Taksi yang ditumpangi Naja berhenti tepat di depan gerbang tinggi, dengan pagar tembok menjulang dipenuhi tanaman rambat. Nampak indah dan rapi, juga asri.
"Pak, tolong tunggu sebentar ya, saya mau mengambil barang-barang saya di dalam!" Pinta Naja pada sopir taksi yang langsung mengangguk.
Naja menatap pintu coklat gelap, gerbang vila mewah kediaman Dirgantara. Terkadang membuatnya terbuai, seakan rumah ini miliknya. Besar dan luas, juga ramai. Naja memanggil penjaga, dan langsung membuka pintu sebatas tubuh Naja.
"Mas Agus," Teriak Naja saat melihat Agus tak jauh dari posisinya. Segera Naja berlari mengejar Agus sambil terus memanggilnya. Agus yang sedang mengendarai sebuah mobil golf, berhenti dan menoleh ke sumber suara.
"Kenapa kau sendirian? Mana Nonamu?" Agus menoleh lagi ke arah gerbang yang sudah tertutup. Jen dan Naja biasanya satu paket.
"Nona masih bersama temannya, Mas!" Naja duduk di samping Agus yang langsung melaju.
Agus hanya membulatkan bibirnya. "Bagaimana kabar adikmu? Lama dia tidak main kesini?"
"Baik, Mas! Dia sibuk kuliah!" Jawab Naja dengan sendu.
"Kenapa? Kau ada masalah?"
Naja terkesiap, "Ah, tidak! Aku hanya rindu dengannya!" Naja tersenyum sekilas. Dengan cepat dia bisa mencari alasan, berpura-pura seolah dia baik-baik saja. Naja adalah ahlinya berpura-pura bahagia atau baik-baik saja.
"Kau kan bisa segera menemuinya? Apa Nona menghalangimu?"
"Tidak, Mas! Hanya belum ada waktu saja!" Naja mengedarkan pandangannya pada hamparan rumput hijau, pohon palem dan tanaman kerdil estetik yang berukuran besar. Yang sebentar lagi akan dia tinggalkan dan akan dia rindukan.
"Makasih mas Agus atas tumpangannya," lambaian tangan Naja mengiringi Agus yang berlalu menjauh darinya. Menuju tujuan Agus sebenarnya.
Naja masuk melalui pintu samping, yang bisa langsung menuju halaman belakang dimana kamarnya berada. Langkah kaki kecil Naja begitu berat terasa. Enggan meninggalkan bos sekakigus satu-satunya sahabatnya di kota besar ini.
"Dorr!" Naja terlonjak saat Jeje menepuk kedua bahu Naja dan menekannya.
"Mas Jeje, bikin kaget saja! Gimana kalau aku pingsan?" Jeje terkekeh melihat Naja mengusap dadanya dan membelalak lebar. Bibir mungilnya mengerut hebat, saking marahnya pada Jeje.
"Aku akan menggendongmu dan ceburin ke kolam!" Jeje tergelak lagi sambil mengusap kepala Naja yang tepat segaris dengan uluran lengannya.
"Mas Jeje ngeselin! Kalau aku mati gimana?"
"Tinggal di kuburin dong, masa iya di buang ke laut!" Tawa Jeje membuat Naja semakin kesal. Dengan gerakan cepat dia memukul lengan Jeje yang sedikit berotot. Tampak pula kaosnya basah oleh keringat.
"Aduh, ngga sakit!" Jeje berlari menghindari Naja yang sudah bersiap dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi.
"Aku akan merindukan semua ini!" Gumam Naja. Naja menghembuskan napas pelan, menurunkan tangannya dengan pasrah hingga menurunkan bahunya.
Jeje di buat bingung dengan sikap Naja yang tidak biasa, seketika menghentikan larinya. Apalagi Naja sudah melangkah menjauh melintasi halaman.
"Bocah ini kenapa sih? Tumben ngga marah-marah?" Jeje bergumam sambil mengikuti kemana Naja menuju.
Kamar yang berukuran 3 kali lebih luas dari kamarnya di kampung, juga puluhan kali lebih bagus fasilitasnya. Ac, televisi, kasur empuk, bahkan kamar mandi berada di dalam. Kelas kamar pembantu di rumah ini, baginya sebuah kost an mahal. Jangan lupa, di sini bisa menggunakan Wi-fi sepuasnya.
Naja mengambil koper diatas lemari dan mengemas baju yang tak seberapa banyak. Tak butuh waktu lama semua barang miliknya sudah terkemas sempurna. Pandangannya menyapu seluruh ruangan kamar yang selama satu tahun ini memberi kenangan tersendiri. Naja mengigit bibir, embun yang sejak tadi berusaha di tahannya, mulai lancang menuruni lereng landai pipinya.
"Hei, Jaja Miharja, kau mau kemana? Minggat? Lagi marahan sama Jinny galak itu!?" Jeje berdiri diambang pintu, menyilangkan kedua tangannya di atas dada.
Buru-buru Naja menyeka matanya dengan kerah kaos kedodoran miliknya.
"Ada apa Ja? Ada masalah itu cerita, bukan malah minggat kaya gini? Lagian Papa sama Mama lagi ngga dirumah, nanti mereka mikir apa kalau kamu pergi?" Jeje sudah berdiri di belakang Naja yang makin terisak mendengar penuturan Jeje. Dengan paksa Jeje menarik bahu Naja agar berbalik menghadapnya. "Katakan apa yang terjadi, Ja?"
Naja hanya menggeleng dengan kepala tertunduk. Tak mampu menatap pria yang selalu penuh selidik dan tak mudah percaya ini.
"Ja, ayolah....apa kita orang lain sekarang? Apa kau lupa kita sahabatan sejak lama? Ngga adil dong kalau kamu tahu segala kesedihanku, tapi aku tidak tahu apa-apa tentangmu?"
"Ngga ada apa-apa, Mas!" Naja mengangkat wajahnya, menemui manik mata teduh yang selalu membuatnya tenang. "Naja hanya ingin istirahat saja, Mas! Naja lelah!"
"Jika itu orang lain aku percaya, Ja! Tapi ini kamu, Naja yang selalu penuh semangat! Aku yakin ada alasan lain sampai kamu pergi!" Jeje masih mendesak Naja dengan tangan diatas bahu Naja.
"Kalau kau lelah kau bisa istirahat di sini, tanpa harus keluar dari sini!"
"Maaf Mas, tapi aku tidak bisa! Aku tidak ingin membuat masalah!" Naja menurunkan tangan Jeje, "Semoga perjalanan Mas Jeje lancar, Naja akan selalu mendoakan yang terbaik untuk Mas Jeje!"
Naja mencoba tersenyum diantara hujan yang mulai menganak sungai di pipinya. Naja bergegas meninggalkan Jeje yang masih mematung, meninggalkan semua kenangan manis di sini.
Naja berpamitan pada seluruh pekerja dirumah ini, yang sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri.
"Mbak Rina, maaf kalau Naja sudah sering membuat Mbak kerepotan!" Naja memeluk Rina yang masih belum mengerti keadaan ini.
"Kau mau kemana, Ja? Tuan dan Nyonya tidak ada di tempat sekarang!" Rina melepaskan pelukannya, menatap Naja yang berurai airmata.
"Nanti Naja akan kembali jika Tuan dan Nyonya sudah kembali, Mbak! Aku akan berpamitan sendiri!" Naja mundur meraih kopernya lagi. "Naja pamit, Mbak!"
Naja menyusuri jalan setapak di samping rumah, diikuti beberapa asisten rumah tangga dirumah ini. Mereka masih terus bertanya mengapa Naja harus pergi.
Naja hanya menjawabnya dengan senyuman, menjawabnya hanya akan membuatnya kesakitan.
"Aku sungguh berharap bisa kembali lagi, Mbak!" Naja mencoba menghibur setengah lusin Art yang lebih senior darinya. Dialah yang paling muda, tak heran semua menyayangi Naja.
"Hati-hati, Ja!" Sari yang paling depan memeluk Naja sekali lagi, diikuti yang lain. "Kami akan merindukanmu, Ja!"
Hati Naja tersentuh, sejauh ini dia menemukan keluarga, orang-orang yang menerima dia apa adanya. Bahkan majikannya yang menurutnya menggenggam dunia, memperlakukannya selayaknya manusia.
Taksi yang menunggu Naja di persilahkan masuk, menjemput Naja yang masih dikerubuti oleh pekerja di rumah ini. Yang malah semakin banyak saja.
"Bye semuanya!" Naja mengakhiri momen mengharukan ini. Dia segera masuk kedalam taksi yang membawanya keluar dari Vila penuh kenangan ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Mega Anggraini
ini si jeje siapa nya yaa... kog aq bingung bcanya
2022-10-28
2
nyonya_norman
aduh
tapi gak sakit 😂
2022-06-15
0
💮Aroe🌸
beneran bikin hati terasa di remez kaya mi gemez🤧
2022-02-06
0