Ah, sudah pagi saja.
Seolah waktu enggan berhenti sedikit saja untuknya. Bukannya bangun, Naja melesakkan kepalanya menekan bantal, kelopak matanya memejam sempurna. Meski berisik kicauan burung sudah mengganggunya sejak tadi.
"Sarapan Ja!"
Selimut bergambar Twilight Sparkle malah ditarik ke atas menutupi kepalanya. Memblokir wajahnya dari tatapan Tara.
Sekalipun lapar Naja memilih melanjutkan tidur. Sesuatu yang tak bisa dilakukannya satu tahun ini. Bangun mendahului matahari bahkan ayam berkokok. Meski dia tak berkewajiban, tapi Naja tidak enak hati, saat semua asisten rumah tangga mulai bekerja, dia masih bergelung selimut.
Tara hanya mènggelengkan kepala melihat tingkah kakaknya. Namun bukan Tara jika dia tidak menjahili kakaknya. Dibukanya jendela lebar-lebar, membiarkan hawa dingin yang masih lembab berembun memasuki kamarnya. Selimut yang membalut tubuh Naja ditarik paksa oleh Tara. "Bangun pemalas!"
Seketika Naja membuka mata. Berdecak kesal. "Kenapa kau usil sekali sih? Kau tidak tahu aku tidur jam berapa?"
Mau tak mau, Naja menegakkan tubuhnya, sekalipun malas, dia sudah tak bisa tidur lagi.
Bibir Tara berkeriut, mencibir. "Makanya jangan suka begadang! Lagian dapat berapa sih buat kaya begitu?"
"Mayan kali! Buat beli kuota seminggu! Lagian di sini Wi-fi lemot, kaya onta di gurun!" Naja bergegas bangkit, meraih handuk dan perlengkapan perangnya.
"Songong! Mentang-mentang di sana Wi-fi kenceng!"
Di ambang pintu Naja menjulurkan lidahnya ke arah Tara, sebelum menutup pintu kamar mandi dan menyalakan keran dengan lirih.
"Ngeselin! Pergi sana, udah numpang, gratis, menghina pula!"
Terdengar Naja tertawa dari dalam kamar mandi.
Sudah jadi kebiasaan Tara, setelah sholat subuh di mushalla tak jauh dari kos, dia membeli sarapan. Alasannya sederhana, selain menu masih lengkap, dia enggan berdesakan dengan pelanggan lain yang rata-rata masih kuliah. Berburu sarapan mengenyangkan dan ramah di kantong. Apalagi sebagian besar dari mereka adalah perantauan.
Usai bersiap, Tara segera memulai sarapannya tanpa menunggu Naja. Hari ini, dia ada kelas pagi, dan dia tak mau datang terlambat. Tara sedang menenggak segelas air putih saat Naja menyelesaikan mandinya.
"Aku berangkat! Kau bisa tidur lagi setelah sarapan!"
Sedikit menghentak, Tara meletakkan gelas plastik di atas meja.
"Enak saja, tidur lagi! Aku mau cari pekerjaan hari ini!" Naja merapikan diri didepan cermin kecil. Menyisir rambut panjangnya, dengan poni yang sedikit basah menutupi keningnya. Kata orang, jidatnya terlalu lebar dan menyilaukan.
Manik mata Tara masih mengawasi kakaknya, "Jangan memaksakan diri, dan jangan terlalu keras pada dirimu sendiri! Segeralah pulang, cuaca tidak menentu! Apalagi di sini rawan banjir!"
Ekor mata Naja melirik Tara yang sudah berdiri diambang pintu. "Kau lebih pantas jadi emak-emak daripada seorang pria! Cerewet sekali!"
Tara terkekeh. "Aku takut kau lupa dengan perubahan alam, karena sibuk mencari uang!"
Naja berkacak pinggang, "Pergi sana! Ocehanmu menyakiti kupingku!" Sisirnya terangkat, mengusir Tara.
"Yee...ini kos ku! Kenapa kau mengusirku!"
"Ini yang bayar aku, bukan kamu!" Hentakan di pintu terdengar nyaring, membuat Tara menahan senyuman.
"Aku suka kau galak padaku, Ja! Daripada melihatmu bersedih!" Gumam Tara sambil menalikan tali sepatunya. Namun, dia begitu terkejut saat mengangkat wajahnya.
"Nona...!" Tara begitu terkesiap melihat kedatang Jen pagi-pagi begini.
Jen mengisyaratkan agar Tara diam dan menutup mulut.
Tara mengangguk mengerti. "Dia ada di dalam, Nona! Silakan temui dia, saya harus pergi!"
Jen tersenyum. "Makasih ya! Belajar yang rajin!"
Tara tersenyum sebelum berlalu dari hadapan Jen.
Jen melangkahkan kakinya yang berbalut hells tak terlalu tinggi berwarna hitam. Tangan mulusnya terulur ke muka pintu. Tekukan jemarinya beradu dengan pintu pelan.
"Apalagi sih....?" Ujung tekukan jemari Jen masih menggantung di udara, beberapa inci dari wajah Naja.
"Jen...." lirih Naja, yang disambut senyuman khas dari Jen.
"Hai, Ja!" Jen sedikit menjulurkan kepalanya kedalam ruangan. "Tara mana?" tanya Jen basa basi.
"Oh, dia sudah berangkat kuliah!"
"Apa kau tak berniat mengajakku masuk?"
"Maaf Jen, aku terburu-buru!" Naja melangkah ke depan pintu memaksa Jen mundur selangkah. Sepertinya, Jen tahu kemana Naja akan pergi.
Pandangan Jen tak lepas memperhatikan Naja yang sibuk mengambil sepatu tanpa menghiraukan dirinya.
"Ja, please jangan seperti ini! Kembali bekerja untukku, ya! Aku yang salah, bukan kamu! Kau tak perlu pergi hanya karena Kak Excel memarahimu,"
Naja melempar sepatunya sedikit kasar menghantam lantai bertekel putih kusam ini. Memaksa matanya memandang Jen yang masih memasang wajah sendu.
"Jen, situasi kita saat ini tidak terlalu baik! Bohong jika aku tidak takut dengan kakakmu! Dan sebelumnya, kalian tak pernah kan bertengkar seperti ini?! Bagaimanapun, kau tetap sahabatku, hanya saja saat ini aku ngga bisa lagi kerja sama kamu!"
"Bagaimana aku bertanggung jawab pada orang tuamu Ja? Aku yang membawamu kemari!"
Naja menghembuskan napas sarat beban ke udara. "Orang tuaku adalah urusanku, Jen! Aku berterimakasih karena selama ini menjagaku dan memberiku pengalaman tak terlupakan!"
Tak di sangka, Jen menabrakkan tubuhnya ke arah Naja. Memeluknya erat tubuh yang tak menghadapnya ini. "Ja, kau berkata seperti itu seolah kau mau menjauhiku!"
Tangis Jen pecah di atas bahu Naja. Sesenggukan seperti bocah kehilangan permennya. "Jen, kau kan punya sahabat lain! Kau bisa bersama mereka kan?"
Mau tak mau, Naja ikut trenyuh dengan sikap Jen. Dia yang semula ingin memasang tembok tinggi, nyatanya tak mampu membentenginya dari rasa haru. Bagaimana bisa, seorang yang memiliki segalanya, menangis, memohon pada seorang Naja yang kerdil. Nothing or something.
Usapan di punggung Jen, membuat tangisnya reda. "Aku tidak mau sahabat yang lain, aku hanya mau Naja yang tulus meski suka uang! Tapi tak pernah memanfaatkan sahabat demi dirinya sendiri!"
Lagi-lagi, Naja terhanyut dalam ketulusan hati seorang Jen. "Kau ini terus terang sekali menyebutku matre!"
Naja terkekeh, seketika Jen mengangkat wajahnya. "Mau kembali padaku?"
"Kita bukan pasangan ya? Aku masih waras dan menyukai pria!"
Tangan Jen menarik bahu Naja agar menghadapnya. "Kita bisa atur agar tidak ketahuan Kak Excel!"
"Tidak sekarang Jen!" Naja menurunkan tangan Jen. Jawaban Naja sungguh melukai hati Jen. "Tunggulah sampai Kak Excel melupakan semua ini! Melupakan penghinaan padanya! Aku tahu, sulit melupakan orang yang pernah lama menetap dihati kita! Dan aku tahu hati kakakmu pasti tergores lagi! Salahku juga, Jen! Aku tak mengetahui apapun di masa lalu kakakmu! Aku baru paham kemarin itu! Jika aku tahu, aku tidak akan seberani itu buat deketin Tanna dengan kak Excel!"
Jen termenung, menggantungkan pikirannya pada gorombolan awan di langit. "Kau benar! Aku juga salah, Ja!"
"Jika di beri kesempatan, aku akan minta maaf pada Kak Excel dengan tulus!"
"Aku akan menyampaikan maafmu padanya! Kau jangan khawatir, Kakak bukan orang yang suka memendam dendam."
Keduanya saling melempar senyum. "Jadi kapan kau akan bekerja untukku lagi?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Mariana Frutty
✅
2022-07-20
1
💮Aroe🌸
bukan matre tapi butuh
2022-02-19
0
Pesek Gitank
naja 11 12 ma akira suka duit😄😄🤭
2021-11-05
1