Paris meletakkan punggungnya di kursi meja belajar dengan menghela napas lega. Setelah menunggu kedatangan Angga di jalan yang lebih jauh dari tempat Biema tadi, gadis ini bisa sampai di rumah dengan cepat. Kepalanya bersandar pada bahu sofa. Kemudian menengadah ke atas.
Bertemu dengan Biema membuatku kesal.
"Paris! Cepat makan!" teriak bunda dari lantai bawah.
"Iyaaaa!" jawab Paris segera bangkit. Mengganti pakaian dan segera turun. Di lantai bawah Asha tengah sibuk menyusui Arash. Paris mendekati keponakannya dan mencubit pipi gembul bayi itu.
"Kamu nyusu terus yah... Biar tambah gembul nanti. Bundamu mungkin tidak akan kuat menggendongmu," ujar Paris menggoda keponakannya. Mungkin paham dengan godaan auntynya, tangan Arash yang bebas menepuk pipi Paris dan sedikit menarik rambut gadis ini yang di biarkan terurai.
"Aw ... " jerit Paris.
"Hei ... jangan menyakiti aunty-mu, sayang ..." Asha berusaha membantu Paris melepas genggaman tangan putranya.
"Ni bocah, paham kali di ledekin. Langsung sigap membalasku. Ihhhh ... kamu ..." Setelah berhasil lepas dari genggaman tangan Arash, Paris kembali mencubit pipi keponakannya. Tangan dengan jari bulat-bulat itu kembali ingin meraih rambut Paris, tapi dengan cepat Paris menghindar.
"Wee ... enggak kena. Enggak kena," ledek Paris sambil menjulurkan lidahnya. Arash sampai melepas ****** bundanya karena fokus pada Paris. Lalu jaringa meraih-raih udara bermaksud ingin menangkap Paris.
"Ayo, mik susu lagi. Jangan di ladeni aunty-mu yang lagi mood ngeledekin." Asha memaksa putranya kembali menyusu. Paris cekikikan puas.
"Puas banget bikin Arash kesal. Kaya menang dari kak Arga saja ..." Paris mencebik merasa bangga dan berjalan menjauh dari kakak iparnya yang berada di ruang tengah. Saat itu dia berpapasan sama bunda.
"Lama sekali di suruh turun, Paris?" tanya beliau.
"Lagi godain Arash yang semakin gembul saja."
"Arash memang semakin sehat. Tidak menyangka, padahal Asha itu kecil badannya. Ayo cepat makan. Sudah bunda siapin." Nyonya Wardah kembali ke dapur buat menemani putrinya.
"Bunda kemarin ketemu orang perusahaan textil di mall," ujar nyonya Wardah sambil memotong buah untuk putrinya.
"Mmmm ... Mau kerja sama?" tanya Paris mendongak seraya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Mungkin. Bagus juga kan kalau kita kerja sama, sangatlah cocok. Mereka juga punya perusahaan garmen yang bahannya di ambil sendiri dari perusahaan textil mereka yang menghasilkan kain." Bunda bercerita dengan wajah bahagia. Paris mengangguk setuju.
"Sip," ujar Paris sambil menunjukkan jempolnya.
"Sepertinya besok bunda ada janji temu dengan teman bunda itu. Kamu temenin bunda, ya ..."
"Aku lihat dulu jadwalku, Bun. Kali aja bentrok. Jadi aku enggak bisa temanin bunda."
"Kamu itu memangnya seorang artis? Di ajak ketemuan aja masih mau lihat jadwal. Ini bundamu yang mengajak, bukan orang lain." Bunda menipiskan bibir melihat tingakah putrinya.
"Kali aja, Paris sudah janjian sama teman. Kan enggak enak kalau sudah janjian lama trus di batalin. Bunda juga kan enggak suka, putrinya suka ingkar janji." Bunda lagi-lagi menipiskan bibir melihat lagak putrinya. Kali ini juga menambahi dengan gelengan kepala.
"Belakangan ini kamu mulai kendor buat bersih-bersih..." Bunda mengeluarkan jurus mengancamnya. Paris menelan ludah.
"Emmm ... Paris agak tidak sehat, Bun. Jadinya sedikit kendor." Paris mencari alasan. Memakai mimik wajah melas agar bunda percaya.
"Bunda itu pakai nyuruh-nyuruh kamu itu bukan apa. Ya ... itu semua demi kamu. Jika kamu sudah menikah, setidaknya punya jiwa rajin seorang istri. Beres-beres, masak ..."
"Paris tahu," potong Paris cepat. "Lagian Paris menikahnya masih lama. Sekolah saja belum selesai. Mana mungkin Paris menikah." Ada gelak tawa geli di sana.
"Jodoh itu datang tidak di sangka. Mungkin saja, besok jodoh kamu sudah ada di depan mata."
"Bisa jadi, tapi untuk menikah kayaknya jauh deh Bun ... "
"Kenapa?" tanya bunda memicingkan mata.
"Kalau besok aja baru ketemu jodohnya, pastinya baru berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun baru menikah. Kita kan perlu penjajakan dulu. Kenal dulu. Pahami dulu. Baru setelah itu menikah." Paris mengatakan semuanya dengan bangga.
"Kalau takdir mengatakan kalian jodoh, satu hari saja bisa membuat kalian menikah." Nyonya Wardah memang yakin akan cinta pada pandangan pertama.
"Satu hari? Tidak mungkin ...." Bibir Paris mencebik. "Itu hal mustahil."
"Kenapa tidak?"
"Ya ... mana bisa lah, Bun ... " Paris mengibaskan tangannya. Membantah pendapat nyonya Wardah. "Khayal banget pemikiran Bunda." Bunda hanya melirik putrinya itu. Tangan Paris menyuap makanan ke dalam mulut dengan semangat. Dengan cepat piringnya segera bersih. "Kenyaaangggg ...."
"Kamu lapar sekali. Kelihatan habis melakukan aktifitas berat. Memangnya kamu di hukum lari mengelilingi lapangan tadi?" tanya bunda curiga.
"Eitsss ... enggaklah, Bun. Aku hanya kelaparan saja." Paris menolak di tuduh di hukum. Dia bersemangat makan karena tadi sempat ada yang bikin sebal dirinya.
Asha muncul dengan Arash yang terlelap dalam gendongannya.
"Gembul sudah tidur, Kak?" tanya Paris yang bangkit dari kursi untuk meletakkan piring di dalam bak cuci. Melongok sejenak ke arah gendongan Asha dan menaikkan alis.
"Ya."
"Enak benar tidurnya si gembul." Paris melenggang setelah mengatakan itu.
"Pasti minum susunya banyak tadi, ya?" tanya Bunda.
"Iya, Bun. Arash memang doyan nyusu."
"Anak laki memang begitu. Mik susunya sangat kuat. Kamu harus perbanyak makan sayur-sayuran. Biar ASI-nya semakin banyak."
"Iya."
"Jadi kayak kambing dong, makan rumput." Paris tergelak. Asha hanya tersenyum. Sementara nyonya Wardah menoleh dengan bola mata tajam.
"Ngomong sama kakakmu itu begitu memangnya? Jadi pantas mau ngata-ngatain kak Asha begitu?"
"Kan hanya bercanda, Bun ...." Paris bermuka masam di protes bunda. Asha menoleh pada mertuanya cepat. Kaget sama protesnya beliau.
"Walau bercanda, itu tidak pantas. Jangan di biasakan begitu. Jika kamu tinggal bareng mertuamu kelak bagaimana? Kamu juga akan bercanda begitu?"
"Mertua? Lagi-lagi bunda ngomong itu ..." gumam Paris. Setengah menggerutu. Bibirnya mengkerucut sebal. Apa-apa sering di kaitkan sama hal itu. Membuat Paris menghela napas lelah.
"Ya memang ke depannya itu yang di hadapi. Bukan hal lain."
"Memangnya enggak ada pembahasan selain menikah?"
"Enggak ada. Bunda memang harus menyiapkan kamu buat jadi seorang istri yang baik." Masih dengan pendapatnya. Bunda memang ingin putrinya menjadi seperti dirinya. Menjadi seorang istri yang baik dan tahu segala hal persoalan rumah saat menikah kelak.
Paris memilih segera pergi dari dapur. Jika tidak, bunda akan terus saja mencekoki telinganya dengan pembahasan-pembahasan soal menikah. Gadis itu meninggalkan piring kotor itu tergeletak begitu saja di dalam bak cuci piring. Membuat nyonya Wardah mendelik.
"Itu anak. Bukannya justru mencuci piring, malah pergi meninggalkan piring kotornya," gerutu beliau sambil beranjak berdiri.
"Biar Asha yang cuci, Bun ... Setelah Arash Asha letakkan di kamar bawah." Asha memilih menengahi dengan menyediakan waktu membantu.
"Aduh, jangann ... Biar bik Sumi saja." Asha mengangguk. Lalu mencomot buah yang sudah di kupas mertuanya. "Paris itu memang lebih baik di jodohkan saja." Asha yang mengunyah buah terkejut.
Sepertinya bunda sudah mulai lagi. Kebiasaan beliau muncul kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Mbah Edhok
berkali-kali mbaca cerita ini "Pendamping untuk Paris" tidak bosan ... tetap enak dibaca ... sukses Thor ...
2023-11-25
0
Riska Wulandari
Paris itu masih bayik bund..🤣
2022-09-08
0
Siti Fatimah
wkwkwk ini anak sama ibu kaya seorang rival 😂😂😂
2022-08-22
0