“Kau dari mana saja, Cel? Semua menunggumu...tanpa kamu mereka tidak akan memulai pertemuannya. Kau ini menyebalkan sekali sih...!” gerutu Rega. Wajah pria yang tak kalah tampan dari Excel ini menyiratkan kekesalan. Terlebih Excel tampak tidak merasa bersalah padanya. Setumpuk amarah yang ditimpakan klien Star Media terpaksa harus ditelan Rega dalam-dalam. Sebab terlalu lama menunggu sang Presiden Direktur.
Excel mengabaikan suara bergumam tak jelas dari Rega. Kurang lebih dia tahu apa kesalahannya, sehingga dia memilih bergegas menuju ruang rapat yang berada di lantai 5 gedung Star Media.
“Cel...” Rega berdecap kesal akibat ulah Excel. Dia berlari kecil agar bisa menyamai langkah atasannya tersebut. “....bisa tidak setidaknya beritahu aku ke mana kau pergi tadi?”
“Bukan sesuatu yang penting, Ga. Sebaiknya kau jangan membuang waktu. Kau bilang kita sedang ditunggu.” Langkah Excel berhenti ketika tiba di depan pintu lift.
“Kalau tidak penting mengapa kau mengabaikan teleponku?” tidak mengindahkan ucapan Excel, Rega masih menuntut penjelasan. “Kau menemui Mikha?”
“Tidak...” Ucapan Excel terputus sebab lift terbuka. “....tadi aku sedikit ada masalah. Dan sudah selesai kok.”
“Masalah?” Rega menekan angka 5 di panel yang terdapat di dekat pintu lift saat keduanya sudah berada di dalam kotak yang akan membawa mereka naik.
Merasa jengah karena Rega terus memburunya, setelah membuang napas akhirnya Excel memutuskan untuk memberitahu Rega. “Ya...tadi aku hampir menabrak orang. Dan aku lupa untuk melihatnya karena terburu-buru kembali ke kantor.”
“Bagaimana keadaanya? Apa parah? Kenapa kau tidak cerita padaku sebelumnya?”
“Ga, please...berhenti mengejarku dengan pertanyaan konyolmu itu. Aku sudah menceritakan semuanya tadi. Andai dia terluka tentu aku tidak akan sampai lupa. Kenapa kau jadi bodoh hari ini?”
Ucapan Excel membungkam mulut Rega. Pria itu bahkan menahan napasnya saat Excel membentaknya.
“Itu lebih baik...” ucap Excel. Pintu lift terbuka ketika sampai di lantai lima di mana ruang rapat berada. Excel melangkah cepat, jam yang melingkar di tangannya menunjukkan bahwa sebentar lagi jam pulang kantor sehingga dia harus bersegera menemui klien itu.
“Maaf...membuat Anda menunggu lama Tuan!” Excel menyapa dua orang pria yang duduk membelakangi pintu. Mereka berdua menoleh dengan ekspresi kekesalan yang tak bisa lagi disembunyikan.
“Maaf...tadi saya ada urusan sebentar.” Sikap Excel yang tampak penuh penyesalan meluluhkan pria-pria itu. Kedua pria itu bangkit dan menyambut Excel.
“Sebaiknya hal ini tidak terulang lagi, Tuan Excel. Sebenarnya saya sedikit kecewa tapi ya... saya bisa memaklumi jika memang urusan Anda mendesak. Selain itu, kami sudah bermitra dengan Star sejak lama.”
Mereka berjabat erat dengan senyum penuh kelegaan.
“Baiklah, sebaiknya segera kita mulai saja Tuan.” Excel segera mengambil tempat duduk yang berhadapan langsung dengan dua pria itu setelah meletakkan amplop cokelat milik Naja. Tersenyum sekilas sebelum membiarkan kursi putar menelan tubuhnya.
***
Tubuh Naja terasa segar setelah air membasahi tubuhnya. Perutnya juga mulai berteriak lapar saat lelah ikut luruh bersama air. Dengan handuk melilit kepala, Naja mengirim pesan kepada Tara agar membawakan makanan saat dia pulang.
“Tapi seharusnya Tara sudah pulang kan?” manik mata Naja mengerling jam yang bertengger di dinding. “Ke mana dia ya?”
Merebahkan diri telentang di kasur dengan hentakan keras sehingga membuat ponsel yang masih dalam genggaman ikut terlempar menjauh. Kembali menerawang, Naja mengingat kejadian barusan. Aneh dengan sikap Excel yang bertolak belakang dengan beberapa hari yang lalu.
Getaran di ponselnya, membuat Naja meraba-raba kasur yang tak seberapa empuk ini. Membawa benda pipih itu ke hadapan wajahnya. Bola mata bulat itu membola sempurna. Bibinya menganga tetapi menahan pekikan yang hendak meluncur.
Ibu jarinya melesat bak mobil balap menggeser lambang hijau. Nomor yang baru disimpannya siang tadi.
“Ha-halo....” sapa Naja saat ponsel menempel di sisi kepalanya. Masih ragu untuk menyapa kontak yang menghubunginya. Menahan perasaan senang yang memenuhi rongga dada.
“Selamat sore Nana,”
Benar... ini Ai, Naja menarik ponsel ke jangkauan penglihatannya. Memeriksa lagi nama yang tertera di layar ponselnya. Bibirnya tergigit di sudut. Binar di matanya tumbuh sangat cepat dan meletup seperti kembang api. Detak jantungnya berlomba menumbuk dadanya dari dalam.
“Halo Na...”
“Eh...I-iya Ai. Apa kabar? Benarkah ini suara Ai-ku?” saking cepatnya gerakan tangan Naja membuat ponsel itu nyaris meluncur turun.
Suara tawa lirih terdengar. “Iya Nana...apa kau tidak mengenali suaraku lagi? Bisakah kita bertemu sekarang?”
“Apa?” Teriak Naja. Membuat Tara yang baru saja mendorong pintu hingga terbuka ikut terlonjak kaget. Naja bangkit dari posisinya dalam sekali gerakan cepat.
“Iya... kita bertemu sekarang. Aku sudah di depan kosmu.”
Naja berteriak tanpa suara, melompat-lompat layaknya anak kecil dengan ponsel tergenggam di depan dada.
Tara sampai heran dibuatnya, keningnya berkerut dalam sambil mencibir ngeri. “Menang undian?” tanya Tara juga dengan suara lirih.
Mengabaikan Tara, Naja kembali berbicara di telepon. “Ba-baik Ai, aku akan keluar sekarang.”
“Aku menunggumu Nana...”
Naja melemparkan ponselnya ke kasur dan merapikan penampilannya yang sedikit berantakan. Menepuk pipi dengan bedak dan menyisir rambutnya yang setengah basah, Naja mematut diri di depan cermin. Setelah dirasa cukup rapi, dia segera melangkah ke pintu.
“Laparmu hilang setelah di telepon Ai?” Tara sejak tadi memperhatikan kakaknya dalam diam. Melihat rona bahagia yang terpancar dari wajah Naja.
Naja merengut. “Nasi rames masih bisa menunggu. Tapi Ai-ku tidak.”
“Dasar cewek bucin.” Ejek Tara pada kakaknya yang sudah meninggalkan kamar.
Berdegup kencang. Satu tahun tanpa bertukar kabar, tanpa saling mengetahui satu sama lain membuat Naja gugup. Rupa-rupa bayangan Naja akan Syailendra Jiwandaru saat ini. Jika Ai kini sudah tinggi tentu Naja hanya serpihan debu di hadapannya. Pikiran ini membuat langkah Naja memelan, ragu-ragu mulai merambat dari dalam hatinya.
“Na...” perlahan wajah Naja mencari sumber suara. Suara yang dua belas purnama penuh tak dengarnya.
“Ai...kaukah itu?” sesosok tubuh dengan siluet sempurna melangkah ke arahnya. Naja benar-benar mematung saat melihat Ai-nya begitu memesona. Pria berwajah surgawi tersenyum ke arahnya. Dan...dan mata itu tak pernah tidak bisa membuat Naja meleleh. Mata yang selalu membuat Naja jatuh cinta.
Ai merentangkan tangannya siap menerima Naja ke dalam dirinya. Tak dipungkiri pria itu juga memancarkan kerinduan yang teramat dalam.
“Kau tidak rindu Ai-mu, Nana? Kenapa hanya diam saja?”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Satu dulu ya manteman.... Insya Allah secepatnya saya susulin bab berikutnya🥰
Ditunggu selalu sumbangan like dan komennya...🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
💮Aroe🌸
wew
2022-02-19
1
Dwi setya Iriana
tadi waktu terima telp girang sekali,swkarang kok jadi ragu2 kenapa na?????
2021-11-27
1
Pesek Gitank
takut naja sakit hati lagi kalo ma Ai
2021-11-05
1