Sementara itu, di dalam kamar.
Ustadz Irsyad tengah bermain dengan sang cucu, yang sudah berusia lima bulan.
Di mana Ziya mulai bisa di ajak mengobrol, dengan sesekali tertawa. Anak itu pun sudah mulai bisa duduk walaupun belum lama.
Dengan tawa riang, Ustadz Irsyad terus melontarkan kalimat-kalimat yang menurut Ziya lucu, hingga membuat Ziya tertawa renyah. dengan suara serta ekspresi yang di buat-buat kakeknya itu, bahkan tidak hanya itu, Rahma pun turut tertawa, di buatnya.
Ustadz Irsyad menoleh. "Jadi ingat Nuha kecil ya, Umma."
"Iya Bi, tapi wajahnya lebih ke Faqih."
"Anak perempuan memang banyak kan mirip ayahnya. Kaya Nuha mirip Abinya." Terkekeh.
Umma Rahma pun langsung memajukan bibir bagian bawahnya, menyanggah.
"Nggak percaya?"
"Enggak lah, banyak yang bilang tuh, mirip Umma..."
"Mereka tidak memperhatikan dengan seksama, makanya bilang mirip Umma."
"hehehe terserah Abi saja lah, Kalau Rumi?" Tanya Rahma kemudian.
"Rumi juga, mirip Abinya," jawab ustadz Irsyad.
"semuanya saja mirip Abi?" Gumam Rahma, seraya geleng-geleng kepala.
Ustadz Irsyad pun tergelak, dan dari tawanya itu membuat Ziya turut tertawa renyah lagi. Pandangannya masih tertuju pada sang kakek, dengan satu jarinya yang tengah di genggam Ziya.
Serta ocehan-ocehan tak jelas, khas seorang bayi.
"Ziya ketawa melulu, muka kakek lucu ya?" Tanya Ustadz Irsyad, yang langsung menciumi Ziya berkali-kali. Rahma pun terkekeh.
"Kaya Doraemon." Gumamnya lirih.
"Apa? Umma bilang apa?"
"Nggak Bi. itu di tv, Doraemon," jawab Rahma asal, tapi dia masih tidak bisa menahan tawanya.
"Masa?"
"Serius." Terkekeh, seraya memalingkan wajah. karena Ustadz Irsyad hendak menciumnya
"Tak cium seribu kali nanti loh."
"Abi ih..."
"Apa? Pengen kan Hehehe...."
Rahma pun geleng-geleng kepala, sekarang rasanya bercanda dengan sang suami sudah tidak sesenang dulu, mungkin karena kondisinya, membuat dia merasa bahwa sudah tidak pantas lagi menerima perlakuan manis dari suaminya itu.
Keduanya pun hening, membuat Rahma mengangkat tangannya pelan, meletakkan itu di punggung telapak tangan sang suami.
"Bi–"
"Ya?" Menoleh, dengan senyum masih tersungging.
"Abi ingat ucapan Umma, yang waktu malam lebaran, tahun lalu?"
Ustadz Irsyad berfikir sejenak. "Yang mana?"
"Yang pada saat Rahma bertanya... Kalau Rahma pergi duluan, apa Abi akan menikah lagi?"
Ustadz Irsyad terdiam, beliau segera beralih pandang ke cucunya lagi, setelahnya bersolawat. Rahma pun paham, kalau suaminya paling tidak suka membahas tentang itu.
"Bi...?"
"Umma, Sepertinya makan malam sudah siap. Kita makan dulu yuk." Potong sang suami.
"Mas belum jawab pertanyaan Rahma." Rahma menatap dengan sendu.
"Pertanyaan seperti itu tidak perlu mas jawab. Ade kan tahu, mas tidak mau mendahului takdir."
"Hanya seumpama, mas."
"Nggak ada kata seumpama, ataupun seandainya. Jangan bicara yang tidak-tidak." Irsyad beranjak, beliau lantas menggendong Ziya. "Abi keluar dulu, kasihin Ziya ke Nuha. habis itu Umma ya." Irsyad mencium pangkal kepala Rahma lalu beranjak turun dari ranjang mereka.
Di sana Rahma menghela nafas, memandangi tubuh Ustadz Irsyad yang tengah keluar dari kamar mereka.
Yang kini sudah berpindah di lantai bawah, semenjak Rahma menderita sakit.
Selang beberapa saat. Ustadz Irsyad masuk lagi, beliau berjalan mendekati kursi roda yang berada di pojok ruangan. Lalu mendorongnya mendekati Rahma.
"Yuk, mas Gendong." Irsyad meraih lengan Rahma, mengalungkannya di pundak. Lalu satu tangannya hendak menyentuh bagian kaki Rahma.
"Nggak usah di gendong mas. Rahma kan bisa pindah sendiri ke kursi roda."
"Tapi, mas mau gendong kamu."
"Nggak mas. Rahma bisa kok." Tersenyum, dan perlahan mulai menggeser kedua kakinya turun dari bibir ranjang.
"Pelan-pelan, dek." Titah sang suami.
"Iya..." Dengan di bantu Ustadz Irsyad yang memapahnya, Rahma pun sudah berpindah duduk di kursi rodanya.
"Alhamdulillah..." Gumam Rahma. Irsyad pun mengangkat kaki Rahma, membenarkan posisinya, satu persatu.
"Mas? Wanita tadi itu, siapa namanya? Yang ketemu di taman, sama anak laki-lakinya." Tanya Rahma. Ustadz Irsyad pun mengangkat kepalanya.
"Isti?" Jawab beliau. Mendengar nama itu di sebut oleh ustadz Irsyad, Rahma pun memaksakan senyum.
"Apakah, dia masih berstatus janda?" tanya Rahma.
"Entah... Mungkin iya," jawab Irsyad.
"Emmm itu? Mas kan masih sehat, mas masih harus menjalani hidup dengan seorang pendamping yang sehat, kan? Yang masih bisa memenuhi hasrat mas, serta melayani sepenuhnya."
"Maksudnya bagaimana?" Ustadz Irsyad mengerutkan kening.
"Maksud Rahma. Sekarang kan sudah ada satu tahun lebih, aku tidak melayani mu dalam urusan ranjang. Jadi?" Rahma terdiam sejenak dia tidak kuasa melanjutkan kata-katanya itu. Namun segera ia menggeleng lalu menghela nafas, dan setelahnya tersenyum. "Mas menikah lagi saja, dengan wanita yang masih sehat. Dengan Isti mungkin. Biar hasrat mas terpenuhi."
Ustadz Irsyad yang mendengar itu, hanya menatap dalam-dalam mata sang istri, beliau tidak menjawab sama sekali ucapan Rahma.
"Kok diam saja?"
"Sudah ngomongnya?"
"Mas?" Merengek.
"Kalau sudah ayo kita keluar."
"Mas Irsyad... Rahma tidak mau egois. Lagi pula, kita sudah sama-sama berumur. Bukankah, jika seorang wanita sakit dan tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan suami, Serta melayani suami dengan sebaik mungkin, suami berhak beristri lagi? Dan Rahma tidak apa kok, kalau mas mau berpoligami dengan yang lebih sehat."
Irsyad menghela nafas. "Istighfar." Titahnya.
"Kenapa? Memangnya Rahma salah bicara seperti itu."
"Istighfar, mas bilang!" Tegas Irsyad.
"Astagfirullah al'azim." Gumam Rahma Kemudian.
"Lagi..." Titahnya.
"Astagfirullah al'azim."
"Sekali lagi." Titah sang suami, kemudian.
"Astagfirullah al'azim." Bulir bening pun keluar, bersamaan dengan itu Ustadz Irsyad langsung memeluk tubuh yang sedikit gemuk milik Rahma.
"Aku mencintaimu, hingga detik ini dan seterusnya. Di kala kamu sehat, ataupun sakit. Jadi jangan pernah merasa rendah diri dengan kondisi mu. Mas, tidak pernah punya pikiran, untuk mendua. Sungguh Rahma."
"Hiks..." Rahma mulai terisak.
"Mas, tidak pernah mempermasalahkan jika kamu tidak melayani ku dengan baik. sekarang, Buat mas? hasrat birahi seperti itu sudah tidak begitu bergejolak seperti ketika mas masih muda. Jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkannya."
"Tapi Rahma merasa tidak berguna mas."
"Kamu berguna untuk mas, kamu berarti dek, sangat berarti. Seperti apapun kondisi mu. Cinta mas tidak akan berubah."
"Isti masih sempurna, Bi. Umma tidak akan egois."
"Umma... Abi mau tanya, Umma masih sayang dan menghormati Abi kan?"
"Iya... Masih." Isak Rahma dalam pelukan Ustadz Irsyad.
"Kalau sayang? tolong jangan menzolimi diri mu sendiri dengan berfikir hal yang tidak-tidak. Dan hidup lah dengan semangat Umma, ayo bersyukur atas hidup ini."
"Wajar kan... Aku merasa tidak bersemangat hidup lagi?"
"Wajar... Itu wajar. Tapi bukan berarti ade harus berputus asa. Mas selalu bilang kan? Jangan pernah berputus asa dalam segala kesusahan yang kamu terima, karena sejatinya kamu hanya menerima sedikit kesusahan dan lebih banyak Nikmat. Ingat Allah SWT, Umma. yang tidak akan pernah meninggalkan mu. Serta orang-orang yang mengasihi mu dengan tulus."
"Hiks."
"Percaya sayang, percaya ya. Sebentar lagi kamu pasti sembuh. Pasti sayang."
"Tapi dokter bilang, walaupun sembuh? Rahma tidak akan bisa kembali normal mas."
Ustadz Irsyad mempererat pelukannya. "Bisa... Pasti bisa. Dokter hanya memprediksi. Sisanya? Hanya Allah lah yang maha tahu masa depan mu seperti apa?"
"Kalau ternyata Rahma pergi?" Tanyanya, Ustadz Irsyad lantas Melepaskan pelukannya, lalu mencium bibir Rahma.
"Tega apa? Ninggalin mas sendirian?" tanya Irsyad lembut.
"Hiks... enggak mas Irsyad." Rahma menggeleng. Irsyad pun kembali memelukannya dengan erat.
"Semangat sayang... Demi aku. Demi anak-anak, dan cucu kita. Ya."
"Iya mas." Hati Rahma sedikit merasa lega saat ini. Sementara Keduanyan saling memeluk, Rumi yang baru saja pulang pun urung untuk masuk. Dia berdiri di sebelah pintu merasa khawatir sekaligus sedih melihat ibunya Seperti itu. Rumi mengusap air matanya, lalu memutuskan untuk pergi dari sana, dan menemui sang ibu nanti saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
M. Namikaze
klo orang biasa yg sayang istri jujur malah jadi sakit hati banget klo sampai istri bicara begini, gak tahu klo ustadz....
2024-10-11
0
adning iza
huufftttt brebes mili mata ku thoorrrr msih ae mewek plus²😭😭😭😭😭
2023-04-29
0
Irawati Haryanto
sediihhh 😭😭😭😭😭😭
2022-06-17
0