Malam ini Shafa baru selesai melaksanakan sholat malamnya. Dia menengadahkan kedua tangannya, berdoa.
Entah apa yang dia panjatkan dalam doanya itu. Yang pasti, ia bahkan sampai menyentuh dadanya, dan genangan air pun menetes di pipi.
Mungkin, semua sebab gejolak di hati yang semakin tak bisa ia kendalikan. Jujur saja, dia takut hal itu akan membuatnya mendapatkan dosa. Namun, memaksa hati untuk berbelok itu tidak mudah. Sehingga diam, dan berserah kepada sang pemilik hati adalah cara dia untuk meredam perasaannya.
Shafa sedikit menghela nafas, lalu mengusap wajah setelah selesai bermunajat.
Sejenak ia berdiri, dengan mukenah masih di pakainya. Berjalan menuju keranjang pakaian di mana ada beberapa tumpukan baju yang baru saja ia setrika.
Dan di tumpukan paling atas, ada sebuah jaket bomber milik Rumi.
Dia menyentuh itu, dan mengusap-usap.
"Aku terlalu memikirkannya, aku takut ini berdosa. Tapi sangat sulit untuk menolak perasaan ini." Gumam Shafa.
Ia menoleh ke arah meja belajarnya, lalu berjalan lagi mendekati meja tersebut. Perlahan ia sentuh handle laci mejanya dan menariknya pelan.
Ia pun mengeluarkan sebuah buku harian dari dalam sana, lalu duduk di kursinya.
Beberapa halaman ia buka, hingga sampailah dia pada sebuah halaman. Dimana terdapat sebuah foto masa kecil, saat tiga orang itu sama-sama belum baligh. Iya, Shafa, Nuha dan Rumi.
Si kembar memang dulu senang sekali jika ada Shafa. Dan mereka akan langsung berebut untuk bermain bersamanya. Seperti di foto itu, saat usai Shafa masih enam tahun, dan dua anak kembar itu masih lima tahun. Kedua tangan Shafa di pegangi oleh mereka.
Karena saat foto dulu, mereka memang berebut untuk duduk di sebelah Shafa. Itu sebabnya Ustadz Irsyad meminta Shafa untuk duduk di tengah, lalu memotret ketiganya.
Shafa terkekeh. Ia menyentuh tulisan di bawahnya.
(Kisah ku di mulai dari teman masa kecil...
Di mana Rumi adalah adik kecil yang cengeng, dan manja. Ia bahkan selalu menangis saat di ejek oleh Nuha, seperti tidak pernah akur saja. Namun, siapa di sangka? dia malah menjelma jadi kakak yang baik hati dan sangat menyayangi saudara kembarnya itu. Satu hal yang membuat ku tertawa jika mengingat masa lalu. Dia selalu berebut mainan dengan Nuha dan melarang sang adik untuk menyentuhnya, namun tidak berlaku untuk ku, dia bahkan dengan sangat senang hati mengizinkan ku untuk menyentuhnya hehehe... Katanya dulu? "Apapun milik Rumi, milik Shafa juga." Menggemaskan kan dia dulu?
Wahai Rumi Al Fatih. Akankah kita juga akan memiliki cerita yang sama persis, seperti kisah Fatimah dan Ali bin Abi Thalib? Di mana mereka adalah teman masa kecil, selalu bermain berdua, selalu bertukar makanan. Hingga mereka pun tubuh menjadi remaja, dan mulai saling membatasi diri. lalu saling jatuh cinta dalam diam, hingga akhirnya menikah?)
"Haruskah berapa lama lagi aku merayu Pencipta-mu, Rumi?" Gumam Shafa.
Dia sadar, jika dia adalah seorang wanita yang hanya menunggu. Bukan seperti pria yang bisa menyampaikan itu jika sudah menyukainya.
"Hah... Aku harus berusaha untuk menahan ini lebih keras. Karena aku tidak mau, hafalan ku hilang karena terlalu memikirkan hal yang haram untuk ku resapi." Gumamnya, dia kembali menutup buku hariannya, lalu meletakkan lagi ke dalam laci.
Sesaat ia mengendus aroma masakan. "Ibu sama ayah sudah mulai menyiapkan hidangan sahur, ya?" Shafa bergegas melepaskan mukenahnya. Lalu berjalan keluar menuju dapur.
–––
Di dapur...
Benar saja, di sana sudah ada Aida dan Ulum.
Sang ayah yang masih mengenakan peci dan sarungnya? tengah sibuk membuat teh hangat, sembari sesekali menggoda ibunya itu, dan dia terkekeh bersama.
Dengan sang ibu yang tengah menumis sayur yang hampir masak di dalam wajan.
Sungguh indah romansa kedua orangtuanya. Walaupun sang ayah bukanlah pria berada, bukan pula pria bergelar Ustadz. Tapi beliau benar-benar pria yang sangat baik, dan Soleh, serta sangat penyayang keluaga.
'ya Rabb, ingin rasanya aku memiliki suami seperti ayah.' Shafa masih tertegun melihat dua sejoli yang sudah tak muda lagi usianya itu.
Ulum mengangkat kepalanya, ketika menyadari ada seseorang di dekat pintu dapur, dia lantas tersenyum pada Shafa yang langsung membalasnya.
"Yah, biar Shafa saja sini." Gadis itu berjalan lalu berdiri di samping ayahnya, hendak mengambil alih pekerjaan Ulum.
"Shafa, bantu siapkan piring saja sini." Titah Aida.
"Sudah biar ayah saja, Shafa terusin ini ya." Ulum melangkahkan kakinya dengan semangat, mendekati rak piring dan meraih beberapa, lalu berjalan lagi menuju meja makan, dan menyerahkan beberapa piring itu kepada Shafa.
"Itu mas, piring sajinya siniin, sekalian." Pinta Aida kepada Ulum yang dengan sigap langsung berjalan menuju rak piring lagi meraih piring saji lalu memegangi piring itu di sebelah Aida.
"Siap nambah ini mah. Baunya enak sekali, harum. kaya yang masak." Ucap Ulum menggoda.
"Kaya yang masak? Maksudnya aku bau bawang begitu." Aida bersungut. Sementara Shafa yang mendengar itu hanya terkekeh.
"Bukan bau bawang. Harum mu itu dengan konteks yang berbeda. Kalo sayur bau bawang, kalau kamu harumnya yang lain. Harum bidadari." Ucap Ulum yang langsung mengundang gelak tawa Shafa dan Aidha.
"Garing banget yah, sumpah." Seru Qoni seraya menguap. dia baru saja masuk ke dalam dapur itu, sehingga membuat mereka yang tengah terkekeh geli semakin tertawa.
Qoni langsung duduk di kursi meja makan, dengan posisi masih sedikit mengantuk.
Ulum Pun berjalan lagi, sembari membawa piring berisi tumisan buncis yang di iris menyerong Seperti cabai.
"Cuci muka dulu sana." Titah Ulum.
"Udah." Jawab Qoni yang sedang merebahkan kepalanya di atas dua tangan yang menyilang di atas meja.
"Sudah cuci muka tapi masih ngantuk sih? Tidur jam berapa semalam, coba?" Tanya Ulum.
"Dua belas hehehe," jawab Qoni.
"Jangan di biasakan begadang de." Kata Ulum lembut.
"Kan ngerjain tugas, yah."
"Tugas apa? Kamu maraton Drama Korea loh semalem." Bantah Shafa, sembari meletakkan sepiring ayam goreng di dekat sayur itu. Qoni yang mendengar itu langsung meletakkan jari telunjuknya di dekat bibirnya.
"Qoni?" Ulum menghela nafas.
"Maaf... Tapi yang penting kan, aku tetap bangun sendiri, tanpa harus di bangunkan." Elak Qoni, membela diri.
"Iya bangun sendiri, tapi Qoni habis subuh langsung tidur lagi tuh, yah." Shafa menjulurkan lidahnya kepada Qoni.
"Dih... Mbak Shafa nih, jadi provokator ya?" Qoni mendelik, sebal. sementara Shafa hanya terkekeh.
"Ckckck... Pantes, setiap ayah pulang dari masjid kamu tidak terlihat, ternyata tidur?"
"Maaf yah. Ngantuk."
"Qoni... Qoni... Kamu tahu kalau waktu selepas subuh tidak baik untuk tidur lagi kan? Apa mau kamu di ceramahi pade Irsyad?"
"Nggak... Nggak... Jangan, nanti nggak selesai-selesai. Pade kalau ceramah lama." Qoni menoleh ke arah Shafa yang masih terkekeh di sebelahnya, lalu melotot jengkel.
"Ya sudah, nanti ikut ke masjid. Nggak ada alasan buat kamu solat di rumah ya."
"Tapi?" Qoni Garuk-garuk kepala.
"Tapi apa? Kamu paling susah buat ke masjid loh." Tukas Aida yang sudah selesai dengan pekerjaannya. Lalu duduk di kursinya.
"Pokoknya ayah nggak mau tahu, kamu harus ikut ke masjid."
"Huh... Iya." Jawabnya malas, lalu melirik ke arah Shafa.
"Semangat ya, adik Soleha ku." Bisik Shafa yang membuat Qoni semakin sebal. Melihat adiknya jengkel, Shafa pun mengusap-usap kepalanya seraya terkekeh, namun hal itu malah justru membuat Qoni semakin tidak suka. "Maaf, jangan ngambek Dede."
"Apaan sih... Males sama mbak."
"Hahaha." Shafa tergelak.
"Sudah... Sudah... Makan yuk, keburu imsyak." Ucap Ulum kepada semua yang ada di meja itu.
Sehingga mereka pun mulai menikmati santap sahur tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
Kasian shafa sbenernya dia suka sm Rumi krna ucapan dan perlakuan Rumi di masa mereka masih anak2, semoga Jodoh yg terbaik ud dipersiapkan Author nya buat Shafa, 🤭
2023-01-07
0
☘️ gιмϐυℓ ☘️
Shafa lagi kena sindrom Cidaha (cinta dalam hati)
2021-09-18
1
Qiza Khumaeroh
kluarga yg harmonis,,🥰🥰🥰🥰🥰
2021-09-12
0