Berulang kali aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Menengok ke arah luar juga berpura-pura bolak-balik dari kamar ke dapur hanya untuk mengambil air minum. Dan air itu hanya berakhir di kamar mandi karena saking banyaknya aku mengambil.
Mas Pras, itu kulakukan karena dia. Aku ingin memancingnya agar dia masuk ke dalam kamar. Namun yang terjadi adalah hasilnya nihil. Sebab dari tadi hingga kini dia, Bik Marni dan Mang Jono (yakni selaku tukang kebun juga supir dirumah kami dan juga suami dari Bik Marni), mereka masih asyik nonton acara debat di TV.
Hal itu tentu saja membuat diriku merasa jengah, apa sih untungnya nonton begituan. Bahkan aku gak ngerti karena yang dibahas adalah masalah politik. Pernah sih Mas Pras nonton TV di kamar tapi aku marah-marah karena membuat suasana menjadi berisik. Dan setelah itu dia tak pernah lagi melakukannya.
Suara handle pintu kini terdengar dan kulihat ada gerakan memutar, itu artinya...
Bola mataku bergerak gelisah, sebab aku yang masih berada dibalik pintu kini panik dan dengan segera aku bergerak menjauh. Namun sial alih-alih pindah tempat justru kakiku terbelit satu sama lain hingga mengakibatkan aku terjatuh, dan tepat pada saat itu pula pintu tengah terbuka.
"An, apa yang kamu lakukan?" ucapan Mas Pras begitu melihatku tubuhku mendarat dilantai.
'Udah jatuh, masih nanya, batinku.' Akupun hendak bangkit namun yang kurasakan lututku malah terasa nyeri, sontak saja aku meringis menahan rasa sakit.
"Kenapa di dalam kamar musti lari-lari?" kata Mas Pras yang kini berjongkok memeriksa keadaanku.
'Ini terjadi juga karena kamu Mas! gerutuku dalam hati.
"Bisa berdiri?" tanyanya.
Aku menggerakkan kakiku hendak berdiri, namun aku urungkan sebab merasa untuk bergerak pun kian sakit. Mas Pras yang mengetahui aku tak kunjung bangkit, dia pun segera ambil tindakan membopong tubuhku sampai ke ranjang.
Lututku tampak memar, Mas Pras mengatakan kepadaku akan ke dapur mengambil air hangat. Tak lama dia datang membawa baskom air hangat beserta dengan handuk.
Kain yang sudah direndam dengan air hangatpun kini diperas dan diletakkan pada luka memar, karena suhu panas dapat memperlancar aliran darah, sekaligus mempercepat perubahan warna kulit yang tadinya lebam menjadi lebih tersamarkan dan lagi mengurangi rasa nyeri dibagian yang sakit, Mas Pras menjelaskannya begitu detail sambil membantu mengompres lukaku.
"Jangan diulangi lagi, ruangan ini tak terlalu besar untuk berlari-lari," ucapnya yang kurasa dia tengah mengejekku. Aku hanya mendegus, tak mau menanggapi ucapannya.
"Besok kita ketempat Mama Papa ya, kalau keadaan kakimu sudah membaik kita berangkat pagi."
Aku masih terdiam, memalingkan wajahku dengan raut tak suka. Tapi justru Mas Pras menarik daguku dan mengarahkannya untuk
menatap wajahnya. "Dari sejak kita menikah kamu belum mampir ketempat mereka, apa kamu gak rindu dengan orangtua kamu?" tanyanya lembut padaku.
Mulutku terbuka hendak ingin memprotes, tapi aku urungkan sebab aku ingat bahwa ada yang aku inginkan darinya, apalagi kalau bukan uang.
"Mas aku ingin bicara?" sahutku cepat-cepat.
Terlihat Mas Pras menaikkan alisnya, "Apa? sudah malam besok saja." Ucapnya dengan senyum yang aku rasa menyebalkan sebab kini dia merubah posisinya dengan berbaring. Diapun menepuk bantal disebelahnya isyarat agar aku mengikutinya tidur.
**
Paginya kakiku sudah merasa sedikit baik. Dan sesuai permintaannya hari ini kami bertandang ke rumah orangtuaku. Dalam hati, yowes aku nurut biar keinginanku juga nanti dipenuhi.
Begitu aku sampai Mama menyambutku dengan omelannya, heran anak sendiri datang gak disambut dengan baik tapi malah justru diomeli. Beda dengan Papa yang terlihat tetap adem ayem.
Seharian dirumah orangtuaku justru aku tidak bersama dengan Mas Pras. Dari setelah sarapan hingga sore aku tak menemukan batang hidungnya, kata Mama sih dia lagi bantuin Papa buat benerin motor vespa kesayangan Papa.
Hingga magrib Papa dan Mas Pras baru muncul dan datang berboncengan dengan mengendarai vespa antik milik Papa. Di lanjut kami makan malam bersama dan jam setengah sembilan kami baru berpamitan untuk pulang.
In hale ex hale, misiku untuk meminta uang sudah benar-benar mepet. Bagaimana tidak, karena besok sudah hari senin waktunya aku kembali masuk kuliah dan esok juga hari terakhir pelunasan administrasi kunjungan wisata.
Aku yang masih melek sambil maen ponsel melirik ke arah Mas Pras yang berbaring disebelahku, terlihat dari wajahnya ada gurat lelah mungkin karena hari libur ini seharian tadi waktunya dia pakai untuk bekerja.
Aku yang merasa terdesak karena tak punya waktupun, kini dengan membulatkan tekad untuk membangunkannya. Dan yang terjadi kini aku menoel-noel bahunya dengan jari telunjukku agar dia terbangun. Tak lama dia merespon, usahaku berhasil.
"Hmmmm," dia bergumam kemudian kulihat matanya mulai menyipit setengah terbuka.
"Mas, aku mau bicara," kataku kemudian.
"Kenapa, apa kakimu masih sakit?" tanyanya yang kini bangkit duduk sambil memijat pangkal hidungnya, mungkin dia pusing karena aku bangunkan tiba-tiba.
Akupun menggeleng, "Bukan itu, sebenarnya aku butuh uang."
"Untuk?" tanya Mas Pras yang kini menyipitkan matanya ke arahku.
Sedikit takut juga kalau dia marah, aku menggigit bibir bawahku lalu tak lama aku berujar, "Uang buat bayar administrasi kunjungan wisata yang Mas kasihkan ke aku beberapa minggu lalu gak sengaja ke pakai," cicitku. Karena Mas Pras tak kunjung bertanya aku melanjutkan ucapanku, "Itu loh Mas kan kelas jurusan yang aku ambil banyak melakukan praktek jadi uang kepake untuk itu juga skincare dan kebutuhan lain habis bersamaan. Jadi jatah bulanan gak cukup," jelasku menambahinya dengan alasan yang aku buat-buat.
Mas Pras masih memandang ke arahku dan aku tak bisa menangkap responnya, tapi setelahnya dia berucap, "Memang, berapa yang kamu butuhkan?"
Sedikit terkejut, akupun kembali menguasai situasi. "Setengahnya," cicitku.
Dan diluar dugaan pemirsa, Mas Pras mengangguk.
"Tapi telat bayarnya besok," ujarku cepat-cepat.
"Besok pagi aku transfer lewat rekeningmu."
Dan mendengar itu refleks mataku melebar, gak salah dengarkan aku, batinku. Dia gak bantah, gak nolak juga gak tanya hal yang lebih. Benar-benar gak sesuai seperti yang aku prediksi.
Kudengar kini dia berdecak, "Jadi gak bisa tidur," keluhnya. Akupun refleks menoleh ke arahnya dan dia juga ternyata tengah menoleh ke arahku.
"Kamu capek gak?" tanyanya. Dan aku sangat faham ketika dia mengajukan pertanyaan itu saat di atas ranjang, dia sedang memiliki maksud terselubung. Apalagi kalau bukan, ah pemirsa pasti sudah tahu tak perlu aku perjelas.
It's oke. Aku menggelengkan kepala. Dan balik lagi karena gak ada yang gratis didunia, batinku.
Mas Pras sudah mulai mendekat dan aku meletakkan ponselku dibalik bantal, kurasakan tangannya sudah mulai bergerilya makin lama kamipun makin terbuai akan sentuhan yang menggairahkan.
"Mas," panggilku dengan suara parau dan Mas Pras hanya membalas dengan berdehem tanpa mengalihkan kegiatannya. Akupun kembali berucap, "Tambahin juga ya uang saku untukku, kan perginya ke singapura."
"Mas," tegasku menarik kepalanya karena tak ada respon, dia pun mendongak menatapku.
Dari cahaya lampu yang masih terang menyala kulihat kening Mas Pras tampak berlipat meski sorot matanya jelas tampak menggelap, lalu dia pun berucap singkat "Ya."
Dan selanjutnya dia meneruskan kegiatannya yang tertunda, akupun menyambutnya dengan melingkarkan lenganku dilehernya dan juga balas ******* bibirnya. Rasanya memang gila, aku yang tak terbiasa aktif seperti ini justru merasa bagai menjual diri kepada suami. Apalagi kalau bukan karena uang.
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Ria Susilawati Wahyudi
ya ga pa2 jual diri k laki sendri mah..pahala dapet..ena apalag😅
2021-12-10
0
anita azka
mas pras bkn montir biasa
2021-10-07
0
Yanni Santoso
cewknya kurang dewasa aja sih jd mikirnya mas Pras ketuaan buat dia pdhl mas Pras itu matang lho..keren bertanggung jwb
2021-04-28
1