Sepulang sekolah, aku dan Amalia tidak mendekati gadis korban maupun pelaku bullying itu. Untuk sementara aku memintanya menjauh dan berpikir matang-matang sebelum bertindak. Berbicara dengan orang marah tidak akan menyelesaikan apapun.
Kali ini aku sedang di perjalanan pulang, dari area kantin menuju gerbang sekolah. Karena suasana, membuatku tidak bisa meninggalkan Amalia sendiri.
“...”
Amalia jalan di sampingku, dia terlihat murung setelah kejadian tersebut. Bagiku sendiri apa yang terjadi di kamar mandi bukanlah hal yang mengejutkan. Tapi, itu tidak berlaku pada Amalia, aku masih merasakan perasaan gelisah dan khawatir. Apa dia tersinggung ketika si korban bully menampar tangan dan menolak pertolongannya?
Hmn ... bicara tentang hal tersebut ....
“Amalia ... waktu di WC tadi, kamu tulis apa ke cewek itu? Mungkin saja bisa jadi petunjuk kenapa dia marah.”
“...”
Amalia mengangguk sekali. Dia mengambil catatan dan membuka beberapa halaman ke belakang, mencari tulisan yang sebelumnya dia pakai waktu itu.
Aku menerima bukunya, dan tertulis pendek kalimat sederhana.
Kamu gak apa-apa? Apa kamu luka?
Hmn ...
“Ini tulisan pertama yang kamu tunjukin ke orang itu?”
Amalia kembali mengangguk membenarkan.
Dari sini aku tidak mengerti apa yang salah. Tidak ada kata-kata yang memancing kemarahan, padahal aku yakin kalau emosinya mulai meledak setelah melihat catatan pertama.
Aku membuka halaman berikutnya, tulisan yang dia tunjukan setelah mendapat tamparan dan bentak dari gadis itu.
Aku cuman mau bantu kamu, kok.
Hn?
Baiklah, catatan berikutnya juga tidak memberi tahuku kenapa si korban begitu marah membaca ini. Tapi ....
Apa ini? Kedua catatan yang dibuat Amalia hanyalah tulisan pembukaan yang bahkan tidak ada artinya. Aku juga bisa membuat seperti ini. Di mana kata mutiaranya? Mengetahui fakta kalau dia adalah orang yang bertugas mengumpulkan emosi positif, aku kira dia adalah orang hebat yang bisa mengobati luka hati banyak orang.
Aku mengembalikan buku catatan itu.
“Sebelumnya ... bagaimana cara kamu ngumpulin mana orang lain? Bagaimana cara kamu ngobatin luka hati orang-orang kayak cewek yang di-bully itu? Harusnya ini bukan yang pertama kali buat kamu.”
Sebelumnya aku cuman bantu sedikit, kayak dengerin orang curhat sambil dukung dia sedikit-sedikit.
He? Tunggu, itu berarti.
“Kamu gak pernah turun langsung buat selesein masalah orang lain?”
Bisa dibilang kayak begitu.
Amalia menunjukkan catatan itu dengan sedikit keraguan. Ada rasa tidak nyaman, seperti gatal di lidah, kurasa dia malu mengakui ketidakmampuannya.
Kalau dia memang tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah, kenapa dia dipilih untuk melakukan misi ini?
"..."
Tapi, aku juga masih belum mengetahui hal yang terjadi padanya. Tentang Amalia yang masuk ke dalam urusan ini karena tidak beruntung atau karena terpilih oleh Pero.
Hah ....
“Oke, tentang cewek yang di-bully itu, kita bakal ngomong sama dia besok. Kalau kepalanya dingin, dia juga gak akan marah-marah. Kamu tahu dia ada di kelas apa?”
Aku tahu, dia Imarine dari kelas 2G. Waktu Istirahat dia beli makan di kantin terus makan di taman sebelah perpustakaan. Aku ketemu dia waktu di sana.
Hmn ...
Perpustakaan dan daerah sekitarnya cukup sepi dari siswa, namun kondisi khsus membuatnya sedikit berbeda. Letaknya yang berdekatan dengan ruang guru, ruang BP, dan beberapa ruang ekskul, membuat orang-orang seperti guru, tamu, dan murid-murid bergelar di organisasi berkeliaran di sana.
Amalia membuka lembar baru, dia menulis tambahan catatan untukku.
Kayak yang kamu tahu, hari ini imarine gak langsung pulang ke rumah. Dia diam di beberapa tempat dan bikin dia ketemu sama orang yang bully dia. Aku gak ngerti, kenapa dia gak langsung pulang biar bisa kabur dari mereka.
Bukan begitu. Kau tidak tahu sistem dan latar belakang dari mereka. Dari luar mungkin terlihat bodoh, tapi tidak mungkin dia menurut begitu saja. Gadis bernama Imarine itu sudah ada dalam lingkaran. Sesuatu yang membuatnya bergerak seperti robot dan tak punya pilihan bebas. Dengan kata lain, kemungkinan si pem-bully itu telah menggenggam kelemahan Imarine.
Ini akan sedikit sulit.
Setelah berjalan beberapa lama, kami akhirnya keluar dari lingkungan sekolah. Amalia dan aku memiliki arah pulang yang berbeda, jadi kami berpisah dengan cepat di depan gerbang sekolah.
*Whoush ....
Hn!?
Aku berhenti melangkah, secepat kilat juga menggerakkan leher ke berbagai arah. Ada gelombang emosi yang melaju cepat. Perasaan itu kurasakan datang dan pergi dalam sekejap, membuatku sedikit terkejut.
“...”
Hilang? Hmn ... mungkin hanya perasaanku.
***
Hari ini cukup melelahkan, kejadian yang menimpaku membuat banyak gelombang emosi kurasakan. Bukan lelah secara fisik, ini seperti kepalaku terasa lemas dari dalam. Kemampuan pembaca emosiku tidak memberi beban pada tubuh secara langsung, oleh sebab itu perasaan lelah ini sedikit misterius.
Aku sampai di rumah tingkat dua yang berada di perumahan. Tempat itu halaman depan dan belakang yang sama-sama memiliki akses jalan raya langsung. Kedua halaman itu memiliki luas yang cukup untuk menaruh mobil, bisa dibilang rumah tersebut punya dua tempat parkir di kedua sisi.
Aku lewat dari belakang, membuka pintunya dengan kunci yang kubawa.
Ruangan yang kumasuki pertama adalah dapur, berjalan lebih dalam hingga sampai ke ruang keluarga.
Oh, no. This is the end, we will die ...!
Don’t give up! There must be a way!
“...”
Suara televisi terdengar, menyala dan tengah menayangkan film aksi penuh gairah. Orang yang sedang menontonnya adalah kakak perempuanku. Dia duduk di sofa dan fokus melihat adegan itu hingga tidak menoleh sedikit pun padaku.
Where? Don’t you see? They use cunning tricks, we have been trapped.
“Whoa ....”
Aku merasakan kemeriahan dan adrenalin menikmati film. Rasa dari emosinya mirip dengan kebahagiaan, gurih dan membuat dadaku penuh.
“...”
Aku mencoba melihat film tersebut, tapi tidak merasakan apapun. Kemampuan ini membuatku sulit merasakan perasaan yang benar-benar berasal dariku. Memang tidak terlalu mengganggu, tapi salah satu kekurangan itu membuatku tidak bisa menikmati film tersebut sendirian.
Di belakang sofa, aku berdiri ikut menonton. Film itu memiliki pemeran utama yang kuat dengan pribadi yang selalu positif. Jika ada orang seperti ini di dunia nyata, mereka akan terlihat bersinar tapi juga cukup mengganggu.
Pemeran utama tersebut tidak cukup pintar dalam mengatasi masalah. Dia menggunakan kekuatan supranaturalnya untuk mengalahkan musuh.
Hahaha ... look, we can doi t, right? Believe in your own strength.
Sebenarnya aku tidak menyukai karakter seperti itu. Dari tadi pemeran utama selalu bergerak tanpa ragu menembus semuanya, walaupun dia sempat terjebak. Tapi, alur cerita dengan keajaiban dan keberuntungan membuatnya bisa selamat.
Tricks just for a weak people. No matter how cheating my enemy is, the king still win.
“...”
Tidak, aku tidak setuju. Walaupun kalimat itu terdengar keren, aku tetap tidak setuju denganmu. Kau menang hanya karena si pembuat film berada di pihakmu. Keberuntungan dari timing teman-temanmu yang datang membantu terlihat sangat direncanakan.
Gelombang emosi milik kakakku terasa lezat. Walaupun wajahnya tidak terlalu ekspresif, aku tahu kalau dia benar-benar menikmati filmnya.
Hah ....
Namun, rasa lelahku lebih besar sekarang. Aku lebih memilih merasakan ketenangan di kamar tidur.
“Oh, Van,” panggil kakakku sebelum aku meninggalkan ruangan. “Ibu beliin kue tuh.”
Aku melirik ke arah meja di depannya, di sana terdapat kardus kue bolu. Jika dilihat dari kombinasi warnanya, rasa cokelat adalah dominasi utama dari makanan tersebut.
“Kakak tahu kalau aku gak suka makanan manis, ‘kan?”
“Iya, tahu ... makanya kakak makan juga bagian kamu.”
“Ha!?”
Aku melangkah cepat, mendekati gadis itu dan berdiri di belakang sofa sambil mengintip ke depan untuk melihat wajahnya.
“...”
Di pangkuan paha kakakku terdapat kardus kue bolu yang sama dengan yang tergeletak di meja. Ternyata dia diam dan tidak menyapaku bukan hanya karena film, tapi juga karena sedang mengunyah makanan. Rasa senang dan bahagia juga bukan hanya dari film, itu karena dia sedang memakan cokelat.
“Woi, kenapa kakak makan jatah kueku!?” bentakku sambil merebut kardus kue itu darinya.
“Ahaha ... kamu ‘kan gak suka yang manis-manis.”
“Kalau begitu jangan beli kue ... kenapa gak ganti makanannya dari awal?”
“Biar adil. Masa aku dikasih kue tapi kamu cuman dapet gorengan, ‘kan kasihan,” jawab Kakakku sambil tersenyum.
“...”
Dia sudah tahu kalau aku benci makanan manis sejak lama. Dengan memanfaatkan fakta itu, dia mencoba mendapatkan porsi lebih mengambil bagianku.
“Mau sampai kapan kamu pegang, Van? Kembaliin donk, ganggu kakak makan saja,” ucapnya yang ditujukan pada kue tadi.
Ini bagianku, kau tidak berhak menggunakan kata ‘kembalikan’ di sana.
“Hagh ...,” endusku dengan kasar akibat lelah dan kesal. “Denger, Kak. Aku mending maksa makan kue daripada kasih makanan ke kakak.”
Karena lidah lengket lebih baik daripada perut lapar.
“Lah ... jangan begitu, Van. Apa-apa yang dipaksain itu gak baik, lho.”
Berisik. Kau hanya ingin memakan kueku, ‘kan. Niatmu terlihat jelas walaupun kau berusaha membungkusnya dengan kalimat tersebut.
Aku membuka bungkus kue tersebut, di sana masih tersisa dua potong kue. Potongan tersebut berbentuk persegi panjang, ukurannya pun tidak besar. Dan bagian paling menyebalkannya adalah ketika sadar kalau sudah lebih dari setengah ukuran kardus telah kosong.
“...”
Gadis rakus yang terkadang seenaknya ini adalah orang yang mereka sebut kakakku, namanya Dina Favorita. Dia satu tahun lebih tua, memiliki rambut hitam panjang dengan wajah cerah, dan tingginya sedikit lebih rendah dariku.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments