"Kenapa kamu yang serius? Jangan terlalu banyak mikir. Nanti kamu cepat beruban." Biema memainkan rambut adiknya.
"Ih!" dengkus Sandra sambil menghalau tangan kakaknya dari atas rambutnya. "Lagi pula, bukannya kakak akan menikahi orang lain? Wanita yang selalu kakak cintai itu. Kenapa jadi tiba-tiba menikahi Paris ..." Sandra merapikan rambutnya yang sempat dibuat acak oleh Biema.
"Kamu sudah terlalu banyak ngomong dan banyak menyimpulkan. Kayak detektif saja."
"Aku kasihan melihat Paris tidak bersemangat seperti biasanya ...," keluh Sandra. "Dia sahabatku, kak. Seharusnya kakak jangan membuatnya bersedih."
"Sudah sampai. Masuklah sendiri. Aku tidak mau mama tahu bahwa aku tidak menjemput Paris dan malah mengantarmu pulang."
"Ya." Sandra turun dari mobil. "Aku akan coba menghubungi ponselnya Paris ya," ujar Sandra masih melanjutkan membahas Paris.
"Tidak perlu. Aku sudah mencoba menghubunginya. Sepertinya ponselnya di matikan. Sudah aku bilang jangan ikut mikir. Soal Paris biar aku yang mengatasinya. Masuk sana."
"Baiklah. Daaa ... Kakak! Hati-hati di jalan dan segera temukan dia!" Sandra melambaikan tangan melepas kepergian kakaknya itu. Biema mengangguk. Sandra pun masuk ke dalam pintu gerbang rumah mereka. Sementara Biema melajukan mobilnya menjauh dari rumah.
Masih terngiang di kepala Biema soal kata-kata Sandra " ... Lagi pula, bukannya kakak akan menikahi orang lain? Wanita yang selalu kakak cintai itu. Kenapa jadi tiba-tiba menikahi Paris ..."
Wanita yang selalu aku cintai ya ..., gumam Biema. Sekelebat nama Paris muncul. Dia teringat lagi soal gadis itu. Biema segera menekan nomor telepon rumah orangtua gadis itu. Mungkin saja dia ada di sana.
"Ya. Rumah keluarga Hendarto," jawab suara di seberang. Seorang perempuan.
"Ini ... Asha?" tanya Biema yang mulai menghapal suara keluarga Paris.
"Benar. Ini siapa?"
"Aku Biema."
"Eh, Biema. Ada apa?" Asha menoleh kepalanya ke arah Paris yang saat itu ada di belakangnya.
"Apakah Paris ada di sana sekarang?" Gadis itu menggoyang-goyangkan tangan dengan kuat. Dia tidak mau keberadaannya di ketahui pria itu.
"Paris? Tidak. Memangnya ada apa?" Kening Asha mengerut. Bola matanya melihat ke arah Paris yang mengacungkan jempol. Di beri pujian karena sudah menyelamatkannya.
"Tidak ada apa-apa. Terima kasih."
"Mmm ... apa Paris membuat masalah? Kabur misalnya," tebak Asha. Paris mendelik. Sebenarnya Biema hendak segera menutup ponselnya karena takut ada dugaan macam-macam. Namun karena Asha bertanya seperti itu, Biema jadi goyah. Ia ingin mengatakan soal Paris pada perempuan yang dia tahu sejak perkelahian di kelab malam itu.
"Bukan kabur. Hanya saja aku tidak bisa menemukannya di depan gerbang sekolah. Padahal kita sudah berjanji untuk bertemu di sana saat dia pulang sekolah. Aku mau menjemputnya." Biema merasa lancar mengatakan perihal Paris pada Asha.
"Mmm ... begitu." Asha jadi tahu sebab gadis ini muncul di rumah orangtuanya. Paris hanya menerka isi pembicaraan mereka. "Tunggu saja di apartemenmu. Dia pasti kembali saat tiba waktunya." Asha memberi nasehat.
"Aku tidak perlu mencarinya?"
"Mmm ... perlu sih. Hanya saja, dia akan semakin kalap jika kamu mencarinya saat ini. Biarkan saja dia menyendiri dulu." Asha tahu keadaan hati gadis itu.
"Sepertinya kamu tahu betul bagaimana keadaan Paris sekarang. Jadi dia ada di sana sekarang?"
"Tadi Paris memang sempat kesini." Paris mendelik kedua kalinya.
"Kamu juga pasti tahu bahwa dia menikah denganku karena terpaksa," selidik Biema seraya mengernyitkan dahinya.
"Mmm ... soal itu aku juga tahu."
"Ashaa! Arash minta minum susu nih!" teriak bunda. Paris terperanjat kaget.
"Sudah ya, Biema. Tunggu saja kedatangannya di rumah. Aku yakin dia bisa menjaga diri di luar. Untuk saat ini kamu jangan melakukan apa-apa. Itu akan membatasi geraknya."
"Pariiss! Bantuin bunda menenangkan Arash dong!"
"Aku dataaang!" Tanpa sadar Paris menyahuti panggilan bunda. Sial! rutuk Paris dalam hati. Paris berlari menggantikan Asha.
Dia ada di sana! pekik Biema dalam hati.
"Ya, Bun!" Asha menjawab akhirnya. Percakapan Asha dan Biema terputus. Itu membuat Biema termenung sejenak.
Rupanya dia begitu dekat dengan kakak iparnya itu. Baiklah jika memang Paris tidak ingin aku temukan. Ini pertama kali. Aku mungkin bisa membiarkannya.
Tit! Suara pintu terdengar di buka seseorang dari luar. Seorang gadis muncul dengan mimik muka masam. Biema yang sejak tadi ada di depan tv, menoleh.
"Akhirnya kamu muncul juga setelah beberapa jam menghilang," ujarnya. Bukan dengan nada marah dan tinggi, tapi dengan nada tegas tanpa perlu menaikkan intonasi bicara. Mata Paris menyoroti pria ini tajam. Dia tidak berkomentar apapun soal kalimatnya.
Paris masih memakai seragam sekolah lengkap. Sepatu dan tas ranselnya masih tetap bertengger pada tubuhnya. Dia belum mengganti seragam itu dengan baju santai.
Mungkin karena ingin terburu-buru masuk ke dalam kamar, sepatu itu semakin sulit di lepas. Paris menggerutu, memaki sepatunya. Atau juga sedang memaki dirinya yang terjebak di depan pintu dengan mata pria yang ada di depan sana masih melihatnya.
Setelah bersusah payah melepasnya, dia meletakkan sepatu itu di dalam laci sepatu. Kemudian dia melenggang dengan santai dan angkuh melewati Biema yang masih melihatnya.
"Kenapa tiba-tiba kabur?" tanya Biema sebelum gadis itu berhasil membuka pintu kamarnya. Kali ini tubuh pria ini berdiri. Paris berhenti membuka pintu. Tangannya masih memegang handle pintu. Setelah menghela napas, Paris memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan pria itu.
"Aku tidak menghilang ataupun kabur. Aku sedang pulang ke rumahku sendiri," jawab Paris tidak suka di tuduh menghilang. Apalagi dia ketahuan ada di rumah orangtuanya. Setelah membiarkan pertanyaan itu mengambang beberapa menit, Paris menjawab dengan asal. Nadanya ketus dan tidak bersahabat.
"Bukankah kita sepakat bahwa kita akan tinggal disini?"
"Tidak. Bukan kita sepakat. Ini semua kamu yang merencanakan, bukan aku. Kamu merencanakannya dengan memikat hati bundaku yang gampang di perdaya." Mendengar jawaban Paris, Biema diam. "Lagipula sejak awal aku tidak berniat mengikuti rencana konyol ini."
"Meskipun kamu menyangkal, kamu tetap tidak bisa mengubahnya. Kita harus tetap berada disini. Di apartemenku ini." Biema akhirnya menunjukkan dominannya.
"Itu pemaksaan," desis Paris geram.
"Semua ini sudah terjadi. Jadi silahkan berdiskusi dengan hatimu untuk menerima apa yang sudah di putuskan." Biema berkata dengan tegas. Lalu pria itu kembali ke sofa tv.
"Keputusan bisa di ubah jika kamu mau melakukannya. Ubahlah keputusan ini Biema," kata Paris sedikit memohon. Biema melihat gadis berseragam di belakangnya agak lama.
"Tidak. Aku tidak mau melakukannya. Semua keputusan ini sudah di buat sejak awal." Biema memutar tubuhnya melihat ke arah tv. Dia tidak lagi menghadap Paris dan memunggunginya.
"Kamu sungguh tidak masuk akal!" desis Paris kesal, geram dan marah. Brak! Lalu masuk ke dalam kamar dengan menutup pintu keras. Bagaimanapun Paris tidak mau disini. Bagaimanapun Paris menentang keputusan ini. Makanya dia sering kabur dari apartemen ini dan uring-uringan tidak ada ujungnya.
"Bisa tidak, menutup pintu dengan cara biasa?!" tegur Biema dengan teriakan. Karena gadis itu sudah berada di dalam kamar.
"Tidak bisa! Jadi usahakan dirimu terbiasa dengan styleku yang seperti ini!" sahut Paris menjawab pertanyaan Biema pada akhirnya.
Biema melihat tv dengan tidak lagi bisa fokus pada apa yang sejak tadi di tontonnya. Helaan napas mulai terdengar dari bibirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Ika Ratna🌼
ayo kak... bikin si paris bucin... kasian biema
2022-10-22
0
StAr1086
paris tertekan...
2022-07-07
0
Qiza Khumaeroh
kira2 spa yg bucin dluan yaa
2022-06-14
0