“Kau tidak rindu Ai-mu, Nana? Kenapa hanya diam saja?”
Alis Ai terangkat sebelah. Memanggil kekasihnya yang menahan haru pertemuan sarat kerinduan. Senyum yang menggusur pipi dari seorang Syailendra adalah penawar rindu Naja.
“Ah...Ai...,” lirih Naja berurai air mata. Dalam dua langkah Naja telah mencapai dada kekasihnya menumpahkan sakit dan rindu. Jalan cintanya dengan Ai begitu berliku.
“Na... aku merindukanmu. Sangat merindukanmu.” Bisik Ai dengan kepala tertunduk. Meluapkan rasa rindu pada gadis yang tak pernah bisa dilupakannya selama satu tahun berpisah.
Lama keduanya tenggelam dalam lautan rindu yang tak pernah berujung. Naja bahkan sampai terisak akibat perasaan yang bercampur menjadi satu. Takut jika sumpah yang terlanjur terucap membuatnya tak bisa bertemu Ai. Takut jika Ai tidak mau menerima dirinya yang masih kerdil. Tetapi Ai masihlah Ai, yang merengkuhnya dalam pelukan. Ai yang masih menaruh cinta sama besarnya dengan saat terakhir kali ditinggalkan.
“Na... seandainya bisa, aku ingin mengikatmu saat ini juga. Satu tahun berpisah darimu rasanya seperti dibunuh perlahan.”
Naja melerai pelukan, menatap manik mata yang seperti awan teduh menaungi. “Jangan gombal... kalau kau merindukanku mengapa kau tidak menghubungiku? Aku tidak mengganti nomor teleponku agar kau mudah mencariku.”
Ai mengusap rambut Naja. Merapikan dengan sayang, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir penuh pesona itu. “Maaf Na... aku terlalu takut. Jika aku menghubungimu, Mama akan menjauhkan kamu dariku. Selama ini Mama memantau semua tindakanku. Sehingga aku harus tetap berhati-hati agar kau tetap dalam radarku.”
“Kau melihatku selama ini?” kening Naja berkerut seakan tidak percaya ucapan Ai.
“Iya...aku selalu melihatmu. Aku tahu kau dimana. Tapi aku tak berani mendekatimu karena Mama Na....”
Naja merengut, air matanya kembali meleleh. Mengepalkan tinju menggedor dada Ai. “Itu tidak adil Ai, kenapa kau tidak memberiku satu petunjuk pun?”
Ai menangkap tangan Naja dan menggenggamnya erat. “Maaf Na....semua demi kebaikan kita.”
Kedua pasang netra bertemu, terpaut dalam mengatakan kesungguhan. Tetapi tiba-tiba, raut wajah Ai berubah sendu. Tangannya terulur meraih pipi Naja untuk memdapatkan fokusnya.
"Nana... aku kesini selain untuk melepas rinduku yang sudah tidak bisa ku tahan lebih lama lagi, juga karena aku ingin berpamitan denganmu."
Naja terkesiap mendengar ucapan Ai, hatinya seperti di cabut paksa. Ambang matanya kembali berkaca-kaca. “Ai akan meninggalkanku lagi?”
“Iya....tapi aku janji setelah satu bulan, aku akan datang dan menikahimu Na. Aku punya pekerjaan di luar negeri dan kemungkinan akan menetap lama di sana. Jadi setelah satu bulan masa percobaan, aku akan pulang untuk membawamu bersamaku."
Wajah sendu Ai tampak menyiratkan kesungguhan, dia sama sekali tidak ragu akan keputusannya.
Tetapi Naja tak percaya pada apa yang di dengarnya. Dalam kaburnya pandangan, Naja memastikan ucapan Ai tak main-main. “Tapi Ai... bagaimana dengan Mamamu?”
Senyum Ai kembali terukir. “Mama sibuk mencari pengganti Shifia yang sudah menikah, dan aku tidak perlu persetujuan Mama jika ingin menikahimu. Papa mendukung rencanaku dan aku hanya perlu restu orang tuamu.”
Ai menenggelamkan Naja di dadanya. “Bersabarlah dan jangan meragukanku sedikit pun, Na. Satu bulan lagi kau tidak akan menahan sakitmu sendirian. Aku akan menjadi pria untukmu. Meski bukan pangeran berkuda putih...”
Naja mengangguk dalam diam tapi air mata haru tak pernah bisa diam. Saat ini pikirannya penuh kabut yang terlalu banyak untuk diurai satu persatu. Baginya ucapan Ai adalah hujan yang membasahi hatinya yang gersang. Setitik cahaya dalam gelapnya jalan hidup yang dilalui.
“.... tapi pria tampan yang mengendarai mobil putih.” Imbuhnya tetap memeluk erat sedikit menggoyangkan tubuh Naja yang cukup kecil.
"Auwh... sakit Na!" Syailendra meringis aaat cubitan mendarat di pinggang Ai tetapi Ai membalasnya dengan kecupan di kepala Naja.
Naja memejamkan mata, enggan memberai pelukan yang begitu ketat dilingkarkan pada punggung Ai. Tak peduli malam yang mulai merambat, angin yang menusuk tangan telanjangnya, atau bisik-bisik penghuni kos yang bertanya-tanya siapa pria yang dipeluk Naja.
Merasai detak jantung yang sebentar lagi menjauhinya. Memupuk rindu lagi selama satu bulan ini.
“Ai... apa yang harus kulakukan selama satu bulan ini? Aku... aku masih belum siap menikah meski aku juga tidak pernah siap jika jauh darimu,” lirih Naja.
Syailendra tahu gadis polosnya akan mengatakan itu sehingga senyumnya terkembang memenuhi pipi. Mendesakkan dagunya di pucuk kepala Naja, Syailendra membuka mata. “Lakukan saja apa yang kamu sukai. Jangan ada yang berubah, Na. Agar Mama tidak curiga.”
Naja menengadahkan kepalanya perlahan, “Sejauh apa Mamamu mengetahui tentangku?”
“Tidak banyak, Na. Tapi lebih baik kau diam dan aku yang bertindak. Mama berpikir aku dalam kendalinya sekarang, jadi lebih mudah bagiku untuk mencari kelengahannya.”
Sekali lagi senyum mematikan Ai terlukis jelas, bahkan mata itu melemparkan anak panah yang membuat Naja lumpuh dan takluk.
Tangan Ai terulur membingkai wajah kekasihnya lagi. Rasanya tak bosan menyentuh pipi lembut yang berona merah muda ini. Mata yang selalu ingin membuatnya melindungi. Wajah yang biasa tapi sangat menarik bagi Ai.
“Maafkan aku yang terlihat lemah di depanmu, Na... aku hanya tidak ingin hidupku yang singkat ini dipenuhi tekanan dan ketidakbahagiaan. Aku hanya ingin sisa hidupku bersamamu. Maaf jika jalan kita harus sangat menyakitkan terlebih dahulu, Na.”
“Sudah... jangan minta maaf terus.” Naja menurunkan tangan Ai. “...lebaran masih lama.”
Syailendra tertawa hingga menampakkan giginya yang rapi. Mencubit pipi Naja dengan gemas. “Kau ikut audisi melawak saja, Na. Kau punya bakat.”
“Ngga mau ah... nanti aku femes, kamu cemburu lagi... secara aku ‘kan cantik. Banyak yang naksir.” Gaya bicara Naja dibuat sinis, gesturnya seperti seorang public figure terkenal.
“Bisa aja kamu ini. Kamu ngga boleh terkenal. Cantikmu hanya untukku saja dan hanya di depanku kau harus selalu menarik. Satu lagi...” telunjuk Ai menunjuk di depan hidung Naja. “.... jangan bertingkah seperti itu di depan pria lain.”
Telunjuk Ai langsung menoel hidung Naja yang bisa dikatakan mancung, meski masih dalam ukuran rata-rata. Tidak semancung Ai atau Excel.
Melebur tawa dalam gelapnya hangat temaram senja, kedua insan dimabuk rindu itu terus berbagi cerita.
"Na, sebenarnya aku masih ingin berlama-lama denganmu di sini. Tapi, aku harus pulang bersiap untuk berangkat esok pagi. Tidak apa-apa ya?"
Naja mengangguk meski dia berat, tapi tidak mau membebani Ai dengan segala rengekannya. "Iya Ai, pulanglah! Aku akan menunggumu kembali!"
Tabungan rindu Naja sudah ditarik tunai meski harus membuka rekening rindu yang baru. Naja melambai hingga mobil putih Syailendra lenyap dari pandangan. Meninggalkan Naja yang kembali berselimut sepi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
merti rusdi
Aku lupa bagaimana tata dan tutur bahasa di novel Kira-Harris, tapi di sini itu seperti baca novel cetak yang melalui editing yang ketat 👍
2022-08-28
1
💮Aroe🌸
CLBK
2022-02-19
0
Iink Beraan
rekening rindu,. pasti di bank cinta bukanya.. wkwkwkwm
2021-12-18
1