Keesokan harinya.
Aku sekolah seperti biasa. Tugas pembersihan aula selesai dengan baik, Nadya sudah mendapat beritanya dan dia tidak mempermasalahkan apapun.
“...”
Aku tidak menceritakan apa yang kualami waktu itu. Normalnya juga orang bingung jika menerima ceritaku. Apa yang mereka tanggapi jika aku bilang bertemu gadis berjubah yang tiba-tiba menyerangku penuh amarah?
Kurasa aku akan mencari tahu sendiri.
Kemarin aku tidak bisa meninggalkan gadis OSIS sendiri. Dia terbangun tidak lama setelah aku pulih dari rasa sakit.
“Eh? Aku tidur? Sudah lama?”
Awalnya dia terlihat bingung. Gadis OSIS itu tidak ingat detail bagaimana dia tertidur. Hal yang kulihat tentunya tidak akan disadari olehnya. Aku menjelaskan sesuatu yang membuatnya tenang. Namun ....
“Terus Lia di mana?”
“Lia?”
“Amalia, dia tadi datang ke sini. Apa dia pergi duluan waktu aku tidur?”
Gadis OSIS itu ingat kalau sebelumnya dia berhadapan dengan seorang gadis. Dari ekspresinya, kurasa orang itu awalnya memang murid biasa. Pakaian jubah yang dia pakai pasti punya alasan tersendiri.
Amalia ... yah.
Aku tidak menghafal nama-nama orang di sekolah, tapi aku yakin dari wajahnya kalau dia bukan siswi dari kelasku. Daripada mencari secara acak, lebih baik tanyakan pada orang yang lebih tahu.
“Kamu dari kapan di sini? Tadi lihat cewek gak?” tanya gadis OSIS yang baru baru bangun.
Hmn ... bagaimana aku menjawab pertanyaan ini? Apa jujur itu jawaban yang tepat?
“Aku lihat, tapi aku gak sempet ngomong sama dia.”
“Oh ... yaudah kalau begitu. Kirain kamu ngobrol dulu ... atau mungkin lihat dia pamitan sebelum pergi gitu?”
Dia membuat nada tanya di ujung kalimatnya sambil mengarah padaku. Waktu itu aku hanya menggeleng untuk menjawabnya.
Aku lihat dia saat-saat terakhirnya sebelum pergi. Namun, aku tidak ingin menceritakannya, kurasa itu juga baik untuk si gadis OSIS.
“Cewek itu ...,” ucapku yang ingin menghidupkan kembali suasana. “kamu tahu di kelas apa dia?”
“Tahu, sih. Tapi, kamu mau apa kalau sudah tahu, Van?”
“...”
Ternyata dia tahu namaku. Rasanya sedikit bersalah karena aku tidak mengingat namanya balik.
Itulah kejadian yang terjadi kemarin. Pembicaraan pendek dengan gadis OSIS tetap kulanjutkan. Walaupun sedikit canggung, tapi aku berhasil mendapat informasi tentang gadis berjubah itu.
Dia hanya menceritakan kalau orang yang dia hadapi adalah teman curhatnya belakangan ini. Emosi yang kurasakan ketika berbincang dipenuhi kebahagiaan, aroma yang sejuk dan menyegarkan tubuh.
Gadis OSIS ini cukup terbuka, dia bilang kalau Amalia sedikit terkenal sebagai teman curhat yang bisa menyelesaikan beberapa masalah. Hampir semua yang menceritakan keluhannya mengaku puas.
Namun, dari semua cerita itu, hal yang paling menarik adalah fakta kalau dia bukan manusia normal. Maksud dari kalimatku barusan tidak normal yang berbeda. Bukan karena aku melihatnya di aula sebagai gadis berjubah dengan peralatan bercahayanya, melainkan ketidaknormalan yang lebih menduniawi.
“Oh, satu lagi,” potong gadis OSIS yang mencegahku pergi waktu itu. “Kalau kamu mau ngomong sama dia, jangan kaget, yah. Semua orang sudah tahu, tapi kayaknya kamu gak kenal.”
Maaf, jangkauan orang yang kukenal sangat sempit, bahkan aku juga tidak tahu namamu.
“Amalia itu ... bisu.”
“...”
Bisu?
Memang benar kalau sekolahku hanya sekolah biasa. Tempat umum yang bisa menerima penyandang disabilitas. Aku juga pernah melihat satu orang yang dia punya cacat di daun telinganya di sekolahku. Lagi pula, orang bisu tidak terlalu mencolok.
Tapi ....
Aku yakin kalau waktu itu dia bisa bicara. Suaranya sangat lantang, jelas, bahkan dia sanggup berteriak padaku.
Apa itu berarti kabar tentang dia bisu adalah kebohongan?
Memangnya apa yang diuntungkan dari menjadi bisu? Tidak ditunjuk untuk membacakan soal di depan kelas? Meniru artis sulap bisu dan berharap mendapat ilmu kebal yang sama dengannya? Itu terlalu bodoh untuk benar-benar terjadi.
Bel istirahat berbunyi, aku dan murid lain bergantian untuk keluar kelas.
Hari ini aku akan mencari keberadaan gadis berjubah kemarin. Menurut si gadis OSIS, Amalia ada di kelas 2E, satu angkatan dengan kami. Kelasnya ada di lantai satu paling pojok, tepat berada di bawahku yang ada di kelas 2A.
Sebelum memulai pencarian, aku berjalan menuju kantin sekolah, berniat membeli makanan ringan untuk mengganjal perut. Tentu saja aku tidak ingin mengorbankan waktu makanku untuk hal seperti ini.
“Ivan, kemarin bagaimana? Kamu pulang jam berapa habis beresin aula?”
Di sana ada Farrel yang menemani jalanku. Dia orang yang cukup perhatian, berbanding dengan tubuhnya yang besar layaknya atlet basket.
“Aku selesai jam setengah enam, sedikit agak lama karena tambah kerjaan buat bersihin sarang laba-laba di langit-langit.”
“Oh ... buat apa kamu rajin kayak begitu?”
“...”
Karena awalnya itu juga bukan ideku. Baiklah, aku ceritakan sebagian besar cerita pada Farrel. Kurasa dia memang berhak mengetahuinya.
Aku menjelaskan tentang kedatangan gadis OSIS waktu itu. Fakta kalau sebenarnya tugas membersihkan aula tidak kulakukan sendiri.
Dari awal aku sudah menyiapkan tenaga dan mental untuk membersihkan aula. Menurut sudut pandangku, lebih baik bekerja tenang sendiri daripada mendapat bantuan yang tidak diinginkan. Tapi, Farrel tidak berpikir demikian. Emosinya terasa senang mendengar berita itu.
Kami sampai di kantin. Tempat itu cukup ramai, membuatku mual dan ingin segera pergi meninggalkan rombongan gelombang emosi. Jadi, aku menyelesaikan belanja tersebut secepat mungkin.
“Oi, Ivan, kamu mau pergi?”
Setelah kami mendapat makanan, Farrel mendekat ke salah satu meja tongkrongan. Di sana terdapat beberapa orang dari kelasku yang ikut berkumpul. Berbeda denganku, murid-murid di sana sepertinya ingin berdiam lebih lama di sini.
“Ya, aku duluan saja,” pamitku untuk berpisah dengannya.
Aku pergi dan berjalan mengikuti lorong untuk menjauhi kantin, menuju tempat yang lebih sepi dekat kamar mandi. Tapi, tujuanku kali ini adalah mencari gadis berjubah bernama Amalia di kelas 2E. Jadi, tujuanku berubah menjadi ke sana.
Tentang kenapa aku mencari gadis itu. Aku merasa kalau dengan atau tanpa aku melakukan hal tersebut, dia akan muncul kembali mengganggu kehidupanku. Mengingat apa yang terjadi kemarin, mungkin ada sesuatu yang besar berkaitan denganku.
Hmn ....
Tapi, bagaimana aku mencarinya. Menanyakan langsung ke murid di kelas 2E? Aku takut dia akan menghindariku karena sebelumnya kami berpisah dengan cara yang buruk.
Aku sampai di gedung siswa tahun kedua. Dari sini, hanya satu belokan lagi dan jalan lurus ke ujung untuk sampai ke kelas 2E.
Kenapa dunia tidak berjalan lebih mudah seperti sinetron yang bertemu pasangan hanya dengan tidak sengaja bertubrukan di jalan. Jadi, aku tidak perlu repot-repot mencarinya—
Bruk.
Tumbukkan kudapat di dada. Karena kekuatanku yang cukup besar, sesuatu yang kutabrak memantul balik.
Ketika aku sampai di belokkan, aku tidak sengaja menubruk seseorang yang ada di persimpangan lain.
“Ah, sorry,” kataku meminta maaf pada siapa pun yang jadi korban.
“...”
*Whoush ....
Ghuak!?
Gelombang emosi. Yang satu ini cukup kuat, membuatku lemas hingga kehilangan tenaga untuk berdiri. Rasa tersengat di seluruh tubuh, kesemutan di lidah, dan bau gosong di hidung. Ini adalah emosi ketika orang terkejut.
Akhgn ... Haknth ....
Namun, aku tidak pernah merasakan gelombang emosi terkejut sekuat ini. Tangan kakiku kehilangan tenaganya, membuatku ambruk di tengah lorong. Sedikit usaha kulakukan dengan menahan tubuhku agar masih tidak menyentuh tanah, menopangnya dengan dorongan tangan layaknya orang yang sedang push up.
Ketika posisiku sedikit lebih stabil, aku mencoba mengangkat leher untuk melihat ke depan.
Ah .... Ternyata memang semudah ini bertemu dengannya.
Tidak salah lagi, gadis berjubah yang kutemui kemarin. Sekarang dia memakai baju seragam sekolah biasa, namun wajahnya tentu tidak bisa diubah. Dia terkejut melihatku, terduduk karena jatuh, menatapku dengan mata lebar layaknya melihat hantu.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
LEVIATHAN♛
wow... ini ide ceritanya anti mainstream banget sih. cerita bagus gini, kenapa gue baru nemu sekarang ya?
2020-06-18
1