Kalau tidak salah itu terjadi waktu aku masih SMP, kejadian kejam di mana aku merasakan rasa sakit akibat gelombang emosi. Ketika aku menyeberang jalan raya, ada sebuah kecelakaan yang terjadi antara kedua pengendara motor. Salah satu pengendara yang menggunakan motor besar terjatuh dan tertimpa oleh motornya sendiri. Akibatnya tulang bahu dan kakinya patah.
Sayangnya orang tersebut terseret hingga tepat di depanku. Dengan katalis emosi negatif orang di sekitar, aku mendapat sensasi kepala ingin meledak waktu itu. Salah satu yang paling kuingat adalah teriak kesakitannya si pengendara. Menggelegar dan searah dengan gelombang emosi yang dia keluarkan.
Karena kekuatan ini, aku bisa merasakannya. Rasa sakit yang sama atau bahkan lebih dari pengendara itu. Sensasi kepala terbakar, urat-urat wajah mengeras, mata tertusuk-tusuk, sangat sakit hingga aku ingin memukul kepalaku sendiri.
Sungguh pengalaman yang mengertikan, aku berharap untuk tidak pernah mengalami hal serupa lagi. Bisa-bisa mentalku terganggu dan sarafku akan baal terhadap rasa sakit. Namun, siapa sangka hal ini bisa terulang kembali akibat satu gadis yang sedang menstruasi.
“...”
Waktu sekolah selesai. Sekarang aku dan Amalia ada di perjalanan menuju tempat Pero. Ada hal yang ingin kutanyakan padanya. Masih ada penjelasan tentang kekuatan Amalia sebagai users yang mungkin akan membantu. Selain itu, aku juga ingin dengar pendapatnya tentang kasus bullying. Dilihat dari penampilannya, aku kira Pero lebih pintar dan bijaksana daripada Amalia.
Aku berjalan di belakang Amalia, dan jarak kami cukup jauh. Bukan tiga atau lima meter, melainkan lebih dari lima belas meter. Di jarak tersebut aku tidak akan merasa kesakitan berlebih oleh gelombang emosinya.
Hn?
Amalia menghentikan langkahnya, dan aku pun ikut berhenti. Gadis itu berbalik ke belakang melihatku. Dari ekspresi yang dia buat, dia sepertinya menungguku mendekat agar bisa berjalan berdampingan.
“...”
Tapi, AKU MENOLAK ...!!
Aku benar-benar tidak menginginkan gelombang emosi waktu itu terulang kembali. Hal yang terjadi waktu istirahat hari ini cukup mengukir trauma baru di ingatanku.
“Kalau kamu gak maju, aku gak bakal maju. Jalan yang cepat biar cepat sampai,” kataku dengan suara lebih keras.
Mendengar itu, Amalia kembali melanjutkan jalannya. Aku di belakang juga ikut mengikuti.
Hn?
Tapi, hanya sekitar tiga langkah dan kembali berhenti. Selanjutnya dia berbalik untuk melihatku lagi, yang tentu saja aku di belakang juga ikut menghentikan langkah.
Amalia terlihat menulis di catatan kecilnya. Dia membuat gelagat bingung dengan menaruh pulpen di kepala, seperti berusaha mengeluarkan ide dari dalamnya. Setelah beberapa detik berlalu, akhirnya dia menaruh pulpen sambil mengangkat catatan itu tinggi-tinggi.
“...”
Tapi, percuma.
“Aku gak bisa baca. Kalau kamu mau angkat catatan begitu, pakai font di atas enam puluh dan kertas seukuran spanduk biar jelas.”
Mendengar perkataanku, gadis itu pun menurunkan tangannya. Ia kembali berpikir sambil menggeleng-geleng melihat ke sekeliling.
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, kemampuan pembaca emosiku terasa bias pada jarak ini. Walaupun sedikit penasaran, aku tetap tidak berniat untuk mendekat.
Beberapa kali dia berlarian ke segala arah. Awalnya aku kira dia melanjutkan perjalanan, tapi karena dia kembali berbalik, aku pun ikut mundur beberapa langkah mengikutinya. Hal ini membuatku terlihat konyol karena melakukan gerakan maju mundur mengikuti posisi Amalia. Tapi, aku menyadari pola gerakan itu dan berhenti mengikuti di pergerakan ke tiga.
Setelah kurang lebih lima kali Amalia maju mundur, gadis itu akhirnya memulai tindakan baru.
Srreek.
Dia merobek kertas buku catatannya. Satu lembar kertas itu ditaruh di trotoar.
“...”
Sambil melihatku, Amalia berusaha memberi kode bahasa tubuh yang seakan ingin bilang ‘perhatikan, Ivan’ dengan kedua tangan dan urat wajahnya.
Dari sini tidak terlihat jelas apa yang dia lakukan. Ketika menaruh kertas dalam posisi setengah berdiri, penglihatan jauhku juga dirugikan oleh sudut yang terbentuk.
Tangan Amalia diangkat dari bawah. Setelah beberapa detik berlangsung, akhirnya dia berdiri dan mulai berjalan menjauh.
“...”
Namun, jalannya tidak seperti sebelumnya. Gadis itu berjalan mundur sambil menghadap ke arahku. Posisi tersebut memungkinkan dia bergerak sambil mengawasi pergerakanku.
Dia melambaikan sekali lagi tangannya untuk memancing perhatianku. Setelah sadar kalau aku sedang melihat, pola tangannya berubah menjadi sebuah tanda penunjuk. Dia berusaha menggiringku ke tempat di mana dia menaruh kertas tadi.
Apa yang dilakukannya tidak merugikan, maka dari itu aku mengikuti keinginannya dan berjalan menghampiri titik yang dia tunjukkan.
Oh ... jadi ini maksudnya.
Ketika aku sudah cukup dekat untuk melihat, aku sadar dengan tindakan Amalia. Di sana ada kertas yang disobek, ditaruh di permukaan jalan, dan kemudian ditindihi sebuah kerikil. Tentu saja maksud dari tindakannya adalah komunikasi, di permukaan kertas itu juga terdapat tulisan tangan Amalia.
Ivan, apa kamu marah? Aku minta maaf soal kejadian waktu istirahat tadi, waktu itu aku gak sengaja.
“Aku gak marah, aku gak marah sama sekali. Tapi, marah dan takut itu emosi yang berbeda. Kalau pun kamu gak sengaja dorong aku dari atas kapal sampai jatuh ke laut dan tenggelam. Aku gak akan marah sama kamu, tapi aku bakal takut sama laut.”
Perumpamaan itu sedikit mengerikan, bahkan jika itu terjadi aku tidak yakin bisa selamat. Tapi, hal seperti itu memang sebanding dengan rasa sakit yang kualami waktu itu. Terkapar hingga tidak bisa bergerak karena rasa sakit masih bisa kutahan sedikit. Namun, hal yang membuat situasi bertambah buruk adalah Amalia yang malah mendekat dan membuat gelombang emosi semakin kuat.
Hampir saja aku pingsan karena kesakitan. Tapi, sebelum hal itu terjadi, dia lebih dulu menjauh dan pergi untuk meminta bantuan. Di saat itulah aku mulai mendapat kesadaran hingga dapat membuatku bangkit.
Amalia sadar dengan kebangkitanku, dia pun mengurungkan niatnya untuk mencari pertolongan. Sebagai gantinya, dia berbalik dan mencoba mendekatiku lagi. Menanggapi tindakan bodohnya itu, aku pun lari menjauhinya.
Kami sempat mengalami acara kejar-kejaran, walaupun pada kasusku terasa tidak romantis atau bahkan lebih mengarah ke menyedihkan. Beberapa kali aku mengatakan untuk menjaga jarak, tapi butuh waktu agar Amalia mengerti. Dan akhirnya kami sampai di tahap ini, hubungan yang dibatas jarak pada radius tertentu.
Hah ....
“Daripada minta maaf, kamu mending cerita tentang apa yang kamu lihat di istirahat tadi siang. Apa ada informasi dari tiga orang pem-bully itu?” ucapku untuk mengalihkan perhatian.
Amalia yang mendengarnya pun mulai menulis, ekspresinya sedikit berubah menjadi lebih tenang.
“Dan lagi, kamu nulisnya sambil jalan saja ... biar cepet sampai.”
Gadis yang tengah menulis itu pun menoleh ke arahku sambil membuat senyum bodoh. ‘Ehehe ...’ yang tergambar di wajahnya.
Kami melanjutkan perjalanan, Amalia juga melanjutkan percakapan jarak jauh ini. Dia terus menulis di catatan, merobeknya, dan meletakkannya di jalan agar aku bisa memungutnya.
Dalam tulisannya, dia bercerita kalau tiga orang itu tidak menjelekkan Imarine setiap saat. Ada kalanya mereka hanya bicara topik biasa. Seperti sekolah, olahraga, makanan, media sosial, dan lain-lain.
Di kertas kedua, Amalia bilang kalau ada satu kejadian yang membuat mereka mengalihkan perhatian pada Imarine. Kejadian itu adalah ketika tempat duduk yang mereka duduki terdapat noda kuning dan membuat noda itu menempel di rok belakangnya.
Oh ... Ini sama seperti jebakan yang pernah kulihat dulu untuk membuat fitnah kejam seputar tinja.
Di kertas ketiga, Amalia kembali bilang kalau ketiga orang tersebut mengalami kesialan dengan menginjak kotoran kucing. Hal tersebut membuat mereka marah tidak karuan sehingga mengharuskan mereka mencucinya. Namun, ketika mencuci, mereka juga terkena sial oleh cipratan air keran yang menyembur mengenai pakaian dan kaos kakinya.
“...”
Sebenarnya aku tidak butuh cerita ini.
“Woi, apa gak ada yang lain? Apa kamu punya informasi ... kayak mereka yang masuk ekskul apa? Atau siapa yang punya dan dengan siapa mereka berpacaran?” kataku pada Amalia dari jauh yang tengah menulis kertas keempat.
Dia terdiam sesaat yang kelihatannya sedang berpikir, dan beberapa saat setelahnya dia pun mulai membuka halaman baru untuk ditulis.
Apa di kertas keempat sebelumnya masih melanjutkan kisah sial mereka? Memangnya seberapa sial mereka hari ini?
Aku melanjutkan perjalanan dan akhirnya meraih kertas keempat yang ditaruh Amalia. Di sana dia bercerita, dalam percakapan ketiga orang itu, gadis bernama Azarin si pemimpin adalah anggota ekskul voli. Kalau tidak salah, pernah muncul nama laki-laki dari eskul basket.
“...”
Dari sini aku sudah cukup mengerti permasalahannya di mana. Didukung dengan sikap Imarine yang membenci laki-laki, yang kemungkinan besar masalah ini juga berasal dari laki-laki.
“Oke, Amalia ... cukup. Kalau ada yang mau lanjut, mending nanti saja.”
Kenapa dia tidak menceritakan percakapan ini di awal? Memang terlihat biasa, tapi justru inilah yang jadi petunjukku.
Aku menghentikan metode percakapan merepotkan itu karena kami sudah dekat dengan tujuan. Toko tempat pero tinggal sudah dekat. Walaupun tidak ada rasa amarah, tapi aku tetap menjaga jarak dengan Amalia hingga benar-benar sampai di toko tersebut.
“...”
Tunggu dulu ... kenapa aku harus melakukan percakapan dengan kertas seperti itu? Bukankah komunikasi dengan Handphone jauh lebih mudah.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments