Malam ini, di tanggal satu Syawal.
Rumi terdiam di dalam kamarnya, ia duduk di sebuah kursi belajar, dengan tatapan mengarah ke jendela kaca kamarnya.
Ia tengah memikirkan sesuatu, tentang apa yang di ucapkan Abinya tadi, ketika keluarga Ulum baru saja pergi dari rumahnya, setelah bersilaturahmi dengan keluarga mereka.
(Flashback is on)
Kala itu Ustadz Irsyad berjalan masuk ke area dapur, menghampiri sang anak yang tengah menengguk air mineral di gelasnya.
"Rumi, Abi mau bicara sebentar." Duduk di hadapan Rumi.
"Bicara apa bi?" Tanya Rumi sembari menurunkan gelasnya.
"Menurut mu, Safa bagaimana?"
"Bagaimana? Maksud Abi?"
"Menurut pengamatan Abi. Gadis itu sepertinya mengagumi mu."
Deg...!
"Abi ini bicara apa? Tidak mungkin Safa mengagumi Rumi."
"Kalau iya bagaimana?" Tanya Abi Irsyad.
"Rumi tidak tahu." Jawab Rumi.
"Kok tidak tahu?"
"Mau bagaimana? Rumi kenal Safa adalah saudara, jadi ya kaya tidak bisa lebih dari itu."
"Begitu ya? Namun jika kau ternyata berjodoh, bagaimana?" Tanya Abi Irsyad lagi.
Rumi terkekeh, "Abi tidak bermaksud menjodohkan Rumi dengan Safa kan?" Tanya Rumi yang sudah menangkap itu dari ayahnya.
"Tidak juga sih. Namun melihat tatapan gadis itu seperti sudah lain kepada mu. Abi takut itu akan menjadi masalah untuknya." Jawab Abi Irsyad. "Namun jika suatu saat kau, Abi jodohkan dengan Safa memang mau?"
Pertanyaan Abi Irsyad membuat Rumi tercengang.
"A...aku?" Rumi mendadak gagap, tangannya yang sedang memegang gelas pun gemetaran. Hingga membuat Abi Irsyad menyentuh tangan Rumi.
"Tidak sekarang Rumi, kau masih harus sekolah dan bekerja secara mapan. Baru kau bisa menikahi seorang gadis."
"Abi–" seru Umma Rahma kala itu, membuat Abi Irsyad langsung menoleh sejenak, dan kembali menatap kearah Rumi.
"Safa wanita Soleha kok, dan tidak ada hubungan darah juga dengan kita. Jadi kau bisa menikahinya, jika kamu bersedia." Sambung Abi Irsyad Kemudian sebelum akhirnya beranjak bangun setelah Rahma kembali memanggilnya.
(Flashback is off)
Rumi menghela nafas, sebenarnya. Tidak ada perasaan apapun antara dirinya ke Safa. Apa lagi gadis itu sudah ia kenal sebagai saudara, pasti akan sangat canggung jika tiba-tiba menjadi istri.
Namun waktu masih sangat panjang, hal itu seharusnya tidak perlu terlalu di pikiran saat ini.
Rumi hanya berusaha bersikap dengan baik, dia tidak berani mendahului takdir.
Karena ketika sudah jodoh, mau menolak Seperti apapun? Dia akan tetap menghuni hati kita. Dan Rumi tidak ingin kufur atas itu.
Sebuah dering ponsel membuatnya terkesiap.
Debora memanggil...
Rumi, menghela nafas dia pun hanya mengamati layar itu, tanpa menjawabnya.
Entahlah... Walaupun ada rasa penasaran, kenapa malam ini Debora menelfonnya?
Tapi jika ia terima, itu sama saja ia membiarkan suatu kemada'ratan, terjadi pada dirinya.
Sehingga diam saja sembari menunggu telfon itu berhenti berdering, adalah keputusan bijak baginya. Lagi pula, mau membahas apa?
Dia tidak akan bisa berbicara dengan leluasa bersama Debby.
Dua kali deringan tidak di jawab Rumi. Hingga akhirnya sebuah pesan singkat pun masuk.
Rumi meraih ponsel itu, membukanya, dan membaca isi teks pesannya.
(Kenapa tidak di angkat sih? Aku cuma mau bertanya, apa bulan Syawal harus puasa juga?) Begitu lah isi pesannya.
Rumi membaca itu dengan datar, lalu mengetik sesuatu, setelahnya meletakkan lagi ponselnya dan keluar dari kamar itu.
Sementara yang di Bandung, sudah tersenyum saat mendapatkan balasan dari pria alim pujaannya.
(Puasa Syawal itu Sunnah. bisa menjalankan itu berpahala, tapi kalau nggak juga nggak berdosa. Teruntuk kaum muslimin dan muslimah) balas Rumi.
Debby pun kembali mengetik sesuatu.
(Bgitu ya? oh... Bukunya sudah ku baca, sehari langsung tamat. Hebat kan aku hehehe) balasnya kemudian. Dia pun menunggu lagi, dan tidak ada balasan setelahnya. Debora kembali mendengus.
"Dasar... Sukanya begitu tuh. Untung ganteng." Runtuk Debby kesal.
Sesaat fokusnya teralihkan dengan suara yang lumayan keras, di luar. Sehingga membuat Debora beranjak, dan memutuskan untuk keluar.
Dan benar saja, di sana ia pun mendapati bibinya yang sudah lama menetap di Jakarta. Iya... Bibi Marry, atau sekarang namanya berubah menjadi Maryam.
Wanita beretnis Tionghoa, namun berhijab setelah memutuskan untuk menjadi mualaf. Dia tengah berdiri di depan pintu dengan kado yang tergeletak di bawah kakinya.
"Kembali lah, jangan kau tampakkan wajah mu itu di hadapan kami."
"Koh..? Aku hanya ingin menyambung tali kekeluargaan lagi." Ucapnya lembut, dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tali kekeluargaan? Kau sendiri yang sudah memutuskan itu kan? Dan kau juga yang sudah memilih pria muslim itu? Sekarang apa? Kau pasti mendekati kami lagi karena kau sudah di buang pria itu kan? Karena kau sudah tidak di butuhkannya lagi, dan memilih untuk berpoligami? Cih!" Adik laki-laki dari ayah Debby memakinya.
"Sungguh, koh Antoni. Aku tidak merasa di buang oleh bang Akhri. Aku pun bercerai bukan karena bang Akhri poligami. Tapi karena?"
"Karena apa? Intinya kau itu sudah merasakannya, imbas dari diri mu yang berkhianat pada keluarga ini! setelah bersedia berpindah keyakinan demi pria yang doyan poligami." Cecar Margaretha. Adik dari ayah Debby juga.
"Astagfirullah al'azim, aku masuk Islam bukan demi bang Akhri. Semua karena Kecintaan ku pada Islam."
"tidak usah berkutbah, Pergi sana! Pergi dari sini!" Seru Margaretha, kemudian. Dia sudah sangat membenci adik sulungnya itu, karena akibat dari berpindahnya Merry dari Katolik ke muslim, sang ibu jadi terkena serangan jantung, dan akhirnya tak terselamatkan.
Karena pada saat itu, Merry memberi pengumuman pindah keyakinan ketika tiba malam Natal dan itu pun ia ucapkan di depan semua keluarga besar di bawah pohon Natal, delapan tahun yang lalu.
Debora yang melihat itu, yang berada di tengah-tengah saudara-saudaranya pun hanya tertegun. Ia seolah tengah membayangkan bahwa dia ada di posisinya. Debby menunduk, ia merasa tidak tega dengan tantenya itu.
"Koh Yohan, tuan rumah di sini. Koh Yohan saja menerima ku. Dia sama sekali tak mengusir ku, jadi kalian tidak berhak mengusir ku juga." Tutur Maryam, menatap sendu kearah kakaknya.
"Koh Yohan! Tegas dong, di sini kokoh loh yang paling tua. Merry sudah tidak seharusnya ada di sini. Dia sudah melukai Papih dan Mamih." Ucap Margaret. Pada sosok pria yang hanya menatap tanpa ekspresi ke arah Merry.
"Koh? Kokoh kan sayang sama Merry, kokoh tidak pernah membenci Merry. Merry kesini karena rindu setelah delapan tahun tidak bertemu kalian. Terutama Kokoh." Ucapnya serak dengan tatapan mengiba.
Ayah Debby menyentuh wajah sang adik. "Pulanglah, dan jangan pernah kesini lagi."
Hanya itu yang bisa ayah Debby katakan, lalu membalikkan tubuhnya, berjalan menjauhi kerumunan itu. Sementara Margaretha dan Antoni langsung memaksanya untuk keluar dari rumah itu.
"Tante Maryam." Gumam Debby, tidak tega. Belum lagi dengan bisik-bisik para sepupunya yang seperti mencibir bibinya itu.
Debby pun melangkah masuk kedalam kamarnya, dia merasa sedih karena jika itu terjadi juga pada dirinya, apa dia bisa setegar itu hidup sendirian? Sementara semua keluarga besar mengasingkannya? Debby meraih buku dari Rumi, lalu memeluknya.
"Bagaimana jika Rumi Seperti Om Akhri? Mungkinkah aku bisa bertahan seperti Tante Maryam?" Isaknya lirih, di kamar itu sendirian.
Karena menurut yang ia dengar, pria alim itu banyak yang tidak bisa setia pada satu istri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Ekawati Hani
Owh ini Cece Merr😥
2022-06-04
0
Siti Imro'atin
kok jdi ingat sama Larissa Chou, mualaf yg nikah sama anak ulama terus akhirnya cerai tapi sekarang Larissa jadi wanita yg hebat
2022-02-27
1
Zamie Assyakur
kasian tante Marry.... semoga Debby bisa kuat
2021-09-14
1