****
Hingga setelah memasuki usia pernikahan yang kedua, Wahyu berubah drastis. Ia sering marah marah tak jelas. Tak pernah mau menjelaskan apa maunya, apa yang diinginkannya. Saat pulang dari kantor ia selalu terlebih dulu pulang ke rumah sang ibu. Yulia tahu karena rumah mertuanya hanya berjarak tiga rumah dari rumah yang ia dan Wahyu tempati. Sehingga ia tahu, jika mobil suaminya terparkir disitu.
Sebenarnya Yulia curiga ini ada hubungannya dengan mertua perempuannya yang tidak setuju ia menikah dengan Wahyu. Tapi ia tak bisa berbuat apa apa, karena tak mempunyai bukti.
"Aku ingin Wahyu menikah lagi dengan gadis pilihanku, karena aku yakin kamu itu mandul. Buktinya sampai saat ini, kamu belum juga hamil." Cerocos ibu mertuanya yang tiba tiba datang pagi itu. Yulia sedang mengepel rumah kala itu. Mendengar kata kata mertua yang tanpa basa basi dan tiba tiba, membuat Yulia sedikit shock, tubuhnya gemetar.
"Aku gak mau ya, anakku seumur hidup gak punya anak. Kamu tahu Wahyu anakku satu satunya. Dan aku ingin punya cucu. Kamu, aku yakin tidak bisa memenuhi permintaanku." Telunjuknya menuding tepat didepan hidung Yulia. Yulia sampai memundurkan kepala.
"Ta_tapi Bu!" Yulia ingin membantah, tapi lehernya tercekat.
"Gimana kalau saya dan mas Wahyu ikhtiar dulu Bu, ke dokter kandungan. Agar kita tahu, apa yang menyebabkan saya belum hamil sampai sekarang." Yulia memberanikan diri mendebat mertuanya.
"Itu artinya kamu menuduh anak saya yang mandul, gitu? Kurang ajar ya kamu!"
Plakkk!
Sebuah tamparan hinggap di pipi mulusnya. Pipi itu langsung terlihat memerah. Yulia sangat terkejut dan reflek menyentuh pipi yang kena tampar. Air matanya jatuh. Tak menyangka mendapat perlakuan yang begitu menyakitkan.
Mas Wahyu.
Sore harinya saat Wahyu pulang dari kantor, seperti biasa Wahyu langsung masuk kamar, menyampir handuk dipundaknya dan pergi menuju kamar mandi. Keluar dari kamar mandi Wahyu yang terlihat sudah segar kaget Yulia menunggui di depan pintu.
"Mas" panggil Yulia. Tapi Wahyu tak menggubris panggilannya. Walau tadi ia sempat tertegun sesaat, mungkin karena melihat pipi merah sang istri yang masih terlihat jelas. Ia langsung keluar kamar dan turun lagi menuju ruang makan. Yulia membuntutinya. Saat membuka tudung saji dan hanya mendapati nasi, sayur lodeh dan telur ceplok, Wahyu membanting tutup saji itu.
Yulia terjingkat karena kaget. Ia hanya diam dan menunduk.
"Kamu itu bisa masak gak sih? Masa tiap hari kamu kasih aku makanan kayak gini? Mana gak enak lagi. Hhhh, nyesel deh dulu nikah sama kamu." Demi apa, air mata Yulia luruh lagi, mendengar cacian suaminya. Bukannya dulu ia tak mempermasalahkan seperti apa masakan istrinya. Dulu bahkan saat masakan istrinya terlalu asin pun ia tetap memakannya dan tak pernah protes. Hanya bilang kalau Yulia jangan terlalu menggunakan banyak garam, karena lama lama bisa menyebabkan darah tinggi. Uang yang ia berikan untuk keperluan sehari hari juga cuma cukup untuk membeli sayuran seperti itu.
Bukannya dia dulu juga yang mengemis ngemis cintanya? Maksud hati mau mengadu apa yang dilakukan ibunya, bahkan sekarang suaminya sendiri berkata yang sangat menyakitkan. Tak jauh beda dari suaminya.
Dengan cepat Wahyu kembali keatas. Hanya hitungan menit, ia turun lagi, melewati Yulia yang bengong di ruang tengah.
"Mas, mas Wahyu pengen aku masakin apa? Di warung depan ada penjual sayuran, biar Yulia belikan nanti Yulia masak yang enak buat mas Wahyu."
Wahyu berhenti, menoleh dan menatap nyalang pada istrinya. Lalu memundurkan diri agar lebih dekat.
"Telat." ucapnya penuh emosi dan sambil mendelik. Ia kemudian berjalan lagi menuju mobilnya.
Terdengar Wahyu telah menstarter mobilnya. Yulia berlari keluar, tapi mobil sudah menjauh.
"Mas! Mas Wahyu...!" Teriaknya yang hanya disahuti angin sepoi sepoi yang berhembus sore itu. Tubuhnya serasa tak berdaya, dan melorot jatuh di depan pintu garasi. Mobil Wahyu telah berbelok dan tak terlihat. Tetangga yang mendengar teriakan Yulia mengintip, tapi tak ada yang mau mendekat. Atau mungkin tak berani. Bahkan mereka menggelengkan kepala, menyayangkan dengan perlakuan Wahyu pada istrinya.
Bukan rahasia lagi, para tetangga telah tahu bagaimana perlakuan ibunya Wahyu pada Yulia. Mereka tahu betapa bencinya ibu Wahyu pada Yulia, menantunya sendiri. Dan sama sekali tak jelas, apa penyebabnya.
Sejak hari itu, Wahyu sering tak pulang. Jika ditanya, dia hanya jawab sekenanya dan seminimnya kata kata. Dan yang paling membuat Yulia jengkel tapi harus menahan rasa itu adalah ia mengatakan jika ia selalu lembur. Atau ibu ingin ditemani karena Ayahnya pergi ke luar kota. Ia tak pernah mau tahu perasaan Yulia bagaimana jika ia ditinggal suami seperti ibunya. Jika ia banyak bertanya Wahyu juga sering membentak dirinya.
Selama hampir dua tahun Yulia pasrah, mencoba tetap sabar dengan perlakuan suami dan ibu mertuanya. Serta berdoa agar Wahyu kembali pada Wahyu yang dulu. Yang mencintainya dan menyayangi dengan tulus. Dia juga tak pernah mengadu pada ibunya. Tentang perlakuan suami dan juga mertua. Takut ibunya yang sudah tua dan hidup sendiri menjadi bersedih.
Hingga suatu hari Yulia mencoba berbicara dengan suaminya, untuk melakukan pemeriksaan kesuburan. Dan minta saran dokter bagaimana caranya agar si jabang bayi yang dinanti nantikan segera hadir diantara mereka. Dan mengubah mindset mertua tentang dirinya yang katanya mandul. Yulia yakin sekali ia tidak mandul. Dalam silsilah keluarga Yulia semua subur.
Tapi tak disangka, Wahyu malah murka.
"Lalu kamu berpikir aku yang mandul, gitu? Kurang ajar kamu ya!"
Plak!!
Mengapa tangan tangan itu begitu mudah melayang di pipiku? Yulia.
Sebuah tamparan membekas merah di pipinya. Air matanya mengalir deras, baru kali ini suaminya main tangan. Walau sebelumnya ia selalu membentak, tapi tak pernah menyakiti secara fisik. Begitu ringan tangan dia sekarang.
"Kamu tampar aku mas, apa salahku? Aku cuma mencoba mencari solusi, agar kita bisa segera menimang bayi. Bukan bermaksud kurang ajar, atau menuduh mas yang mandul!" Suara Yulia terdengar parau.
Ia menangis sesenggukan. Begitu pilu hatinya. Begitu cepat perubahan Wahyu.
Setelah menampar Yulia, Wahyu pergi entah kemana. Tanpa kata kata.
Sejak hari itu juga, ia didiamkan oleh Wahyu. Ia hanya pulang untuk mandi dan ganti baju. Kemudian pergi lagi. Tak pernah sedikitpun memberi kesempatan Yulia bicara, atau sekedar mencicipi makanan yang Yulia masak.
Suatu hari Yulia pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan diri. Apakah ada yang salah dengan dirinya. Sendirian. Yulia melakukan pemeriksaan Histerosalfingografi, atau HSG.
Adalah pemeriksaan dengan menggunakan sinar Rontgen untuk melihat kondisi rahim dan daerah di sekitarnya. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan pada wanita yang memiliki masalah infertilitas.
Dalam prosedur histerosalpingografi, digunakan bahan pewarna kontras pada pemeriksaan foto Rontgen untuk menghasilkan gambar yang lebih jelas. Melalui gambar tersebut, masalah yang terjadi pada rahim dan saluran telur dapat terlihat. Lama waktu pemeriksaan ini sekitar 30 menit oleh ahli radiologi di rumah sakit.
"Gimana dok, keadaan rahim saya? Apakah ada masalah? Apakah ada kista atau miom yang menyebabkan saya sulit hamil?" Yulia yang tak sabar memberondong dokter dengan pertanyaan.
"Menurut hasil HSG yang saya baca, keadaan rahim ibu tak masalah. Tak ada penyakit seperti yang ibu katakan tadi. Tapi untuk lebih jelasnya silakan ibu mendatangi kembali dokter kandungan Anda." Ujar ahli radiologi itu tersenyum.
Akhirnya Yulia kembali lagi ke ruang praktek dokter kandungannya. Dan seperti prediksinya, dokter pun bilang ia tak ada masalah kesuburan. Hanya perlu bersabar dan berdoa.
"Harusnya anda kesini berdua dengan suami, Bu. Bagaimanapun juga, program kehamilan itu kerja sama antara suami dan istri." saran dari dokter.
"Iya, Bu. Maaf! Memang suami saya akhir akhir ini sering lembur.
Insha Alloh lain waktu saya akan ajak suami saya. Kalau begitu saya permisi, Bu!" dokter wanita yang ramah itupun mengangguk dan mempersilakan Yulia keluar.
Dengan optimis Yulia pulang dan sejuta harapan, bisa memperbaiki hubungannya dengan Wahyu. Melalui surat keterangan itu, ia optimis bisa memenangkan hati Wahyu kembali.
Sore itu ia masak kesukaan Wahyu. Ayam rica rica dan oseng kangkung kecambah. Setelah semuanya siap dimeja makan, ia lalu mandi. Memakai wangi wangian dan memakai baju dengan dada yang agak terbuka. Ia juga memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik, tipis. Tapi sudah memancarkan aura kecantikannya.
Wahyu pulang menjelang Maghrib. Saat mobil terparkir di halaman, Yulia menyambutnya di depan pintu sambil tersenyum. Wajah Wahyu terlihat kaget, tapi itu hanya sebentar. Wahyu menarik tangan Yulia sedikit masuk, biar tak ada tetangga yang melihat.
"Mas Wahyu! " sapa Yulia. Tangannya terulur ingin menyalami, tapi tidak disambut oleh Wahyu.
Ia malah memberikan Yulia sebuah amplop.
Ragu Yulia menerimanya. Ia yakin amplop itu tidak berisi uang atau barang lain.
"Itu surat cerai, aku telah menceraikanmu secara agama dan secara hukum. Ini suratnya dan kamu... mulai detik ini bukan istriku lagi."
"Aaa_ apa? mas! Ini salah. Salah mas. Aku... aku..."
Yulia bagai disambar petir, tak sanggup lagi mengatakan apapun. Ia tak pingsan pun sudah untung. Air mata jatuh dengan deras, lututnya pun serasa lemas. Dadanya bergemuruh dan ia melorot terduduk di lantai.
Perlahan ia buka amplop yang diserahkan Wahyu tadi. Saat ia membaca isinya, tangannya gemetar. Ia menangis sejadi jadinya.
"Sekarang kita bukan suami istri lagi. Cepat bereskan barang barangmu dan angkat kaki malam ini juga." tangan kiri Wahyu berkacak pinggang dan tangan kanannya mengacung kearah pintu keluar.
"Mas, beri aku kesempatan andai aku salah. Tegur aku baik baik mas, jangan seperti ini. hikkks hikk.s..."
Tangis Yulia masih tak terbendung. Wajahnya memerah.
"Mas, aku tadi ke dokter kandungan, dan aku dinyatakan sehat. Aku bisa hamil, mas. Percayalah padaku." Yulia bersimpuh di kaki Wahyu. Tapi itu semua tak menggoyahkan hatinya.
Wahyu mendorong tubuh Yulia hingga terjerembab. Namun ia segera bangkit lagi dan hendak memeluk kaki Wahyu. Namun dengan sigap Wahyu menjauh.
"Sekarang pergi! Atau kau akan ku seret keluar!" ancam Wahyu lagi. Wajahnya begitu menyeramkan.
Yulia mengusap matanya kasar. Ia sudah membuang harga dirinya dan malah diinjak injak. Memohon pun sudah tak ada gunanya.
"Baiklah, saya akan pergi. Tapi ijinkan aku untuk sholat Maghrib dulu. "
Dengan kaki masih menahan gemetar, Yulia pergi ke kamar. Lalu wudhu dan melaksanakan shalat Maghrib. Selesai shalat Yulia menengadahkan tangannya.
"Ya Alloh, Hamba sudah berusaha mempertahankan rumah tanggaku. Ampuni Hamba yang terlalu sombong, tidak meminta petunjuk Mu dulu saat mau menjatuhkan pilihan untuk menikah dengan mas Wahyu. Ampuni Hamba ya Alloh. Hamba pasrah sepasrah pasrahnya pada Engkau. Beri Hamba kekuatan untuk melanjutkan hidup Hamba.
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar". Aamiin.
Yulia lalu menanggalkan mukena yang ia pakai, memasukkan kedalam tas dan juga baju bajunya yang lain. Lalu mengganti pakaiannya dengan gamis dan memakai kerudung instan. Setelah semua selesai, ia menyeret kopernya keluar kamar.
Rupanya Wahyu diam menunggu diluar kamar. Setelah Yulia keluar, tanpa menatap Wahyu masuk kedalam kamar, membanting pintu dan menguncinya. Yulia sampai terjingkat. Ia lalu menuju pintu utama dan keluar setelah menutup pintu.
Yulia menghela napas dalam dan membuangnya. Berkali kali ia melakukan itu untuk melegakan hatinya. Setelah dirasa cukup iapun melangkah. Tapi ternyata, air mata itu tetap jatuh lagi, mengingat ia telah tiga tahun lebih di rumah itu.
Flashback Off
\=\=\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Ratu Dewi Sailuluni
lnjt thor
2022-05-30
0
Ratu Dewi Sailuluni
lnjt thor
2022-05-30
0
Ratu Dewi Sailuluni
lnjt thor
2022-05-30
0