Mobil yang membawa Excel ke kantor Papanya melaju dengan kecepatan tinggi, namun tak meninggalkan kewaspadaan dan hati-hati.
Tepat ketika Hadi Wijaya keluar dari pintu utama kantor Grup WD, mobil Excel berhenti sembarangan di pelataran kantor yang cukup luas. Sedikit tergesa, Excel keluar dari mobil dengan merapikan lagi penampilannya.
"Maaf atas keterlambatan saya, Paman!" Tak ingin membuat alasan yang membuatnya tampak semakin bersalah, Excel menjabat tangan Hadi Wijaya dengan penuh hormat.
Hadi Wijaya mengukir senyum dibibirnya. Pria yang lebih tua dari Papanya hampir 10 tahun itu tampak tenang dan ramah. "Tidak apa, Nak. Paman tadi ingin menunggumu lebih lama, tetapi rupanya ada sedikit masalah di markas."
Excel mengangguk mengerti, namun dia masih merasa sungkan. Sehingga dia tidak menyahuti ucapan Hadi Wijaya.
"Beberapa hal yang berkaitan dengan keberangkatan Jeje sudah Paman titipkan pada Riko. Pelajari saja pelan-pelan, masih banyak waktu kok. Paman hanya ingin kalian mempertimbangkan beberapa hal."
Ucapan Hadi Wijaya begitu sarat keraguan. Ada ketakutan dan sedikit kecemasan dalam sorot wajah pria tua ini.
"Bukannya Paman yang mengajukan Jeje? Kenapa sekarang Paman ragu? Apa ada masalah?" Excel membawa orang tua dari kekasih adiknya ini masuk kedalam gedung, menggiringnya ke sofa ruang tunggu yang lebih sepi.
"Nak, kau tahu bukan, adikmu sangat berbakat dan brilian. Dia akan bersinar jika berkarir di liga Jepang. Kesempatan langka yang tidak bisa setiap tahun datang pada negara kita." Hadi Wijaya menghela napas, sekedar mengatur ritme dirinya yang terlalu menggebu dengan luapan emosi.
"Tetapi, di sisi lain, kebahagiaan putri Paman ada pada Jeje. Claire sangat mencintai Jeje. Dan dia tidak mau berpisah dengan adikmu itu. Kau tentu tahu maksud Paman kan?"
Excel meraba-raba maksud terjauh dari ucapan Hadi Wijaya. Perlahan wajah Excel kembali menegang, ekspresinya tegas saat telah mencapai tujuan lain dari kedatangan Hadi Wijaya kemari dan terkesan mendadak.
"Paman, sebelumnya saya minta maaf jika ucapan saya kurang berkenan di hati Paman," Excel membenarkan posisi tubuhnya, lebih tegak dan tegas berhadapan dengan Hadi Wijaya.
"Jeje sejauh ini sudah sangat siap dengan keberangkatannya, terus berlatih dan menjaga dirinya agar tetap dalam kondisi prima. Saya rasa Jeje sudah siap 90%, Paman! Sedangkan untuk urusan putri anda, sebaiknya anda bisa memberi pengertian, bukankah ini untuk kebaikan mereka juga? Jika saya harus membujuk Jeje agar menyerah, saya tidak bisa Paman! Saya tidak ingin membuat Jeje kecewa! Saya rasa Papa juga sependapat dengan saya!"
Hadi Wijaya mengesah, dia sudah menduga jika ini jawaban dari Harris maupun Excel. Meski besar harapannya, Excel lebih mudah ditaklukkan. Namun, bahkan belum sempat Hadi Wijaya menjelaskan lebih jauh, Excel malah menodongnya dengan ketidak sepakatan dengan idenya.
"Saya akan memeriksa lagi dokumen itu, Paman! Jika bisa, secepatnya Jeje akan segera berangkat! Claire seharusnya tidak menjadi penghambat impian pria yang di cintainya. Dukungan sepenuhnya adalah bentuk lain dari cinta seseorang bukan?"
Sekali lagi, Hadi Wijaya dibuat tak berkutik dengan ucapan Excel. Pria yang jauh lebih muda darinya ini, bersikap seolah Hadi Wijaya tak bisa berbuat apa-apa dengan keinginan putrinya. Selain menuruti nya.
"Kau akan mengerti suatu saat nanti jika kau memiliki seorang putri, Nak!"
Excel menatap Hadi Wijaya dengan tajam namun dia masih bersikap sopan. Hadi Wijaya adalah pria yang menyayangi keluarga dan tak pernah berbicara kasar.
"Paman, meski saya belum memiliki anak, tetapi Papa saya mengajarkan untuk menekan ego, berusaha mengerti akan keinginan dan impian orang lain. Dan juga, Papa saya tidak pernah menolerasi anak-anaknya yang menjadi penghalang kesuksesan orang lain!"
Terdiam. Saat Excel menohoknya dengan kalimat sederhana. Ajaran orang tua, yang selama ini tak pernah seorang Hadi Wijaya tanamkan pada putri-putrinya, terutama Claire. Bahkan dia memanjakan putrinya sebagai bentuk kasih sayang. Menuruti semua keinginan dan melimpahkan semua kesenangan dunia padanya.
Excel bangkit dari duduknya. Menyatukan kedua sisi jas yang dikenakannya, meski tak mengancingkan. "Maaf membuang waktu Paman yang berharga hanya demi mendengar omongan saya yang tidak berguna. Saya rasa anda memiliki urusan yang lebih mendesak!"
Hadi Wijaya bangkit dan menyejajarkan dirinya di depan pria muda yang tampak kalem namun rupanya dia memiliki cakar yang begitu kokoh dan tajam. Sama sekali tak nampak di wajahnya yang bersih, malah terkesan polos dan murni.
"Baiklah Nak! Paman pergi dulu, pelajari saja apa yang tertera dalam dokumen itu. Sama sekali tidak mendesak dan urgent kok!"
Menghadapi sikap Excel, Hadi Wijaya memilih mundur satu langkah, demi mengambil ancang-ancang untuk lompatan selanjutnya. Selagi Harris Dirgantara belum kembali, masih ada waktu untuk mewujudkan keinginan putrinya.
Sepeninggalan Hadi Wijaya, Excel segera naik ke lantai paling atas gedung ini. Mengambil dokumen dan membawanya ke rooftop. Ada taman kecil dengan suasana teduh meski mentari sangat menyengat.
Meminta OB mengantarkan pesanan makan siang dan juga kopi latte untuk menemaninya. Entah itu mempelajari dokumen Jeje atau memikirkan lagi Mikha.
-Atau seseorang yang berambut mirip Ranu-
.
.
Hening.
Tak ada suara masuk ke dalam pendengaran Naja. Bibir Naja bergerak menelan saliva, membasahi tenggorokan yang terasa kering. Manik matanya bergerak tanpa berani membukanya. Jemari tangannya meremas kain yang berada di bawah tangannya.
Pikiran Naja berkelana ke beberapa saat lalu, berusaha mengingat lagi apa yang terjadi. Tetapi, itu terasa sangat sulit. Fokusnya sedang terbelah sekarang. Hanya kilasan samar sebelum dia bener-benar tak ingat apapun. Kepalanya terasa berputar dan tubuhnya lemas sekali.
Naja ingin membuka mata, tetapi, dia takut jika sudah berada di alam lain. Berdebar-debar Naja menahan rasa penasarannya. Bahkan untuk mengetahui sebuah kenyataan saja, Naja harus mengumpulkan seribu kekuatan.
-Apalagi untuk menghadapi Excel? Butuh seluruh dunia dan isinya untuk mendukungnya-
"Anda sudah sadar, Nona?" Naja menahan napasnya di leher, begitu terkejut namun juga lega. Dia masih di dunia fana. Yang kejam dan tak berperasaan.
Dipalingkan wajah dengan mata masih terpejam ke sumber suara. Lirih sekali Naja mengayunkan kelopak matanya. Mengibarkan bulu matanya yang pendek tapi begitu melengkung dan lebat.
Menaik turunkan beberapa kali sebelum lensa matanya dengan jelas menangkap bayangan seorang perawat yang mengulum senyum kepadanya.
"Siapa yang membawa saya kemari, Suster?"
Perawat itu tersenyum, menampakkan barisan gigi yang begitu putih dan rapi. Pena di tangan kanannya menulis sesuatu di papan dengan tumpukan lembaran kertas.
"Biasanya seorang yang baru siuman tanyanya, -saya kenapa atau saya dimana- lha kamu kok beda sendiri?"
"Saya kurang lebih tahu apa yang terjadi pada saya, Sus!" Naja menarik kedua belah bibirnya kedalam. Menahan senyum malu karena ucapan si perawat yang bertag name -Alisha-
Tidak menjawab namun dia melanjutkan catatannya. Memeriksa laju cairan infus dan beberapa hal yang sekiranya penting. Setelah menyelesaikan catatan dengan penekanan pena pada lembaran kertas itu. Alisha menghadapi Naja dengan hangat.
"Ada seorang baik hati yang membawamu kemari. Sayangnya dia ada urusan mendesak jika menunggumu sampai siuman. Dia berpesan agar kau menunggunya datang, dia yang akan mengantarmu pulang!"
.
.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
💮Aroe🌸
aiapa?
2022-02-19
1
Dwi setya Iriana
siapa ya yg ngantarkan naja?????penasarankan?????
2021-11-27
1
Pesek Gitank
pasti excel
2021-11-05
1