Rumi mematikan mesin motornya, seraya mengucap hamdalah setelah tiba di depan kostnya.
Hari ini cukup lelah, tubuh itu pun sedikit terasa pegal sehingga membuatnya memijat sedikit bagian tengkuk lehernya itu.
"Assalamualaikum, Ustadz–" sapa Amrizal, seraya menepuk bahu pria yang masih betah duduk di atas motornya, pelan.
"Walaikumsalam warahmatullah. Jangan panggil Ustadz lah A'... Saya bukan Ustadz." Terkekeh.
"Yang penting, situ anak Ustadz yang bisa dakwah, apa bedanya itu. Sama-sama Ustadz kan? Hahaha." Rizal tergelak, sama halnya dengan Rumi yang hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum.
Sesaat pandangan matanya teralihkan dengan bungkusan kantong keresek berwarna putih yang berada di tangan Rizal, di tambah dengan aroma yang sedikit tercium gurih dari dalam bungkusan tersebut.
"Naon eta?" Tanya Rumi yang mulai paham sedikit bahasa Sunda.
"Bala-bala*... Sok lah makan sama-sama, beli banyak ini." (Bakwan)* ajak Rizal sembari mengangkat kantong plastik di tangannya itu.
"Wah... Alhamdulillah, rezeki. Kebetulan lagi bingung mau makan apa?" Rumi terkekeh.
"Nah.. ayo, itu anak-anak udah kumpul di kamar Irfan, di tambah lagi Riski bikin sambal bawang, kita mau makan sama-sama."
"Wuidih... Mantap." Jawab Rumi yang bergegas turun dari motornya, "ayo lah jalan, keburu lapar ini."
"Situ kalo urusan makan cepet ya Tadz."
"Nggak lah A'... Nggak salah. Hahaha." Jawab Rumi yang langsung melangkahkan kakinya masuk sembari tertawa bersama.
–––
Di depan kamar Irfan.
"Assalamualaikum–" sapa Keduanya.
"Walaikumsalam warahmatullah." Jawab empat orang yang ada di dalam kamar tersebut. Dimana, se-cobek sambal bawang dan nasi dalam teflon rice cooker yang sudah di keluarkan dari wadahnya, telah siap di hadapan mereka yang duduk setengah melingkar sembari mengobrol riang, menunggu Rizal yang tengah membeli gorengan tersebut.
"Masuk... Masuk yuk." Ajak Irfan yang langsung bergeser memberi ruang pada dua orang itu.
Sementara Rumi langsung melepaskan jaketnya masuk ke dalam lalu duduk bersila.
"Ustadz, bagaimana kajiannya?" Tanya Riski, dengan tangan meraih bungkusan gorengan lalu memindahkannya ke piring. Sementara Rumi langsung terkekeh karena panggilan ustadz tadi.
"Alhamdulillah lancar, walaupun masih deg degkan."
"Tapi ustadz, itu udah lumayan bagus kalo kata saya. Ketimbang kita yang malah jadi lupa ayat." Terkekeh.
"Sama, saya juga kadang lupa ayat, karena gugup. Tapi emang harus di latih sih." Jawab Rumi.
"Tapi yang penting Ustadz Rumi keren lah." Tutur Ujang memberi pujian.
"Haha... kenapa pada jadi manggil Ustadz gini sih? Saya bukan Ustadz, cuma mahasiswa biasa, belum pantas punya gelar Ustadz." Jawab Rumi, sembari meraih gelas kosong yang terulur dari tangan Irfan. "Makasih Fan." Ucap Rumi kemudian pada Irfan, beliau pun langsung menuangkan air ke dalam gelasnya.
"Apalah itu, intinya kau pendakwah. Hehehe. Sini ku cium tangan mu biar dapat berkahnya." Ledek Ujang. Yang memecah gelak tawa di sana terlebih saat tangan itu hendak meraih tangan Rumi, yang langsung menepisnya sopan.
"MashaAllah, jangan gitu lah teman-teman. Kan nggak enak." Terkekeh.
Di samping keseruan itu, seorang pria lain berdeham. Lalu memberanikan diri untuk membuka suara.
"Kak Rumi," panggilnya. Rumi pun menoleh, sembari meredam tawanya. "aku kemarin sudah ikuti saran mu." Tutur Jimi salah satu yang ada di sana.
"Saran yang mana tuh?" Tanya beliau, lalu menenggak air putih dalam gelasnya setelah membaca bismillah terlebih dahulu.
"Yang waktu itu. Tentang bimbangnya saya antara masih sambung pacaran atau nggak." Jawab Jimi.
"Alhamdulillah..." gumam Rumi, sembari menurunkan gelas itu lalu kembali menoleh ke arah pria bernama Jimi itu. "oh... lalu?" Tanya dia kemudian.
Semua yang ada di sana pun hening, hanya tersisa suara piring yang sedang di bagi oleh Irfan ke hadapan masing-masing temannya.
"Iya...setelah berminggu-minggu merenung? Akhirnya ku putuskan untuk berpisah dengan kekasih saya." Jawab Jimi, lima orang di hadapannya pun masih fokus menatap pria paling muda di antara gerombolan pria tersebut. "Dan saya berjanji pada diri saya sendiri. jika kita berjodoh, maka akan langsung saya temui orang tuanya, dan saya lamar setelah lulus dari ITB ini."
"MashaAllah... Allahu Akbar.... Tabarakallah... Tabarakallah." Seru semua yang ada di sana, lalu menepuk-nepuk seraya memeluk, ada yang mendorong bahu Jimi juga. Sementara yang lain memberikan bakwan mereka ke piring Jimi. Membuat pria itu tertawa malu-malu menerima lima buah bakwan di atas piringnya.
"Barakallah... Pilihan bijak, baguslah. semoga lancar, dan Allah meridhoi ya." Ucap Rumi.
"Aamiin Kak." Terlihat mata itu berkaca-kaca saat mengucapkan itu. Dan berharap apa yang ia ucapkan dan dia niatkan bisa benar-benar terwujud.
"Nih... Nih... Buat yang udah berani duluan punya niatan menikah muda." Rizal meletakkan beberapa centong nasi ke dalam piring Jimi.
"Udah A' itu kebanyakan." Jimi terkekeh karena nasi yang menggunung di piringnya, belum lagi bakwan yang banyak dari teman-temannya itu.
"Hei... Biar kuat menghadapi cobaan hijrah. Hahaha." Jawab Rizal yang di sambut gelak tawa mereka yang ada di sana.
Teman satu kost Rumi memang rata-rata pemuda hijrah, yang keseharian mereka lumayan kental dengan agama.
Itu sebabnya Rumi cukup betah dan beruntung bisa bertemu dengan teman-temannya itu. Dimana mereka rutin melakukan istigosah setiap Kamis malam, tilawah Al Qur'an, dengan memurojaah surat Al Kahfi bersama-sama. Belum lagi dengan mentoring rutin setiap malam Minggu, dimana mereka bergilir untuk bertukar materi agama yang mereka ketahui. Dan bersolawat bersama di Minggu malam selepas bermain futsal.
Bukankah itu yang perlu kita lakukan ketika berhijrah? yaitu memiliki geng yang isinya sama-sama orang berhijrah. Agar masing-masing bisa saling menguatkan iman dan mengingatkan ketika iman mulai turun.
Ya... Iman manusia itu sejatinya, sudah seperti baterai yang mudah drop setiap menitnya, itu kenapa kita harus memiliki sahabat dengan iman yang sama-sama kuat, minimalnya. Paling tidak, kita masih punya tempat mecharger iman.
Untuk menjaga Hidayah yang kita dapatkan dari Rabb kita. Karena dalam berhijrah, yang paling sulit adalah istiqomahnya. Mempertahankan agar iman itu tidak goyah.
seperti janji iblis kepada Allah. Bahwa dia tidak akan berhenti merusak iman anak cucu Adam hingga hari kiamat untuk seluruh umat manusia, dan hingga manusia itu bertemu pada ajalnya. Kecuali satu, manusia yang memiliki sifat Mukhlas (hati yang benar-benar ikhlas, mencintai dan mengimani Allah dan RosulNya, menjadikan Al Qur'an dan hadist sebagai pedoman hidup. Dengan misi menjalankan rukun Iman dan islam dengan sempurna dari hati. Sehingga Dunia di pandangannya tidak lebih dari seujung kuku.)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Nina Maryanie
mampir lagi di cerita Rumi..aku jarang komen novel sebelum nya..soal nya bagus banget..mau alur bagaimana terserah author aja lah walau kecewa ma yang cerita rumi
2023-02-14
0
Ekawati Hani
Aku mampir Thor, penasaran sama kisah tentang Rumi. setelah baca novel tentang ustad Irsyad dan Rahma, aku baca novel Cece Merr, dan disana diceritakan kalau ustad Irsyad ziarah ke makam Rahma😭 ternyata Rahma Telang berpulang di novel tentang Rumi.😭
2022-06-04
0
Ekawati Hani
🤣🤣🤣karena Rumi tinggal dilingkungan Sunda jd cepet bisa.
2022-06-04
0