Meskipun Juna sempat membantu Paris untuk kabur dari rumah dengan memberi alasan pada ibu, dia juga tidak membiarkan gadis itu begitu saja. Juna berinisiatif menelepon Asha keesokan harinya.
"Paris ada di rumah bapak?" tanya Asha terkejut saat Juna menelepon saat jam istirahat. Tubuhnya yang sedang duduk di atas bangku di taman belakang berdiri. Hingga membuat Arash yang berada dalam gendongannya ikut terkejut.
"Owe ... Owe ... "
"Cup, cup sayang. Maaf bunda bikin kamu terkejut." Asha membuai bayinya dalam pelukan dan mengayun tubuh gembul itu agar tenang.
"Arash ikut terkejut ya, dengar tantenya kabur? Ya. Dia muncul di rumah dengan visinya minggat dari rumah."
"Kenapa tidak kamu suruh pulang saja, Jun?" Tangis Arash mulai mereda.
"Dia sedang dalam keadaan labil. Inginnya minggat saja. Jika aku mengusirnya, dia akan pergi ke tempat lain yang justru tidak di ketahui keluarganya atau aku."
"Emm ... benar juga. Lalu reaksi ibu dan bapak gimana?"
"Aku tidak memberitahu mereka yang sebenarnya. Paris beralasan liburan. Aku hanya mengatakan bahwa mungkin saja Paris memang sedang liburan, karena sekolah kita berbeda. Ibu dan bapak percaya. Mereka menerima Paris dengan tangan terbuka."
"Jadi mereka enggak tahu ... " Asha manggut-manggut. "Lalu bagaimana sekarang? Dia ada di mana?"
"Masih di rumah. Terakhir aku lihat saat belum berangkat sekolah, dia membantu pekerjaan rumah saat ibu mau berangkat ke warung."
"Syukurlah dia tidak kabur kemana-mana." Membantu pekerjaan di rumah? Gadis itu berusaha keras untuk tinggal di sana rupanya. "Tolong cegah dia jika ingin pergi ke tempat lain, Jun. Aku akan bicara pada Arga dan bundanya."
"Komisinya ada, kan?"
"Apa yang kamu bicarakan, heh?!" Juna tertawa di sana. Bocah itu sedang mengajak kakaknya bercanda.
"Lagian jaman gini masih ada juga jodoh-jodohan."
"Aku enggak tahu soal itu."
"Apa kak Arga juga sempat di jodoh-jodohkan juga dulunya?" Tiba-tiba muncul pertanyaan ini dari bibir Juna.
"Kenapa penasaran dengan itu ..."
"Pasti iya. Melihat Paris yang masih sekolah saja sudah di jodohkan apalagi kak Arga waktu itu." Juna bisa menebak. Dan memang iya.
"Gak usah banyak ngomong. Awasi saja si Paris."
"Oke." Usai telepon dari Juna selesai, Asha tidak langsung memberitahu bunda bahwa Paris ada di kampungnya. Dia mencoba menelepon Arga. Sebelum memberitahu bunda dia harus diskusi dulu dengan suaminya.
...----------------...
...----------------...
"Bunda sakit?" tanya Paris terkejut saat Asha menelepon ponsel Juna untuk di sambungkan dengan adik iparnya itu.
"Iya ..."
"Sakit apa, kak?" tanya Paris masih dalam keadaan syok.
"Aku kurang paham. Pulanglah ..."
"Tapi ..." Paris terdengar bimbang. Mungkin dia khawatir tapi juga ragu. Ada bunyi gemerisik di balik telepon.
"Paris ... Kamu harus pulang. Jangan bersembunyi lagi. Bunda harus di jenguk." Kali ini bukan suara Asha, melainkan Arga kakaknya. Paris termenung. Juna yang sedang menunggui ponselnya yang di pinjam, melirik. Gadis itu tampak bersedih. Antara mendengar berita sakitnya bunda dan kenyataan harus kembali ke rumah itu masih dengan dongkol.
Akhirnya gadis ini memutuskan pulang. Dan langsung menuju rumah sakit di antar oleh Juna. Sesampainya di sana, Paris melihat bundanya terbaring dengan wajah pucat di atas ranjang. Orang yang biasanya ceria itu mendadak lemah. Paris jadi tidak tega.
"Kenapa bunda bisa terbaring lemah seperti ini, Kak?" tanya Paris lirih.
"Bunda jatuh terkilir di tangga. Dia berulang kali mencarimu kesana kemari. Mungkin kelelahan hingga jatuh," ujar Arga menjelaskan.
"Apakah tidak apa-apa?" Paris khawatir. Wajahnya menunjukkan dia benar-benar takut.
"Ya. Dokter melakukan penanganan dengan cepat. Kemungkinan bunda masih berjalan dengan pincang sementara waktu. Namun ... semuanya masih baik-baik saja." Arga mengelus pundak adiknya.
Paris menatap bundanya dengan iba. Ada rasa bersalah karena dia bertingkah. Kabur dari rumah karena tidak setuju dengan keputusan beliau soal menikah. Keputusan aneh yang mendadak saja di buat oleh bundanya.
"Aku mau ... menikah," lirih Paris membuat Asha dan Arga menoleh cepat. Asha menatap suaminya dengan wajah meminta penjelasan.
"Apa kamu berkata sesuatu?" tanya Arga. Sengaja ingin adiknya mengatakan lagi apa yang di katakannya barusan.
Walaupun tidak setuju, tidak suka dan bertentangan dengan hatinya ... Paris menyetujui pernikahan dini ini. Berbeda dengan cerita pernikahan dini yang menggambarkan menikah karena pengantin wanita hamil. Disini Paris terpaksa menikah karena merasa bersalah sudah membuat bundanya pincang.
"Ya. Aku mau menikah dengan pria pilihan bunda."
"Biema?" tanya Arga lagi.
"Ya, nama itu ...," ucap Paris tidak bersemangat.
...----------------...
...----------------...
Setelah kepulihan bunda beberapa hari berada di rumah sakit, rencana beliau mulai bisa di laksanakan hari ini.
Pernikahan sederhana di lakukan dengan di hadiri saudara terdekat saja. Itu keinginan Paris yang pertama. Karena dia tidak mau orang tahu statusnya sudah menikah dengan dirinya yang masih sekolah. Gadis ini masih ingin bersekolah.
Bunda tersenyum melihat Paris memakai gaun pernikahan berwarna putih bersih.
"Kamu cantik, sayang. Putri bunda sangat cantik."
"Terima kasih bunda ...," ujar Paris dengan senyuman getirnya.
Karena kaki beliau masih sakit. Jadi ada kruk di lengannya untuk membantu berjalan. Penampilan pincang nyonya Wardah memang tampak mengiba, tapi sebenarnya yang perlu di kasihani disini adalah Paris.
Menikah?
Di umurnya yang masih belasan, dia harus menikah. Memang bukan usia yang di larang untuk menikah, karena Paris sudah berumur tujuh belas tahun (UU lama). Namun karena hatinya tidak rela dirinya menikah sekarang. Bukan. Dirinya tidak rela jika menikah dengan pria pilihan bunda. Biema.
Pesta kecil yang di adakan di taman belakang milik keluarga, semakin membuat keluarga terlihat akrab.
Sandra tidak berani mendekati Paris yang sudah bermuka masam sejak tadi. Dia tahu, gadis itu sangat marah. Mungkin tidak sekarang, tapi itu pasti akan meledak saat tiba waktunya.
Sebagai adik, Sandra sendiri heran mendengar bahwa kakaknya akan menikahi Paris. Untuk mengenal sosok kawannya itu, dia rasa Biema tidak terlalu paham. Makanya suatu hal mengejutkan saat mendengar berita itu.
"Sandra tidak menemani Paris di sana?" tegur nyonya Wardah pada putri besannya.
"Eh, iya Tante."
"Ayo. Temani Paris. Dia pasti sangat senang bisa jadi saudara dengan sahabatnya." Nyonya Wardah mendorong punggung Sandra pelan.
Beliau tidak mengerti bahwa Sandra sedang menghindari Paris. Dia paham bagi Paris menikah dengan kakaknya adalah bencana. Hari ini bukan hari istimewa yang membahagiakan baginya. Melainkan hari paling bikin frustasi sepanjang hidupnya.
Namun demi bersikap sopan pada mertua kakaknya, Sandra berjalan pelan menuju tempat gadis itu berdiri.
Melihat Sandra mendekat ke arahnya, Paris langsung melirik. Lirikan tajam yang bisa menusuk ke jantung. Sandra menelan salivanya sendiri.
Gawaattt!
Kakinya berhenti. Tidak bisa meneruskan langkahnya untuk mendekat pada sahabat yang sekarang bisa di sebut kakak iparnya.
"Kenapa berhenti di sana?" tegur Paris sadis.
"Eh, iya," jawab Sandra gugup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Ika Ratna🌼
anak penurut... good girl
2022-10-22
0
Ichabya Thoyyibah
ngakak pas baca yg akhir🤣🤣🤣
2022-10-02
0
Siti Fatimah
Nyonya Wardah jadi ibu koq egois banget ya terkesan di paksakan,gue paham seorang ibu berharap atas kebahagiaan anaknya tapi bukan pilihan yg bijak juga menikahkan seorang anak disaat masih sekolah... seperti hidup akan berakhir esok hari saja padahal waktu masih panjang buat memberi kesempatan keduanya untuk saling dekat...
2022-08-24
1