikahan. Dia bersedia menjadikan dirinya sebagai istri meskipun tidak begitu paham dengan sifat masing-masing.
Paris mengucek-ngucek matanya yang terasa panas. Kemudian memegang kepalanya yang pening. Sehabis menangis tadi malam, sekarang dia merasa agak meriang. Tubuhnya malas turun dari ranjang, tapi harus. Karena dia masih harus berangkat ke sekolah.
Sambil membawa handuk, Paris melangkah keluar kamar. Letak kamar mandi memang ada di luar kamar. Mulutnya menguap lebar karena rasanya seperti masih kurang saja jam tidurnya. Tangannya juga memijat pelan pundaknya yang kaku.
Saat tangannya sudah ada pada pegangan pintu kamar mandi, terdengar suara kecipuk air di dalam. Sepertinya ada Biema. Paris menarik ujung bibirnya sebelah dengan kesal. Lalu memilih duduk di sofa depan tv. Menunggu pria itu keluar selesai membersihkan diri.
Klik! Paris menyalakan tv. Tontonan infotainmen menyapa. Sepagi ini sudah ada berita gosip.
Selang beberapa waktu pria itu mandi, akhirnya selesai juga. Paris tidak segera bangkit. Dia menunggu pria itu hingga masuk kamarnya. Biema yang menemukan Paris duduk di sofa melirik.
"Kamu sudah bangun?" tanya Biema.
"Hmm," jawab Paris singkat. Lebih tepatnya malas menjawab. Dering ponsel membuat Biema mempercepat langkahnya memasuki kamar. Kepala Paris menoleh hingga pria itu hilang dari balik pintu kamar. Kemudian dia bangkit dari duduk dan masuk ke kamar mandi.
Seusai mandi, Paris mencium aroma sedap dari dapur yang berada di samping kamar mandi.
Aroma apa ini? Paris melongok ke dalam dapur.
Disana Biema tengah melakukan sesuatu.
Apakah dia pencipta aroma sedap ini? Saat berpikir, Biema menoleh ke belakang. Dimana Paris hanya menyembulkan setengah tubuhnya.
"Jika sudah selesai mandi, kemarilah. Sarapan sudah siap," panggil Biema yang membuat Paris terkejut. Dia tidak menyangka akan di temukan oleh pria ini.
"Sarapan?" Paris menegakkan tubuhnya sambil bersidekap. Bertingkah acuh tak acuh.
"Ya. Bukannya kamu akan berangkat sekolah. Sebelum itu harus sarapan dulu." Paris melongok ke arah meja dapur. Biema sedang meracik makanan pagi yang berupa nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya. Membuat dua porsi yang kemudian di letakkan di atas meja.
Biema mendongak. Paris segera mengalihkan pandangan ke arah lain. "Aku tahu kamu terbiasa sarapan pagi di rumahmu bersama keluarga. Ayo, cepat kemari." Paris ragu untuk mendekat. Bukan dia tidak lapar. Hanya saja dia gengsi. Bukannya kemarin dia marah pada pria ini? Apalagi dia kabur.
Krunyuk! Wow suara perut kelaparan terdengar sangat nyaring. Paris mendelik seraya melihat ke arah perutnya sendiri. Wajahnya sedikit memerah karena malu.
"Jangan menolak makanan," ujar Biema lagi dengan memunggungi Paris. Dia pasti mendengar suara barusan. Paris meringis ketahuan basah sedang kelaparan. "Duduklah. Aku sedang membuat jus. Kamu ingin minum jus apa?" tanya Biema seraya menolehkan kepala pada Paris.
"Jus?" tawaran menggiurkan. Paris memang menyukai jus.
"Ya."
"Mmm ... aku alpukat," jawab Paris masih di dekat pintu.
"Oke. Alpukat. Kesukaan kita sama. Sekarang masuk dan duduk di meja makan. Jus segera siap." Paris melangkah pelan menuju kursi. Dia akhirnya mengikuti panggilan perutnya yang kelaparan dan mengabaikan gengsi.
Ya, aku lapar dan ada orang yang menyediakan makanan. Aku tidak boleh menolaknya. Ini kesempatan, ujar Paris berusaha menemukan alasan masuk akal jika di tanya Biema.
Paris menarik bahu kursi dan mulai duduk. Biema pun selesai membuat jus untuk mereka berdua. Dia datang ke meja makan dan meletakkan dua buah jus di atas meja.
"Makanlah. Ini sudah siap." Biema mempersilakan Paris yang hanya melihat makanan di atas meja. "Memang bukan makanan yang membuatmu ingin menambah lagi, tapi ini cukup membuat perut kita tidak kosong saat melakukan aktivitas nanti."
"Aku bisa makan apa saja," ujar Paris segera.
"Syukurlah." Biema lega. Paris mulai menyendok dan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Enak. Menurut Paris ini enak. Entah karena masakannya atau memang karena dia sedang merasa laparan, tapi nasi goreng ini enak.
"Nanti pulang sendiri atau aku jemput?" tanya Biema. Sepertinya dia mulai memberi tawaran pada Paris soal kemarin. Dia tidak memaksa gadis ini harus pulang dengannya.
"Pulang sendiri saja."
"Naik apa?"
"Banyak. Ojek online, angkutan umum atau aku bisa nebeng teman." Biema mendongak. Memandang Paris yang begitu lahap makan nasinya. Paris tidak tahu bahwa Biema sedang melihatnya memakan nasi dengan semangat.
"Ikut Sandra saja. Sopir rumah bisa mengantarmu pulang ke apartemen dulu baru mengantarkan Sandra pulang.
"Tidak. Aku tidak akan bebas. Jika tiba-tiba saja aku tidak ingin pulang ke apartemen ini bagaimana?" tanya Paris tanpa basa-basi.
"Kamu masih ingin kabur?"
"Tentu. Aku tidak betah di sini."
"Apa yang membuatmu betah?"
"Tidak ada kamu."
"Kamu ingin tinggal di sini sendiri?" Paris mengangguk tanpa peduli. Dia merasa tidak perlu menyembunyikan bahwa tidak ada cinta atau keinginan dari hati untuk menikah. "Suami istri harus tinggal bersama."
"Stop. Jangan menceramahiku. Kamu tahu kita di paksa menikah. Eh, tidak. Aku yang di paksa menikah. Jadi, pasti aku tidak suka dengan hal yang berbau pernikahan di bahas di sini. Pahami itu."
"Iya, aku paham."
"Bagus." Paris mengangguk puas.
"Hanya saja aku ragu."
"Soal apa?" tanya Paris sambil memandang Biema yang duduk di depannya.
"Mmm ..." Biema tampak berpikir keras. Jika tadi dia mengobrol dengan pria ini tanpa peduli melihatnya atau tidak, kali ini Paris penasaran soal keraguan Biema yang membuat pria itu tidak segera mengatakannnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Ika Ratna🌼
jgn terlalu membenci... takutnya nnt cinta mati
2022-10-22
0
Kristi Yani
tuh kan dia baik mana ada cowok yg mau bikinin nasi goreng pagi pagi buat cewek yg ga dia sayang,, ga usah peduli in masalah suami istri anggep aja dia teman sekamar yg baik
2022-05-19
0
Tanti Riyadi
ragu tentang apa bim???
2022-02-06
0