⚕️⚕️⚕️⚕️
Pagi itu Yulia bangun sedari Subuh, setelah menunaikan kewajiban nya, ia keluar kamar dan mendapati dapur masih kosong.
Apa ibu sudah pergi ke pasar?
Tak biasanya ibu gak pamit jika mau ke pasar.
Oiya, bukankah tadi malam ibu mengeluh sakit ya?
Yulia bergegas ke kamar ibunya.
Tok tok tok!
"Ibu!"
Tak ada jawaban saat ia mengetuk pintu. Yulia kemudian membuka pintu kamar karena perasaannya tak enak.
"Ibu! belum bangun rupanya." monolog Yulia sambil mendekati sang ibu.
"Ibuu!" lirih Yulia memanggil, lalu sang ibu membuka matanya.
"Yulia! Badan ibu lemas." ucap ibu setelah membuka mata. Sayu. Buru buru Yulia menyentuh dahi, tidak panas.
"Ibu memangnya kenapa? Ya Alloh ibuu! Pucat sekali ibu!"
Gimana ini?
"Ah ibu! Biar Yulia ambilkan air anget dulu ya, Bu!" Yulia beranjak tergesa keluar kamar dan menuju dapur untuk membuat teh.
"Ayo, Bu! diminum teh angetnya." Ibu berusaha bangun lalu menggeser tubuhnya bersandar ditembok, ia lalu meminum teh dan habis setengah gelas.
"Gimana Bu, apa yang ibu rasakan sekarang?" tanya Yulia penuh kekhawatiran. Hanya ibu yang ia punya saat ini.
"Ibu lemes Yul, rasanya ibu gak ada tenaga buat gerakin badan ibu!" Terlihat ibu berusaha mengangkat tangannya. Tapi sangat sulit.
"Kalau gitu, ibu istirahat dulu jangan kemana mana ya? Yulia mau belikan bubur dulu di tempat mbak Munaroh. Dia masih jualan kan Bu?" Ibu Yulia yang bernama Bu Kanti itu mengangguk.
Yulia setengah berlari pagi itu, berjarak dua ratus meter dari rumahnya mbak Munaroh jualan bubur ayam. Sesampainya di sana ternyata ada beberapa orang yang juga mengantri.
Beberapa menit giliran Yulia yang dilayani.
"Buburnya dimakan di sini apa dibungkus mbak?" tanya penjual bubur tanpa menengok.
"Dibawa pulang mbak, satu aja." penjual itu mengangguk. Dan setelah selesai menyerahkan pada Yulia.
"Lima ribu mbak!" penjual itu kaget setelah tahu siapa pembelinya.
"Yulia!" Mbak Munaroh berseru dengan tersenyum. Yulia memberikan uang pecahan 20 ribuan setelah menerima bungkusan.
"Eh, nggak usah Yulia. Buat kamu gratis. Bawa aja. Kok tumben kamu pagi pagi ada disini Yulia? Ibumu sehat kan?" Mbak Munaroh penjual bubur nyerocos bertanya pada Yulia.
"Aduh mbak nanyanya satu satu dong! Hehehe!" canda Yulia.
"Ibu sakit, makanya aku beli bubur. Buat ibu. Terus ini uangnya cepat diambil mbak! Aku khawatir sama ibu!" paksa Yulia menyodorkan uang berwarna hijau muda itu. Tapi mbak Munaroh menolaknya.
"Udah Yulia, kasihkan saja sama ibumu. Ibumu itu sering banget bantu aku waktu aku susah dulu. Ini gak seberapa, sama sekali gak sebanding." Mbak Munaroh mendorong uang yang diberikan.
"Duh, jadi gak enak hati aku mbak. Kalau begitu makasih ya mbak. Besok besok gini lagi ya mbak! Hehehe." Yulia nyengir sambil berlalu. Ia cukup akrab dengan mbak Munaroh dan suka saling bercanda dan meledek.
"Semoga Bu Kanti cepet sehat ya Yulia!" mbak Munaroh setengah berteriak.
"Ibuuuu! ibuuu!" panggil Yulia agak keras saat ia sampai dan langsung ke dapur ambil mangkuk.
"Ayo Bu! Duduk lagi terus makan. Yulia tadi udah panggilkan Dokter Andreas buat periksa ibu."
Sebelum pulang tadi, Yulia mampir ke rumah dokter Umum depan gang masuk rumah Yulia.
"Bismillahirrahmanirrahim."
Yulia mulai menyuapi ibunya. Namun baru satu suap perut ibu Kanti seperti diaduk aduk. Rasanya mual dan mau muntah.
"Udah Yul, jangan paksa ibu. Ibu bisa benar benar muntah. Ini aja gak bisa ketelen!" Bu Kanti terlihat kesulitan menelan.
"Ya Alloh, Buuu!" mata Yulia berkaca kaca. Yulia melihat jarum jam. Sudah jam tujuh, artinya sebentar lagi ia harus kerja. Ia baru bekerja dua hari, masa sih harus izin gak masuk?
Yulia dalam dilema. Di satu sisi ia tak tega meninggalkan ibunya. Di satu sisi ia harus bekerja untuk biaya hidup sehari hari. Ia tak mau bergantung pada siapa pun, apalagi ibunya sedang sakit. Untuk jaga jaga berobat saja Yulia tak punya uang. Semasa manjadi istri Wahyu, Yulia tak pernah pegang uang selain untuk belanja kebutuhan dapur. Dan itu menjadi tamparan keras buat Yulia, bahwa ia harus menjadi wanita yang tak bergantung sepenuhnya pada suami. Ia bertekad harus mandiri.
Harus!
Hhhh, Bisa stres aku.
Tak berapa lama, datanglah seorang dokter, masih muda dan cukup tampan. Ia tersenyum manis pada Yulia saat Yulia mempersilakan dia masuk.
"Ibu dari kemarin katanya lemes dok! Terus badannya juga susah di gerakin."Adu Yulia.
"Baik Yulia, akan saya periksa ya, ibunya." Dokter Andreas mengeluarkan alat alatnya. Sebuah alat pengukur tensi dan stetoskop.
Yulia memperhatikan dengan seksama dari tempatnya berdiri apa yang dilakukan dokter Andreas.
"Apa ibu mengalami pusing?"
"Sedikit dokter. Sebenarnya gak begitu pusing, tapi kalau saya paksa badan saya bangun, rasanya seperti berputar putar, dan mau muntah."
"Tensinya ibu Kanti sangat tinggi Yulia. 200/100 mmHg. Tapi jangan khawatir ya! Yang penting Bu Kanti harus istirahat yang cukup, jangan berpikir berlebihan. Harus santai ya Bu ya! Terus obatnya diminum sampai habis." kata sang dokter menasehati.
"Apa yang menyebabkan ibu saya tensinya tinggi, dokter?" tanya Yulia setelah pemeriksaan selesai.
"Secara umum tensi terlalu tinggi ada banyak penyebabnya Yulia. Bisa dari kolesterol tinggi, bisa juga dari pikiran yang berlebihan. Pola hidup ibu Kanti harus diperbaiki mulai sekarang. Karena kalau tidak, akibatnya bisa fatal. Karena sebenarnya ibu Kanti saat ini mengalami stroke ringan Yulia. Jadi harus benar benar diatur pola makannya. Juga gak boleh stres. dan banyak istirahat."
"Ibu Kanti jangan sampai jatuh ya, Yulia. Bahaya!"
"Untuk makanannya sementara ini makan yang gak pakai santan ya Bu, goreng gorengan juga dikurangi. Pedes dikurangi. Terus air putihnya juga yang banyak, kalau bisa yang hangat. Makan sayur sama buah juga sangat membantu agar tensi cepat turun." Dokter muda nan tampan itu menuliskan resep pada nota lalu menyerahkannya pada Yulia.
"Bu, njenengan iku mikir opo? santai wae nggih Bu! Ben awet sehat, syukur syukur kalau sampai bisa momong cucu, anaknya Yulia nanti. hehehe.
(Bu, ibu mikir apa? santai saja ya bu? biar awet sehat. Syukur kalau nanti bisa sampai momong cucu, yaitu anaknya Yulia.)
Sang dokter malah becanda tapi garing dan melirik Yulia penuh arti.
"Ditebus ya obatnya. Biar ibu cepet sembuh." Yulia menatap nanar resep itu.
Ya Alloh, cobaan apalagi ini!
"Terima kasih dokter." ujar Yulia sambil mengikuti dokter keluar.
"Berapa biayanya dokter?" tanya Yulia setelah mereka didepan. Kira kita ibu Kanti tak mendengar.
"Biayanya nanti untuk menebus obat saja Yulia. Saya ikhlas menolong Bu Kanti. Tak usah memikirkan saya." ucapan dokter Andreas membuat Yulia tak enak hati.
"Tapi, dok!"
"Sudah cukup Yulia. Aku hanya ingin membantu. Tak lebih. Jangan kamu menolaknya, saya akan sangat sedih jika kamu menolak...."
Dulu dokter Andreas pernah menyatakan perasaan pada Yulia. Tapi Yulia dengan halus langsung menolaknya karena mereka berbeda keyakinan. Dan lagi pula hati Yulia saat itu telah terpaut dengan Wahyu. Selain jika dengan Wahyu satu keyakinan, dokter Andreas juga kalah gercep. Ia menyatakan perasaan setelah Yulia menerima pinangan Wahyu tiga tahun lalu.
Dan sampai saat ini sama sekali tak terdengar oleh Yulia jika dokter Andreas dekat dengan perempuan. Bahkan sampai saat ini ia masih betah melajang.
\=\=\=\=\=
Hai, aku datang lagi....
Masih menunggukah?
semoga ya....
Gak bosen ma cerita yang aku tulis.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Sang Dewi
hai ka, aku mampir lagi..
2022-02-07
1
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
Hmm, Ternyata bnyak yg suka dengan Yulia yaa, 🤭
2021-10-03
2
Yeni Eka
Oh, dulu dokter Andreas suka sm Yulia. Banyak yg suka kamu Yul
2021-09-03
1