Tali serat cahaya, berwarna putih bersinar silau membelit tubuh gadis di depanku. Tidak ada pengaitnya, tidak ada pengendali yang benar-benar tersambung dengan serat cahaya itu. Mereka hanya melayang dan mengangkat gadis tersebut ke udara.
Amalia memejamkan mata di depan gadis itu, terlihat kalau dia sedang berkonsentrasi terhadap apa yang dilakukannya. Dengan jubah berwarna putih dan sebilah pisau di genggamannya, dia melakukan sebuah ritual yang pengambilan mana.
Gadis yang diambil mana-nya adalah si anggota OSIS di aula waktu itu. Karena kedatanganku, ritual pengambilan itu terganggu dan membuatnya gagal. Kali ini kami memanggilnya ke belakang gedung kelas dua saat istirahat berlangsung, mengulangi apa yang Amalia lakukan sebelumnya.
“...”
Amalia mulai membuka matanya. Posisi tangan yang mulanya memegang pisau dengan kokoh kini berubah.
“Sudah Selesai?” tanyaku yang sejak dari tadi bersandar di dinding.
Setelah menyarungkan pisaunya, Amalia pun mengangguk sekali padaku. Diikuti dengan cahaya sihir yang hilang, kini aku bisa merasakan gelombang emosi tak normal mulai lenyap.
Bagaimana menurutmu?
Tulis Amalia di buku catatan yang kemudian ditunjukkan padaku.
Hmn ....
“Entahlah, rasanya masih sedikit aneh.”
Masih aneh bagaimana?
“Hidup normalku tiba-tiba didatangi oleh misi menjadi pengumpul mana. Aku masih sehat buat gak terima ini bulat-bulat. Aku tahu kalian gak bohong dari awal, tapi tetap saja rasanya aneh.”
Seperti menerima pelajaran yang banyak sekaligus di hari yang sama. Biarpun aku berhasil melakukan itu, ada perasaan kalau pelajaran yang kuterima terlalu banyak. Seperti rasa lelah di kepala yang termampatkan.
Tapi, bukannya kamu bisa baca pikiran? Itu kan kemampuan ajaib yang mirip kayak sihir barusan.
Lebih tepatnya adalah merasakan emosi, aku tidak benar-benar bisa membaca pikiran orang. Bukankah kemarin sudah kuberi tahu.
“Aku sudah punya kemampuan itu dari kecil. Di sudut pandangku, kemampuan itu terasa normal. Yang terasa aneh bagiku itu, kenapa kalian semua gak bisa rasain gelombang emosi orang-orang.”
Amalia tidak menjawab, dia melihatku beberapa detik setelah kalimatku keluar. Aku bisa merasakan emosinya, dia mulai berpikir dan memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan ini.
Hah ....
Satu hari berlalu semenjak Amalia membawaku ke tempat Pero. Waktu itu aku sudah menjelaskan semua yang kutahu pada wanita gagak itu. Tentang kekuatanku yang bisa merasakan emosi, dan tentang perasaan aneh yang kurasakan ketika bertemu Amalia di aula.
“Hmn ....” Pero berdengung lagi, terlihat kalau dia sedang mencerna situasiku baik-baik.
Aku menceritakan semua kemampuanku, tentang bagaimana aku merasakan dunia, tentang bagaimana aku mendapat rangsangan emosi orang lain.
“...”
Amalia di sudut ruangan mulai mendekat, menunjukkan catatannya untuk bertanya padaku.
Apa kamu bisa membaca pikiranku?
“Enggak, aku gak bisa tahu isi hati orang lain. Yang bisa kurasakan cuman emosi. Kemampuan untuk memberi tahu suasana hati seseorang.”
“Benar ... tidak salah lagi. Kekuatan itu berasal dari kami para animus,” kata Pero menanggapi pembicaraanku. “Kamu yakin kalau kamu tidak kenal animus di sekitarmu? Bagaimana dengan orang tuamu?”
“Orang tuaku ... orang tuaku tidak diketahui.”
“...”
Kedua perempuan di depanku memiringkan kepalanya, ekspresi bingung mereka tunjukkan setelah mendengar ucapanku.
“Apa mereka sudah mati—”
“...!?”
Amalia memotong kalimat Pero, dia menghalangi dan memotong pandangan antara aku dan Pero.
“Hn?”
Dilanjut dengan Amalia yang menunjukkan catatan pada Pero, karena posisinya membelakangiku, aku tidak tahu apa yang dia tulis. Namun, emosi yang dia pancarkan sangat jelas. Dia menahan diri agar tidak menyakiti perasaanku dan menyuruh Pero memperhalus perkataannya.
“Entahlah, aku gak tahu mereka mati atau belum. Aku cuman tahu kalau orang-orang di sekitarku gak mau kasih tahu tentang itu.”
Tapi, aku memilih melanjutkan percakapan, aku tidak tersinggung dengan pembicaraan seperti itu sama sekali, logikaku lebih kuat untuk tidak mengedepankan emosi manja tersebut.
Pero mulai mengintip dengan memunculkan wajahnya dari balik tubuh Amalia, dia mengabaikan gadis bisu itu untuk melanjutkan obrolannya denganku.
Amalia yang merasakan tekanan akhirnya menyamping untuk berhenti menghalangi aku dan Pero bertatapan.
“Bukannya kau dan Amalia itu seumuran, manusia masih butuh induknya sampai mereka benar-benar dewasa, bukan? Lalu kau tinggal dengan siapa?”
“Orang dewasa yang tinggal bersamaku tidak tahu apa-apa tentang kekuatanku. Biarpun aku memberi tahu, tidak ada yang percaya.”
Daripada aku dianggap orang aneh, aku lebih baik tidak menceritakannya. Aku benci disamakan dengan orang indigo dan para cenayang yang mengaku bisa melihat hantu.
“Kalau begitu aku memang tidak bisa menjelaskan asal kekuatanmu, Kaivan. Tapi, mendengar dari apa yang kamu jelaskan, aku sudah tahu penyebab terisapnya mana milik Amalia.”
Kau mengerti? Aku bahkan tidak bisa melihat benang penghubung antara kasusku dengan kejadian Amalia di aula waktu itu.
“Singkatnya, ada gaya tarik di tubuhmu. Cara kerja pembaca emosi seharusnya adalah mengalirkan emosi mengelilingi si pembaca, lalu dilanjut keluar. Tapi, karena ada kejanggalan di emosimu, cara kerja itu berubah. Yang seharusnya mengalirkan malah menjadi mengisap.”
Aku mengerutkan wajah, memandang sipit ke arah Pero.
“Jadi, bagaimana cara biar bisa kembaliin mana Amalia?”
Tanyaku pada wanita tersebut. Aku tidak ingin membuang waktu, cepat katakan dan buatlah aku bebas dari kalian semua.
“Tentu saja dengan mengobati luka di hatimu.”
Luka?
“Apa maksudnya?”
Mengobatiku? Aku tidak merasa sakit sama sekali.
“Amalia ... kau saja yang jelaskan.”
“...”
Amalia di samping mulai maju, dia membalik halaman baru di catatannya untuk menulis tema baru.
Mengobati luka artinya membuat orang itu bisa mengeluarkan mana. Mereka yang terobati akan bisa diambil perasaannya agar bisa menjadi sumber sihir animus.
“Aku masih gak ngerti. Jelaskan padaku dengan cara yang mudah dimengerti.”
Mana berasal dari perasaan kuat manusia. Salah satu puncak dari perasaan itu adalah ketika manusia terbebas dari masalah yang menekannya.
Amalia mulai membalik catatannya, menulis lanjutan dari penjelasan tersebut dan kemudian menunjukkannya kembali padaku.
Kaivan, apa kamu punya masalah yang gak bisa kamu selesakan? Masalah besar yang membuat kamu tertekan? Bisa saja itu adalah hal yang menjadi sumber lukamu.
“...”
Aku mencoba berpikir ke belakang, melihat diriku dan kehidupan yang kulalui. Mencari letak masalah yang mungkin menjadi jawaban dari pertanyaan Amalia.
Heh ....
Tentu saja ... jawabannya sudah jelas.
“Entahlah, aku gak bisa bilang.”
Amalia terdiam, dia tidak bisa menjawab pernyataan yang kuberikan. Dengan wajah setengah berpikir, dia berbalik melemparkannya pada Pero di belakangnya.
“Hmn? Apa artinya kamu sendiri gak tahu apa penyebab hatimu terluka? Apa kau yakin tidak punya bayangan tentang itu?”
Sebenarnya bukan itu. Untuk beberapa alasan aku tidak ingin memberi tahu mereka. Masalah yang kuhadapi cukup rumit, aku tidak ingin orang lain ikut campur dalam urusan ini.
“Yah ... kira-kira seperti itu. Memangnya dari mana kau bisa yakin kalau hatiku terluka?”
“Aku bisa merasakannya .... Ada kejanggalan di hatimu. Tapi, jika kamu membantahnya, aku bisa saja salah. Pada akhirnya aku hanyalah animus yang tidak tahu isi hati manusia.”
“...”
Aku masih tidak mengerti apa yang wanita itu bicarakan. Banyak sekali yang ditimpakan padaku secara tiba-tiba. Jika aku bertanya lebih banyak, pembahasan ini malah semakin membingungkan. Jadi, aku ingin mempercepat prosesnya.
“Apa ada cara lain untuk mengembalikan mana punya Amalia?”
“Tentu saja. Masih ada cara lain, dan yang ini adalah cara yang paling aku rekomendasikan.”
Alisku bergidig mendengar perkataan itu.
“Terus kenapa gak bilang dari awal?”
“Itu karena secara tidak langsung kamu akan terlibat ke dalamnya.”
Ah ... aku merasakan hal yang merepotkan akan datang.
“Solusi lainnya ... kamu hanya perlu menghisap mana lagi. Jika jumlahnya sudah cukup, suatu saat tubuhmu juga akan penuh dan mana milik Amalia bisa keluar dengan sendirinya.”
Heh? Apa itu? Jadi, kau ingin mengeluarkan air di gelas dengan memberinya air lagi?
“Bukannya itu malah lebih sulit? Kalau itu dilakukan, lebih banyak mana terbuang daripada yang keluar?”
Aku tidak tahu berapa banyak mana untuk mencapai titik tersebut. Melihat tindakan Amalia sewaktu mana-nya tercuri membuatku merinding. Apa benar tidak apa-apa kalau aku mengambilnya lagi?
"Terbuang? Tidak ... sepertinya kamu salah sangka. Mana yang terhisap ke tubuhmu akan ikut keluar bersama dengan mana punya Lia. Hmn ... bagaimana aku menjelaskannya.”
Pero kembali melemparkan penjelasan tersebut pada Amalia. Gadis tersebut menangkap jelas sinyal dari Pero, dan dengan cepat dia menulis sesuatu di catatannya.
Itu sama seperti mengeluarkan air di dalam telinga dengan cara memasukkan air lagi. Keduanya akan keluar bersamaan.
“...”
Baiklah ... aku tidak mengerti cara kerjanya, tapi entah kenapa aku mengerti maksudnya. Lagi pula hal tersebut tidak bisa dijelaskan dengan logika. Lebih baik aku abaikan saja bagian membingungkannya.
“Jadi, untuk lebih jelasnya, apa yang harus kulakukan?”
“Kau hanya perlu ikut membantu Amalia mengumpulkan mana. Kalian bisa jadi partner ... ah, tidak, kamu sebenarnya tidak perlu ikut bekerja. Cukup ikut bersama Amalia ketika pengambilan mana dilakukan. Jadi, untuk sementara kamu adalah wadah mana pengganti botol.”
Itulah ceritanya bagaimana aku bisa menjadi pembantu Amalia.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
Karel Leven🍇
bingung Thor bacanya,,, me pusing,, mungkin lebih jelas ngapa Thor, jadi lebih mudah dicerna otak ku ini
2021-04-22
0