Gekh.
Gelombang emosi. Amalia terkejut dengan panggilanku, membuatku merasakan sengatan listrik.
Bahuku tersentak, kaki kiriku mundur satu langkah untuk menstabilkan posisi berdiri. Gelombang emosi yang dikeluarkannya kali ini tidak membuatku jatuh seperti sebelumnya. Mungkin sebagian karena aku dalam keadaan sigap, akibat lingkungan sekitar yang penuh rawa kepekatan depresi.
Amalia berbalik, dia mulai mengendurkan ekspresinya ketika melihatku. Tapi, kondisiku masih belum cukup tenang untuk meliriknya.
Hah ... hah ....
Untuk sementara tubuhku masih merasakan kesemutan. Walaupun tidak terjatuh, aku tetap terguncang olehnya. Dalam posisi menunduk memegang paha, aku mencoba mengembalikan kerja otot dengan sedikit memijatnya.
Gadis di depanku berjalan mendekat, aku pun mengangkat wajah untuk menyambutnya. Wajahnya sekarang terasa dekat, mungkin sekitar lima belas sampai dua puluh sentimeter.
Hn?
Amalia mengacungkan telunjuk kanan, menaruhnya di depan mulut dan memberi isyarat untuk tidak banyak bersuara.
Ivan, bisa bantu aku?
Dengan bernafas panjang, aku yang sudah pulih mulai membenarkan posisiku. Walaupun sedikit terganggu dengan sikapnya yang seperti tidak mengerti keadaanku sekarang.
“Bantu apa?”
Kamu bisa masuk ke sana? Di sana ada orang yang terluka hatinya.
Hmn ... setelah merasakan semua gelombang emosi yang berasal dari sana, aku sudah tahu fakta tersebut. Tapi, hal berbeda ketika Amalia menggunakan kata tersebut sekarang.
“Apa orang itu yang nanti bisa dihisap mana-nya?”
Amalia mengangguk, dia menatapku memohon bantuan. Tapi ....
“Bukannya itu WC cewek? Kamu serius suruh aku? Kenapa gak kamu saja yang—”
*Gbrukgh.
Suara keras muncul. Benturan antara benda keras yang salah satu sepertinya berbahan kayu. Jika dilihat di tempat ini, hanya pintu yang memungkinkan membuat suara tersebut.
Baiklah, ini bukan saatnya untuk berdebat. Keadaan darurat, jadi maafkan atas tindakanku yang sekarang.
Aku berjalan mantap menuju ujung lorong, mengarah ke pintu toilet perempuan. Ketika sampai, aku tanpa ragu mendorong pintu tersebut.
"Hgmn ...! Hfmhgt ...!"
Yang kubuka adalah pintu pertama, toilet umum ini cukup besar seperti yang ada di gedung-gedung komersil. Ketika melewati pintu pertama, ada ruangan luas menyamping dengan tiga wastafel dan satu cermin besar. Namun, yang membuat mataku terkunci adalah hal lain.
"Hnm, Hmfht ...!"
Aku melihat seorang gadis yang dipegangi oleh tiga gadis lainnya. Dua orang di antara mereka menahan kaki, tangan, dan mulut si korban. Posisi gadis yang tertahan duduk selonjor bersandar tembok, yang entah sepertinya itu adalah bentuk pertahanan karena ....
“...”
Satu gadis lagi yang sepertinya pemimpin mereka sedang berusaha membuka pakaian si korban. Dapat kusimpulkan dengan melihat dua kancing pakaian bawahnya yang sudah terbuka.
Heh ... Jadi, gelombang emosi berbau sampah itu asalnya dari wanita korban bullying.
“Lho, kok ada cowok di sini?”
Gadis pemimpin itu menengok ke arahku, dia berdiri dan bertanya sambil mengerutkan wajah. Aku berusaha untuk melempar ini pada Amalia, tapi ....
He?
Dia sudah ada dalam tampilan berjubah. Rambut putih dengan mata hijau membuatnya terlihat seperti orang yang berbeda.
Maaf, Ivan. Bisa kamu bantu dia? Aku gak tahu harus ngapain.
“...”
Aku sedikit kesal, gadis ini melemparkan tugasnya padaku. Ini seperti dia membawaku naik roller coaster, tetapi malah mendorongku untuk pergi sendiri ketika sampai.
Hmn ....
Aku melirik gadis pem-bully itu, dari wajahnya dia tidak sadar kalau ada Amalia di sini. Dengan penampilan jubah yang mencolok, seharunya gadis tersebut menyinggung keberadaan Amalia. Ternyata memang benar kalau Amalia tidak terlihat oleh orang biasa ketika menggunakan tampilan sihirnya.
Baiklah, aku juga sudah terlanjur datang. Tidak mungkin mereka membiarkanku pulang begitu saja.
“Aku cuman takut ada yang celaka, barusan ada suara keras dari sini. Jadi ..., ada yang bisa jelasin suara apa tadi?”
Aku mencoba bersikap normal, berpura-pura tidak tahu apa yang mereka lakukan pada gadis yang ditahan.
“Oh ... itu cuman suara pintu, tadi ada yang kepleset. Kita gak apa-apain cewek ini, cuman mau bantu dia berdiri. Sudah itu saja, kok.” Jawabnya dengan mendatarkan nada bicaranya. “Iya, ‘kan ... Ima?”
Gadis itu mulai melemparkan pertanyaan pada si korban. Walaupun terdengar datar, aku bisa merasakan emosi sinis dan ancaman darinya. Bahkan tanpa kekuatanku, perasaan itu sudah cukup kuat untuk dirasakan orang biasa.
Perlahan salah satu gadis yang memegang mulutnya pun mulai melepas pegangannya. Memperlihatkan wajah si korban padaku.
“Un.” Jawab si korban dengan sedikit mengangguk, menyembunyikan wajah sambil menghindari tatapan denganku.
“...”
Dadaku terasa sakit. Aku bisa merasakan emosi yang bercampur aduk. Ruangan ini dipenuhi sandiwara konyol yang busuk dan menjijikkan. Aku juga tidak perlu kekuatan untuk tahu kebohongan barusan.
“Kalau begitu bisa lepasin dia? Kalian pegang terlalu kuat, dia kayaknya kesakitan.”
Karena dia menjawab dengan sedikit asal, aku juga memberinya jawaban yang setimpal. Layaknya orang bodoh.
“Sudah dibilang kita gak apa-apain dia! Pergi saja napa!?”
“...”
Tiba-tiba dia membentakku. Emosinya terasa tidak stabil, seakan ada beban berat yang dia tanggung. Rasanya menjijikkan, melihat gadis berkata kasar sambil merasakan emosi negatifnya.
“Aku juga gak bilang kalian nge-bully dia, nelanjangin dia, atau fotoin dia buat disebar ke orang-orang.”
“...”
Ketika melihat mereka, aku juga sadar kalau si gadis pemimpin itu memegang handphone. Memang terasa aneh, tapi aku pernah melihat jenis bully yang serupa. Kota tempat tinggalku memang rawan akan hal tersebut.
“Ck.” Gadis pemimpin itu mendecakkan lidah, ekspresi kesal tergambar di wajahnya. “Rina, Anggi, kita pulang sekarang.”
Akhirnya kedua orang itu melepas pegangannya. Berdiri dan mendekat ke gadis pemimpin itu.
Ahkn.
Gelombang emosi.
Ketika ketiga gadis itu menatap si korban, aku merasakan emosi tidak menyenangkan. Sensasi kulitku yang tertusuk ratusan jarum membuatku memicingkan mata.
Tanpa berpamitan, mereka bertiga berjalan meninggalkan toilet ini. Aku juga sedikit merapat ke samping memberi mereka jalan, entah kenapa rasanya aku sedang melawan gadis yang merepotkan.
Rasa iri, dendam, dan ancaman. Emosi itu kurasakan terus sampai mereka bertiga benar-benar menjauh.
“...”
Gadis korban yang duduk selonjor itu masih belum bangkit. Gelombang depresi yang dia keluarkan masih belum berhenti. Ternyata mengusir mereka bertiga masih belum cukup untuk membuatnya sembuh.
“Amalia ...”
Aku memanggilnya. Walaupun dia tidak terlihat oleh ketiga gadis pem-bully, tapi dia tetap bersembunyi takut di balik tubuhku.
Setelah mendengar panggilan itu, Amalia mulai menghilangkan wujud sihirnya untuk mendekati gadis korban tersebut.
Amalia berjalan secara perlahan, dia tampak ragu-ragu untuk melakukan tindakan. Jujur saja, aku juga masih bingung bagaimana cara menyemangati orang seperti itu.
“...”
Amalia tidak bicara, dia menunjukkan tangan sambil menjulurkan tangan kanannya untuk membantu korban bully itu berdiri.
*Whoush ....
Hn!? Gelombang emosi?
*Plak.
Suara tamparan terdengar. Adu telapak tangan itu bisa kulihat dan dengar, itu berasal dari arah gadis si korban bully.
“Bodoh ...! Dasar Bodoh!! Jadi, kalian yah, yang selama ini gangguin mereka!? Aku gak pernah minta buat diselamatin ...!”
Teriaknya cukup keras. Membuat toilet ini sedikit menggema.
Aku bisa merasakan emosi kemarahan. Rasa pedas barusan membuatku kaget dan bingung, dia menolak pertolongan kami dengan tegas.
Catatan Amalia di tangannya terjatuh, dia tidak memungutnya karena tangannya sekarang dipakai mengusap luka tamparan barusan.
“Gara-gara kalian ... gara-gara orang kayak kalian aku jadi kayak gini ...!”
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments