Pencicip Emosi
Udara tipis mengalir dari arah punggungku, menyentuh bahu dan mengalir melewati sela-sela lengan. Aku bisa merasakannya, cukup dingin hingga membuat sendiku bergetar. Langit gelap memang sudah sewajarnya membuat temperatur udara menurun.
"..."
Tapi ... Akan tetapi ... bukan itu penyebab utama tubuhku bergetar sekarang.
Di lorong kosong, aku duduk bersimpuh dengan seorang gadis di pangkuanku. Matanya bersinar berwarna hijau, rambutnya perak menyilaukan, dan pakaian berjubah unik dengan beberapa aksesoris cahaya di berbagai tempat.
Ivan ....
Gerak gadis itu terbata-bata, cahaya matanya meredup, warna rambutnya mulai menggelap. Aku merasakan gelombang emosi mengalir begitu pekat.
Aku ... takut.
Tangan kanannya terangkat setinggi dadaku, sangat pelan dan terasa menyakitkan hanya dengan melihatnya. Tenaganya begitu lemah untuk melakukan satu gerakan tersebut.
Telinga berdengung, jantung terpacu, tubuh menggigil, dan dada tertekan. Emosi yang dikeluarkan gadis membuatku ingin memeluknya dengan erat. Menghiburnya agar dia bahagia, menyelamatkannya dari segala penderitaan.
Aku menggenggam tangan itu dengan lembut, menyambut permintaan tolong yang dia keluarkan.
"Tenang ... aku di sini," kataku padanya dengan berat.
Aku ada di sisinya, aku tahu penderitaannya, aku tahu apa yang dia rasakan. Tapi, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya.
Ivan ... kamu ada di mana? Aku tidak bisa melihatmu ....
Gelombang emosi terus berlanjut, ketakutannya meledak memenuhi tubuhku. Wajah dan tubuhnya berhenti bergerak, yang bisa kurasakan hanyalah suara hatinya.
"Lia ... aku ada di sini."
Ivan ...? Ivan ... aku tidak bisa mendengarmu ....
Responsnya tubuhnya semakin lemah. Bahkan sekarang aku mulai merasakan gelombang emosi di tubuhnya mulai lenyap.
"Lia ... Lia ...."
Cahaya matanya hilang, begitu pun dengan warna rambutnya. Kristal di pakaian yang berwarna biru pun kini menjadi kelabu. Tenaga di tangan Lia hilang, perlahan jatuh meninggalkan genggamanku.
"..."
Gelombang emosi hilang, suasana malam kembali lepas dari pekatnya emosi yang keluar. Sekarang hanya ada suara serangga dan cahaya bulan. Tapi ....
Sakit.
Dadaku terasa sakit, benar-benar sakit. Seperti ada yang menusuk dan mencoba mencungkilnya keluar. Perasaan emosi yang kurasakan darinya digantikan oleh emosi lain. Sesuatu yang baru kali ini kurasakan. Emosi negatif yang benar-benar berasal dari tubuhku sendiri.
Gigiku menggeram, merasakan kekesalan karena sadar akan begitu tidak bergunanya diriku. Mataku mulai menutup, menahan kesedihan agar tidak keluar lebih jauh lagi.
Lia ... aku bersumpah akan menyelamatkanmu. Dengan seluruh kemampuanku, dengan semua tekad dan perasaan yang kurasakan sekarang.
Tidak peduli berapa lama ....
Tidak peduli berapa keras ....
Biarpun seluruh dunia berpaling memusuhiku.
Biarpun aku harus mengotori tanganku.
Mengorbankan seluruh yang kumiliki.
Aku ... Aku ....
Aku tidak akan memaafkan diriku sampai bisa menyelamatkanmu.
*****
Emosi adalah perasaan intens yang ditunjukkan kepada seseorang atau sesuatu, reaksi terhadap seseorang atau kejadian. Hal yang paling umum dari emosi adalah senang, marah, dan sedih. Tapi, tentu saja masih banyak yang lain.
Aku tidak tahu pasti alasan emosi itu ada, mungkin itu adalah salah satu bentuk telepati yang dimiliki demi meraih simpati pada setiap individu. Dengan adanya emosi, kita punya kemungkinan memberi tahu dan mengerti perasaan yang dimiliki satu sama lain.
Telepati. Bukan rahasia lagi kalau emosi itu bisa menular. Paling mudahnya adalah menguap, emosi itu bisa menular pada orang di sekitarnya untuk menguap juga. Tapi, penularan ini bukan lewat mata maupun pendengaran. Orang yang memiliki kebutaan pada matanya masih bisa membalas senyum orang lain, itu artinya emosi menyebar dari sesuatu yang berbeda di luar indra biasa.
"Van ... aku boleh lihat tugas matematika?" tanya salah satu teman sekelasku dari dalam kelas.
Aku sekarang sedang berdiri di gedung lantai dua. Menaruh lipatan tangan di dinding tembok pembatas yang langsung mengarah ke pemandangan luar. Menikmati angin dan menjauh dari orang-orang di dalam.
"Kenapa gak kerjain sendiri?"
"Ahahaha ... kemarin aku sibuk kerja kelompok. Aku sudah kerjain sebagian, tapi bukunya ketinggalan."
Asam.
Rasa tersebut menyebar di mulutku. Seakan dijejalkan asam jawa yang tercampur tanah, aku mendapat sinyal dari emosinya.
Heh, dasar pembohong. Aku yakin kalau orang ini hanya menghabiskan waktunya untuk bermain game. Dia tidak mengerjakan tugas hanya karena tahu kalau dia punya orang untuk dia salin tugasnya. Dengan kata lain, dia memanfaatkanku.
"Ambil saja di meja, jangan disamain semua."
"Sip ... aku ambil kalau begitu. Makasih Van."
Gurih.
Mendengar jawabanku, dia cukup senang dan bersemangat. Aku bisa merasakannya dengan menyadari rasa asam yang mulai hilang, digantikan dengan sesuatu yang mengarah ke gurih.
Namaku Kaivan. Aku orang yang bisa membaca pikiran ... atau lebih tepatnya merasakan emosi. Sesuai dengan arti katanya ... 'merasakan', yang berarti mencicipi dan tahu rasanya. Sebuah kemampuan yang unik, tapi sangat mengganggu. Aku sendiri sangat membenci kemampuan ini. Itu karena ....
Gkhah!?
Pahit.
Sesaat rasa itu muncul dimulutku bersamaan dengan rasa terkikis. Itu adalah emosi ketika ada orang yang menghinaku.
Melihat orang di sekeliling untuk mencari penyebab rasa tersebut, dan yang kutemukan hanyalah siswa tadi. Dari radius ini, cuman orang itu yang bisa memberikan efek tersebut.
Dasar tidak tahu diuntung. Jika kau ingin merendahkanku, jangan bergantung padaku.
Rasa pahit barusan datang karena siswa yang barusan menertawakanku di dalam hatinya, bangga karena bisa menipu dan membohongiku. Perasaan negatif yang walaupun sebentar akan terasa olehku. Inilah kenapa aku membencinya.
Jika teman sakit, aku juga ikut sakit. Jika teman sedih, aku juga akan sedih. Jika teman marah, aku malah mendapat kesakitan. Semua emosi itu bisa kurasakan dengan lidah dan seluruh kulitku.
Ketika aku dimanfaatkan, ketika aku dibohongi, ketika aku dikendalikan. Aku tidak punya pilihan selain harus menerimanya. Jika aku menolak, emosi negatif akan muncul dari orang-orang tersebut dan membuatku merasa lebih sakit.
Inilah kenapa aku menjadi babu dari semua orang di dunia.
Lalu ... bagaimana dengan perasaan positif?
Hah, itu semua tidak ada.
Jika ada salah satu teman yang mendapatkan kebahagiaan. Aku mungkin bisa merasakannya, tapi itu hanya sesaat. Rasa gurih dan lezat dirasakan ketika orang memiliki emosi senang. Tapi, perasaan negatif jauh lebih hebat menutupi itu semua.
Orang yang mendapat pencapaian akan memiliki perasaan sombong. Rasanya tidak enak, seperti makan rumput dan mengunyah selulosa keras. Belum lagi orang di sekitarnya, mereka akan memiliki rasa cemburu pada orang tersebut. Rasanya menyakitkan seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum kecil.
Jika aku harus bilang, perasaan negatif yang dicampur dengan positif, hasilnya akan negatif. Negatif dikali dengan positif hasilnya negatif, rasa enak dilidah tertutupi oleh rasa sakit dari emosi negatif, mereka jauh lebih kuat.
Waktu istirahat hampir habis, siswa-siswa mulai bergantian masuk ke kelas. Aku sendiri tetap di luar bertengger di tembok lorong balkon, bertahan sampai menit terakhir guru berjalan ke kelasku.
"Ivan ..." panggil seseorang yang berbeda dari samping, "kamu sendiri saja."
Aku sendiri karena aku memilih untuk sendiri. Kekuatan ini membuatku sangat sensitif dengan keramaian.
"Kamu juga ngapain ke sini?"
Orang tersebut adalah Farrel. Teman laki-laki satu-satunya yang paling dekat denganku. Kami sudah saling kenal dari SMP dan kebetulan kembali satu kelas tahun ini.
Dari semua orang yang kukenal, dia adalah orang yang polos dan sangat jarang berpikiran negatif. Itulah sebabnya aku bisa merasakan kenyamanan dengannya. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu, mungkin karena dia bodoh dan tidak sempat berpikir buruk.
"Biasa saja. Memang spot-ku di sini setiap hari, 'kan."
"Kali-kali gabung begitu, sama anak-anak lain."
Tidak. Itu neraka bagiku. Kemarahan mungkin akan tersulut jika aku terus berada di area penuh emosi itu.
"Aku sendiri karena aku mau sendiri, kapan kamu bisa ngerti, ha?"
Bahkan, jika orang-orang dari dalam kelas muncul mengerumuniku sekarang, aku akan pergi mencari tempat lain untuk menyendiri. Deteksi emosi yang kumiliki memang memerintahkanku untuk menjadi penyendiri.
"Ehehe ... aku memang gak bisa ngatur sih ...," ucap Farrel sambil ikut bersandar di pagar dinding balkon di sampingku, "tapi, Van. Katanya kamu bakal gantiin Nadya buat bersihin aula? Itu bener?"
Aku sedikit terkejut dengan ucapan Farrel, karena informasi itu benar.
"Dari mana kamu tahu?" tanyaku yang sedikit penasaran bagaimana cara dia mencari fakta itu.
"Semua di kelas juga tahu. Nadya orangnya memang begitu, jangan kamu kasih manja, nanti malah keterusan."
Kurasa sudah terlambat, bukan hanya dia yang kumanjakan. Beberapa orang termasuk laki-laki sudah kuberikan bantuan gratis. Untungnya di antara mereka semua tidak ada yang meminta uang jajanku.
"Biar saja. Aku juga gak ada kerjaan lain."
"Nadya juga harusnya bisa kerjain, malah memang tugas dia jadi anggota OSIS."
Tentu saja aku tahu, dia memanfaatkanku. Mungkin alasan sebenarnya adalah dia ada kencan dengan seseorang atau alasan kekanak-kanakan lainnya. Di saat dia menjelaskan situasinya, aku bisa merasakan rasa kebohongan.
"Gak apa-apa, Rel. Beresin aula paling setengah atau satu jam juga beres."
"Ck ... kapan kamu berubah. Mengalah memang bagus, tapi kamu juga harus pikirin diri kamu sendiri kalau mau selamat."
"Hehe ... bukannya kalau aku bantu orang kayak gini aku bakal disukain sama banyak cewek."
"Enggak, itu gak mungkin. Cewek itu mengerikan, kalaupun kamu bisa punya pacar pakai cara begitu, kamu cuman jadi pesuruh dan sumber uangnya saja."
Geh ....
Aku tahu kalau hal itu tidak mungkin, ucapan tersebut juga separuhnya adalah candaan. Tapi, Farrel yang menjawab dengan serius seperti itu malah membuatku terlihat semakin menyedihkan.
Kring, kring ...
Bunyi bel sekolah yang menandakan waktu istirahat berakhir. Mendengar itu, semua murid pun masuk dan mengikuti pelajaran selanjutnya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
Dalvi Leonel
ini ceritanya bagus
2022-10-17
0
Alesa12ч
bagus
2019-12-31
0
Aden Yudistira
Terbaca 1
2019-10-26
2