Apakah yang di katakan Biema saat ini adalah benar?
"Kenapa diam? Kamu takut, kalau perkataanku ternyata benar?" tanya Biema seperti sengaja memprovokasi.
"Takut? Kenapa harus takut?" Paris menyamarkan kegugupannya dengan bicara ketus.
"Silakan telepon sekarang. Aku ingin tahu bagaimana reaksimu saat mendengar bahwa aku benar." Bola mata Biema menyiratkan dia tidak berbohong. Ini sebuah tantangan.
Paris menipiskan bibir tidak suka Biema seakan mengejeknya. Kalimat itu bagai sebuah tantangan untuknya. Tanpa bicara lagi Paris menekan tombol panggil pada ponselnya. Mencoba menelepon bunda.
"Iya, halo Paris ..." sapa bunda di sana dengan suara sangat bahagia.
"Bunda. Bunda ada dimana sekarang?" tanya Paris dengan nada hangat.
"Dimana? Apa kamu sedang sendirian? Dimana Biema?" Beliau justru bertanya soal Biema. Paris mengerutkan keningnya. Tidak menduga mendapat pertanyaan itu sebelum pertanyaannya berhasil di jawab.
"Kenapa justru bertanya tentang dia, Bun?" tanya Paris menahan geram pada bunda.
"Dia pergi?" tanya bunda lagi yang membuat Paris menghela napas panjang.
"Tidak. Dia ada disini," ujar Paris menahan kesal. Dia juga enggan menunjukkan pada pria di depannya bahwa bundanya sibuk menanyakan keberadaan Biema daripada dirinya.
"Biema tidak memberitahu kamu dimana kita sekarang? Coba tanya dia."
"Aku bertanya pada bunda. Kok bunda malah menyuruhku bertanya pada Biema?" gerutu Paris. Menyebut nama pria itu pada akhirnya. Biema hanya menggerakkan bola matanya melihat gadis yang nampak frustasi berbicara dengan orangtuanya. Tubuhnya masih duduk dengan tenang dengan gelas minuman di tangannya.
"Eh, eh ... Tinggal tanya begitu saja sudah sewot. Karena acara makan malam.kita sudah selesai, bunda sudah pulang tadi. Saat kamu lama di toilet itu," jawab bunda begitu santai.
"Apa?! Apa yang bunda bilang?!" tanya Paris sambil berdiri. Kali ini membuat Biema mendongak. Beberapa orang di restoran juga ikut menoleh pada Paris.
"Iya. Bunda dan orangtua Biema sudah pulang."
"Jadi bunda meninggalkanku?" tanya Paris tidak percaya.
"Tidak. Bunda hanya pulang lebih dulu."
"Iya, tapi bunda sudah meninggalkanku sendiri di sini."
"Bukannya Biema masih ada di sana Paris ..."
"Apa hubungannya bunda sudah pulang dengan adanya dia disini?" tunjuk Paris tanpa sadar ke arah Biema. Telunjuknya menunjuk dengan tegas ke arah pria itu. "Berarti bunda menyuruhku pulang sendirian? Begitu?" tanya Paris tidak bisa lagi menahan gusar dan kesal.
"Kenapa pulang sendiri? Kan ada Biema. Dia pasti mau mengantarkanmu. Dia sudah setuju untuk mengantarkanmu pulang tadi." Nyonya Wardah masih menjawab pertanyaan putrinya yang berapi-api dengan tenang dan santai.
"Kenapa dia harus mengantarku pulang? Bunda suruh Angga saja kesini dan menjemputku." Tangan Paris bersidekap.
"Aduhh ... Angga tidak bisa di ganggu."
"Kenapa sopir rumah malah enggak bisa di ganggu saat majikannya butuh, sih?"
"Kamu ngomong apa Paris? Angga juga manusia, jadi dia juga ada keperluan seperti kita."
"Tapi bunda ..."
"Sudah, sudah. Kamu pulang saja sama Biema. Minta dia anterin kamu."
"Bun ... Bunda. Bunda." Meskipun berulang kali di panggil, tapi tidak ada respon. Nyonya Wardah benar-benar memutus sambungan ponsel Paris.
Gadis ini berusaha menelepon lagi, tapi tidak di angkat. "Aarghh!" Paris menjejakkan kakinya di atas lantai restoran dengan kesal. Sementara Biema bersikap sebagai penonton. Seperti orang-orang di restoran yang sejak tadi melihat ke arah gadis ini. Melihat bermacam-macam ekspresi yang di tunjukkan gadis di depannya dengan puas.
Kemudian Paris menghempaskan pantatnya di atas kursi dengan sebal. Bibirnya mengkerucut. Tidak menduga bahwa dirinya akan terjebak di sini. Bersama dia.
"Sudah mendapat konfirmasi?" tanya Biema. Pertanyaan ini seakan mencemooh keadaan Paris sekarang.
Bola mata Paris bergerak melihat ke arah pria berjas hitam di depannya dengan tajam. "Kenapa? Kamu ingin bersorak? Kamu ingin bertepuk tangan? Silakan. Aku memang di tinggalkan keluargaku di sini. Ayo ... Silakan bertepuk tangan." Paris memajukan tangannya mempersilakan Biema menertawakannya.
Biema meneguk minuman.
"Buat apa aku harus bertepuk tangan? Itu memerlukan tenaga. Aku tidak harus mengeluarkan tenaga hanya untuk menghadapimu."
"Benar. Kamu tidak harus mengeluarkan tenaga untukku." Kali ini Paris mencondongkan tubuhnya ke arah Biema. Setengah nengejek. "Lalu kenapa kamu duduk disini? Bukankah kamu sudah mengeluarkan tenaga untukku?" Paris tersenyum tipis seperti mendapat angin untuk ganti mengejek Biema.
"Tidak. Aku hanya mencoba menjadi anak yang baik dan patuh untuk orangtuaku. Karena bundamu dan mereka memintaku memberitahumu bahwa beliau meninggalkanmu, jadi aku harus disini. Itu sikap sopan yang di ajarkan orangtuaku pada oranglain. Tidak seperti seseorang yang kurang sopan." Kalimat terakhir begitu menusuk karena mata Biema jelas-jelas menunjuk ke arahnya. Dagu pria ini bergerak seakan menunjuk langsung pada dirinya.
"Maksudmu aku?" tanya Paris sambil menunjuk ke arah wajahnya.
"Entahlah ..."
"Hei!" Tanpa sadar Paris bergerak mendekat dengan tangan yang akan mencengkeram kerah jas Biema. Dia lupa sekarang sedang dimana. Saat semua orang melihatnya dia baru sadar.
Bibirnya tersenyum melihat kesekeliling. Lalu menurunkan tangannya dan duduk dengan tenang kembali. "Aku tidak menyangka kamu begitu menyebalkan. Di banding dengan wajahmu yang innocent, kamu begitu dingin dan mudah menyerang orang dengan kata-kata." Paris mendesis marah.
"Entah itu karena kamu masih sekolah di bangku SMA atau aku memang yang sudah dewasa, pertemuan kita tidak pernah berhasil."
"Tidak perlu berhasil. Karena kita tidak perlu berteman atau sekedar mengenal."
"Jadi menurutmu lebih baik kita berdua menjadi musuh?" tanya Biema.
"Mungkin, karena sepertinya kamu terus saja membuatku sebal. Kita memang terlahir jadi musuh." Paris beranjak berdiri.
"Mau kemana?"
"Aku tidak harus memberitahumu." Paris mengatakannya dengan terus berjalan tanpa menoleh kebelakang.
"Jika mau pulang, aku harus mengantarmu."
Mendengar kalimat ini, kaki Paris mendadak berhenti. Kemudian membalikkan badan dan melihat Biema dengan mata menatap lurus. Wajahnya juga tidak bersahabat.
"Mengantarku? Baik sekali kamu," ejek Paris seraya mendengkus.
"Tidak. Aku tidak akan baik kepadamu." Paris melebarkan mata. Tidak percaya balasan kalimat Biema mengguncang indra pendengarannya. "Aku hanya sedang melakukan hobi menuruti perintah orangtuaku, yaitu mengantarmu pulang."
"Makan itu hobimu!" ujar Paris sadis. "Aku tidak akan sudi di antar olehmu." Paris pergi menuju pintu keluar dan meninggalkan Biema sendirian.
"Yahh ... bukan aku yang tidak mau mengantarnya. Gadis itu sendiri menolak dan pergi. Aku tidak harus memaksanya mau aku antar." Biema menerima kepergian Paris dengan santai. Tanpa beban. Padahal Paris pergi dari restoran ini dengan kekesalan yang menggunung.
Kemudian dia duduk lagi di kursinya. Bukan ingin berlama-lama disini. Dia hanya ingin menghindari bertemu Paris yang mungkin saja masih lama menunggu jemputan atau taksi di luar hotel.
Biema mencoba menikmati duduk menunggu waktu yang tepat untuk pulang. Saat itu seseorang melintas. Kepala Biema mengikuti arah langkah perempuan yang melintas tak jauh di depannya.
Wanita itu tengah berjalan bersama seorang temannya. Senyuman wanita itu merekah saat seseorang menyapanya.
Mela! Dia muncul lagi. Biema mendadak merasa perlu membenarkan cara duduknya. Tiba-tiba dia di landa kegelisahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Apa susahnya sih pake taxi online,gitu aja ribet mintak ampun..🙄🙄🙄
2024-04-02
0
Siti Fatimah
wkwkwk jiga Tom and Jerry...
2022-08-22
0
Atih Suyati
mantan y
2022-08-20
0