Gavin terlihat menghela nafas berat. Dia merasa bingung untuk menyikapi keinginan Zia yang kemungkinan bisa memperburuk keadaan rumah tangga mereka.
Menenangkan diri dengan cara pisah rumah bukanlah solusi.
"Jangan seperti ini Zi. Bukan keputusan yang tepat kalau kamu memilih pergi. 3 bulan bukan waktu yang sebentar Zi," Tutur Gavin lembut.
"Bagaimana kalau kita liburan saja.? Kita bisa keluar negeri selama 1 bulan." Gavin memberikan usul yang menurutnya jauh lebih baik dari pada harus berpisah rumah dengan Zia.
"Liburan tidak bisa digunakan untuk menenangkan diri mas. Aku butuh waktu untuk memikirkan baik - baik keputusan yang akan aku ambil nantinya."
"Karena untuk saat ini aku tidak tau harus bertahan dengan hinaan atau mundur dengan kehancuran."
Zia meneteskan air matanya, namun segera dia hapus. Wanita itu tidak ingin terlihat semakin rapuh di depan Gavin.
"Jangan pernah berfikir untuk mundur Zi, aku tidak akan melepaskan kamu sampai kapanpun."
Gavin menarik Zia, membawanya kedalam pelukannya yang terasa begitu hangat dan nyaman bagi Zia.
Wanita cantik itu memeluk Gavin erat, rasanya tidak sanggup jika suatu saat harus merelakan kehangatan dan kenyamanan ini untuk wanita lain.
"Hanya 1 bulan, aku ijinkan kamu tinggal di apartemen. Tapi hanya untuk menenangkan pikiran kamu, bukan untuk mengambil keputusan apapun. Karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengakhiri rumah tangga kita Zi,,"
Pada akhirnya Gavin mengalah, membiarkan Zia untuk pergi dari rumah.
Zia langsung melonggarkan pelukannya, sedikit memundurkan wajah untuk menatap Gavin.
"Tapi mas,,,"
"Tidak ada tapi - tapian Zi. Kamu mau setuju atau aku sama sekali tidak akan mengijinkan kamu keluar dari rumah ini." Tegas Gavin.
Zia terlihat ragu. Padahal tujuannya untuk tinggal di apartemen bukan hanya untuk menenangkan diri saja. Tapi agar dia dan juga Gavin bisa sama - sama memikirkan langkah apa yang akan mereka ambil untuk rumah tangga mereka kedepannya.
Jika mama Ambar masih terobsesi ingin memiliki cucu dari Gavin dan terus mendesak Gavin untuk menikah dengan wanita lain, Zia tidak punya pilihan lagi selain melepaskan Gavin.
Zia angkat tangan jika soal keturunan. Karena sebagai manusia dia hanya bisa berusaha dan berdo'a. Selebihnya Zia hanya bisa berpasrah karena hanya Tuhan yang memiliki kehendak pada siapa akan memberikan keturunan.
Selama ini mereka sudah melakukan berbagai cara untuk menghadirkan buah hati di tengah - tengah mereka, namun belum juga membuahkan hasil.
Mereka bukan tidak mau mencoba lagi, tapi mencoba berbagai cara untuk program kehamilan hanya membuat keduanya semakin stres karena memikirkan hasilnya yang selalu gagal.
"Kamu keberatan.?" Tanya Gavin Karena Zia masih terus melamun.
"Kalau begitu jangan coba - coba untuk meninggalkan rumah ini Zi,," Gavin melepaskan tangannya dari pinggang Zia, bermaksud untuk pergi ke kamar. Namun Zia menahan langkahnya.
"Ya, tidak apa kalau hanya 1 bulan. Saat ini aku benar - benar ingin tenang mas,,"
Zia terlihat sangat tertekan dan stres saat ini. Dia terus memikirkan hinaan dan permintaan mama Ambar.
Akal sehatnya sudah tertutup dengan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi dalam hidupnya kelak, jika pada akhirnya dia tidak mampu lagi mempertahankan rumah tangga mereka.
Lagi - lagi Gavin hanya bisa menghela nafas berat. Meski dia sendiri yang sudah memberikan ijin pada Zia, tetap saja Gavin sangat keberatan dengan keputusan Zia yang bersikeras untuk tinggal terpisah sementara waktu.
"Kemasi apa yang akan kamu bawa, nanti malam aku antar kamu ke apartemen. Aku mau istirahat dulu,," Tutur Gavin datar dengan sesak di dada yang sulit untuk dia ungkapkan pada Zia.
Gavin berlalu tanpa melihat Zia lebih dulu.
Zia terlihat sendu menatap kepergian Gavin. Wanita itu sadar kalau Gavin kecewa dengan keputusan yang sudah dia ambil. Namun saat ini Zia tidak punya pilihan lain. Setidaknya dengan jarang melihat Gavin, Zia tidak akan terus memikirkan perkataan mama Ambar yang meminta Zia untuk mengijinkan Gavin menikah lagi.
Karena jika terus melihat Gavin, dia akan semakin sakit membayangkan perpisahan.
Saat ini Gavin hanya memberinya kesempatan untuk menangkan diri saja. Zia tidak tau akan seperti apa nasib rumah tangganya jika tidak ada keputusan yang mereka ambil.
Pada akhirnya Zia yang terus merasakan sakit akibat sikap mama Ambar.
...**...
Saat masuk ke dalam kamar, manik mata Zia langsung tertuju pada Gavin yang tengah berbaring di ranjang dengan mata yang terpejam. Zia tau saat ini Gavin belum tertidur.
Langkah Zia semakin mendekat ke arah ranjang.
Dia bisa melihat jelas wajah tampan Gavin yang terlihat kacau.
"Maaf mas,," Ucap Zia lirih. Memang keputusannya untuk tinggal di apartemen adalah keputusan yang salah. Hal itu membuat Gavin terlihat kecewa. Namun tidak ada hal lain yang Zia butuhkan saat ini selain ketenangan hati dan jiwanya.
Gavin langsung membuka matanya, dia memang belum tidur karena memikirkan nasib rumah tangganya yang harus berantakan akibat campur tangan orang tuanya.
"Sini,," Gavin menepuk sisi kosong di sampingnya, meminta Zia untuk ikut berbaring di sana.
Tanpa berpikir panjang, Zia langsung naik ke atas ranjang. Merebahkan tubuhnya dan meletakan kepalanya di lengan besar Gavin.
Gavin mengusap lembut kepala Zia, kemudian mendaratkan kecupan di pucuk kepalanya.
"Aku yang harusnya minta maaf Zi. Aku sudah gagal mempertahankan keharmonisan rumah tangga kita. Aku melukai perasaan kamu, begitu juga dengan keluargaku yang terus menyalahkan kamu."
"Aku benar - benar minta maaf untuk itu Zi,,"
Ucap Gavin tulus.
Dia memeluk Zia erat, seakan takut kehilangan wanita yang begitu sempurna di matanya.
Penuturan Gavin membuat Zia menangis. Dia terharu sekaligus terluka. Andai saja keluarga Gavin tidak pernah mempermasalahkan soal keturunan, pasti saat ini dia Gavin masih bahagia dan baik - baik saja.
Seharusnya orang tua Gavin bisa membatasi diri untuk tidak terlalu ikut campur dalam permasalahan rumah tangga mereka. Terlebih mengenai anak yang merupakan hal sensitif bagi seorang istri.
Sebagai orang tua, harusnya bisa memberi dukungan dan semangat. Bukan malah sebaliknya dengan menjatuhkan mental Zia dengan menghina dan menyudutkannya. Apalagi sampai menyuruh Zia agar mau mengijinkan Gavin untuk menikah lagi hanya karena Zia tak kunjung memberikan cucu untuknya.
"Aku sudah memaafkan kamu mas." Sahut Zia. Dia semakin membenamkan wajahnya di dada Gavin.
"Makasih sayang,,"
"Apa yang saja yang mau bawa ke apartemen.? Biar aku bantu bereskan." Tanya Gavin. Dia sudah menerima keputusan Zia. Gavin sadar jika beberapa bukan terakhir Zia sudah mengalami guncangan psikis akibat sikap dinginnya dan hinaan keluarganya. Mungkin ini memang cara terbaik untuk memulihkan hati dan pikiran Zia agar kembali tenang.
Zia mengembangkan senyum, suatu hal yang tak ternilai bisa memiliki Gavin disisinya.
Meski sempat dingin padanya, namun Gavin orang yang selama ini memberikan kebahagiaan padanya.
Sosok Gavin bukan hanya sebagai suaminya, laki - laki baik itu juga bisa berperan sebagai kakak, sahabat dan orang tua baginya.
"Tidak usah mas. Aku hanya butuh beberapa baju dan membawa laptopku saja." Zia menolak lembut tawaran Gavin.
"Baju -baju di sana masih bisa aku pakai,," Langitnya.
"Ya sudah, aku tidur dulu sebentar. Bangunkan aku 2 jam lagi,,"
Zia mengangguk, lalu turun dari ranjang. Dia tidak mau menganggu waktu istirahat Gavin. Laki - laki itu pasti lelah setelah menyetir.
Terlebih kemarin saat di villa, Gavin tidur larut malam karena terus memacu dirinya di atas tubuh Zia.
Zia menata beberapa baju yang akan dia bawa.
Meski ada keraguan untuk tinggal di apartemen, namun keputusan Zia sudah bulat. Wanita itu butuh ketenangan agar bisa melanjutkan kehidupannya dengan normal tanpa merasa tertekan oleh masalah yang sedang dia hadapi.
Terkadang kita memang perlu untuk menenangkan diri saat ada masalah besar yang menerpa, bukan karena ingin menghindar, tapi untuk melindungi hati lebih dulu agar masih ada hati yang tersisa untuk kembali menghadapi permasalahan yang ada.
Bagi Zia, kemanapun Tuhan akan membawa takdir rumah tangganya, itu artinya yang terbaik bagi dirinya.
Menjalani hidup dengan atau tanpa Gavin untuk selamanya, hidup Zia akan tetap berjalan meski harus menapak pada kerikil tajam. Yang akan terasa sulit dan menyakitkan baginya.
...****...
Mon maap, sampe sini melow terus ceritanya 😅 semoga pada kuat hati bacanya sampai kesedihan Zia menjadi bahagia.
Karena hidup itu bukan hanya tentang kebahagiaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Siwi Projosuwasono
wes netes airmataku ...
2022-04-09
0
Powe Hardiyana
sama aku juga seperti dia, sudah berobat kemana2 tpi hasilnya nihil dan bersyukur nya punya suami yg pengertian tidak mempermasalahkan anak dan keluarga kita juga sama jdi haapypan aja walaupun sudah menikah 15 thn tpi alhamdulillah manis harmonis saja sampai sekarang
2021-11-17
0
Nur Yanti
yg sabar ya zi.. moga nanti cepat ada momongan 😁
2021-11-14
0