“Kau—“
Kemarahan dalam diri Tara tak bisa lagi diredam, tetapi melihat kakaknya begitu rapuh ... dia tak tega meluapkan amarah yang sudah setengah jalan ke ubun-ubun. Tara menggigit bibir dan meraup wajah dengan kasar. Menarik rambut yang panjang di bagian depan. Begitu buntu masalah yang tiba-tiba datang. Tara mengepal erat. “Kenapa kamu jadi seperti ini, Na ...?”
Tara menghirup udara sebanyak mungkin untuk melegakan sesak di dadanya. Menengadah sejenak dengan mata terpejam. Kini dialah yang harus membantu Naja, melindungi kakak yang selalu berkorban untuknya. Kakak yang menyayanginya meski dia sendiri harus terluka.
Perlahan Tara mendekat dan membimbing Naja berdiri, mendudukkannya di atas kasur.
“Tenanglah, menangis tidak akan membuat masalah selesai ... sebaiknya kau istirahat dulu,” hibur Tara sembari membelai lembut rambut sepunggung milik Naja yang berantakan.
“Dengar ... kita selalu melewati semua kesulitan bersama, kan? Kali ini juga ... tidak ada yang tidak bisa kita lewati jika kita tetap tenang dan saling menguatkan. Aku tahu kau sangat senang kau dan Ai akan bersama, tapi masih ada Mamanya Ai yang harus kau lembutkan.” Tara membenarkan posisinya agar lebih nyaman dan bisa langsung melihat wajah Naja yang berurai air mata. Tara tahu kakaknya sedang kacau. Paling kacau yang pernah dia lihat.
“Satu bulan itu waktu yang lama, kita masih punya banyak kesempatan untuk menemukan jalan keluar, atau kau mau kembali bekerja dengan Nona Jen?”
Naja menggeleng, tekadnya sudah bulat ... tidak akan kembali ke sisi Jen. Dia tidak kuat berdekatan dengan Excel yang membuat jantungnya tak mau berirama normal.
“Sekarang tidurlah ... jangan memikirkan apa pun ....” Tara bangkit. Senyum penuh ketulusan terlukis singkat di bibir pria berkulit putih ini.
Tara masih menunggu hingga Naja beringsut ke atas kasur, sambil membenahi seprei yang kacau akibat ulahnya. Tara membantu menempatkan bantal agar Naja bisa tidur dengan nyaman. Air matanya sudah berhenti mengalir, tetapi suara isakan masih sesekali terdengar di dalam ruangan kamar yang begitu hening. Napas berat berulang kali keluar dari rongga hidung Naja terasa panas saat menyentuh punggung tangan yang dijadikan tumpuan.
Tara memilih keluar setelah Naja memejamkan mata. Pria yang seharusnya mengerjakan tugas kuliah itu juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua terasa buntu. Tetapi dia tidak ingin membuat Naja terbebani.
Kelopak mata Naja terpejam bukan karena tidur sesungguhnya, tapi hanya ingin membuat Tara tenang. Begitu pintu kamar tertutup, Naja membuka mata dan membalik posisinya menjadi telentang. Langit-langit kamar selalu menjadi tempatnya bertukar cerita. Menggantungkan semua resah dan impiannya.
“Maaf Bu ... aku sudah membohongi Ibu untuk hal sebesar ini,” gumam Naja dalam hati. Naja menggigit bibir, menahan sakit yang mengoyak jiwanya. Bahkan sejak kecil Naja diajarkan untuk jujur sekalipun sakit atau berbuah hukuman, tapi sejak kejadian satu tahun lalu ... lidah Naja pintar sekali berkelit.
Naja masih berusaha melonggarkan dirinya dari impitan sesak yang meraja. Kelopak mata yang kian berat membuatnya terpejam tanpa sadar. Mengabaikan denting ponsel yang mengisyaratkan adanya notifikasi pesan masuk.
Begitu menutup, yang seakan lekat di iris matanya adalah Excel saat menatapnya. Layaknya es yang mengguyur seluruh tubuhnya, Naja membeku dengan napas tertahan. Bola matanya bergerak liar ... mencoba mengusir Excel dari bayangan matanya. Tetapi karena tak kunjung hilang, Naja memilih membuka matanya dengan cepat dan memenuhi rongga dadanya dengan udara.
“Seharusnya aku membayangkan kemarahan ibu atau wajah Ai, tapi kenapa malah Excel?” desah Naja dalam hati.
Ponselnya terus berdering, memaksa Naja bangkit dan mengambil benda pipih itu. Dengan tangan masih gemetar, Naja membuka satu persatu pesan yang masuk dan membacanya.
–Naja, Papa dan Mama sudah pulang. Mereka menanyakanmu, sebaiknya kau segera kembali–
Sekali lagi Naja mendesahkan napasnya ke udara. “Maaf Jen, sekalipun aku kembali itu akan yang jadi yang terakhir kali ... dan jika kita bertemu lagi, semua tidak akan sama lagi ... semoga kau dapat gantiku yang baru.”
***
“Naja masih kukuh mau menikah dengan Syailedra, Pak!” lirih Wasti pada Edi –suaminya– Tangan lincah wanita yang telah melahirkan Pranaja Utari dan Prasaja Utarra ini lincah menggerakkan setrika di atas sebuah gamis panjang. Wanita itu tampak murung.
Edi, pria berusia 55 tahun itu terbatuk-batuk, “sebisa mungkin kita harus mencegahnya Bu, aku khawatir dengan hidup Naja di kemudian hari.” Suara serak Edi terdengar berat, napasnya terengah-engah mengucapkan sebaris kalimat yang tak seberapa panjang. Melafalkan ucapan tanpa jeda dan penuh tekanan, membuat Edi kembali batuk bahkan lebih keras dari sebelumnya.
Wasti bangkit setelah mematikan setrika, meraih gelas yang tak pernah kosong dari air hangat. Menyodorkan kepada suaminya tepat di depan bibir. Tangan Wasti mengusap pelan punggung suaminya, “Naja harus diberitahu Pak, atau ... dia nanti akan menyalahkan Ibu,”
Tergesa-gesa Edi meletakkan gelas yang sudah hampir kosong ke atas meja. “Jangan Bu ... nanti Naja malah kepikiran. Lagipula setelah minum obat dari pak mantri sudah mendingan kok. Tidak parah lagi batuknya.”
“Pak ... bagaimanapun Naja berhak tahu. Atau Bapak menyembunyikan sesuatu dari Ibu?”
“Engga Bu ... memangnya Bapak mau nyembunyiin apa?”
“Ya ngga tahu ... kalau Ibu tau, Ibu ngga bakal nanya ....”
"Pokoknya ... Naja ngga boleh tahu kalau Bapak sakit, lagian ini cuma batuk biasa Bu ....” Edi menggeser duduknya sedikit menjauh dari Wasti dan memandangnya. “ ... dan Bapak nggak setuju kalau Syailendra mau menikahi Naja. Bapak menolak Bu, Bapak tidak merestui.”
Wasti menghela napas. “Pak ... Lendra sudah mengatakan kalau akan melamar Naja, jadi mungkin saja Bu Linda sudah merestui hubungan mereka. Siapa yang tahu kan Pak? Kalau tidak mana mungkin Naja menerima ... dia milih sakit hati karena pacarnya menikah daripada harus hidup dengan Bu Linda itu!"
“Pokoknya Naja ngga boleh menikah dengan Lendra ... TITIK! Bapak masih sakit hati sama ucapan Linda waktu itu, memangnya dia siapa hingga mengatakan Naja simpanan bosnya? Naja bekerja dengan jujur dan Tara yang memastikan itu. Rumah ini murni hasil keringat Naja, dan Bapak bangga pada Naja."
Edi kembali terbatuk-batuk, bahkan lebih keras hingga membungkuk sambil memegangi perut dan dada.
"Ya Allah ... Bapak ...!" Wasti segera mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat. Setengah berlari Wasti kembali ke ruang tengah dimana suaminya masih terbatuk-batuk. Raut wajah Wasti dilanda kepanikan yang luar biasa. Belum pernah Edi batuk sampai separah ini. Jika dipikir lagi, penyakit batuk yang diderita Edi semakin parah saja setiap harinya.
"Astagfirullah ... Bapak ...," mata Wasti melebar sempurna ketika melihat telapak tangan Edi sudah dipenuhi cairan berwarna merah. Selain itu Edi juga kesulitan bernapas, Edi tampak kesakitan sambil memegangi dadanya.
"Ya Allah ... Bapak ... Bapak kenapa?" Wasti menatap nanar suaminya. "Pak ... ini minum dulu ...!" Wasti mencoba tetap tenang meski tangannya gemetaran membantu Edi minum, tetapi air itu malah tumpah karena Edi tidak bisa menelannya.
"Ya Allah ... TOLONG ...!" Raung Wasti saat merasa tubuh Edi semakin berat dan matanya terpejam.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
💮Aroe🌸
gk tega...
2022-02-20
1
Dwi setya Iriana
heeeemmmmm naja yg ceroboh ini akibatnya bpk yg sakit semakin sakit naja naja naja ooooo naja.
2021-11-27
1
Pesek Gitank
sepertinya bapak sakit parah deh
2021-11-05
0