Keringat bercucuran, suhu tubuhku memanas dengan sendirinya. Reaksi tubuh ini membuat pikiran tidak bisa berpikir jernih.
Gadis berjubah itu sedang memojokkanku, cepat atau lambat aku akan kehilangan tenaga dan menjadi sasaran empuknya.
Baiklah, kalau begitu.
Aku menarik nafas cepat. Menguatkan perutku dan mempersiapkan tenaga pada satu gerakan.
Hakn, Aahkgh ....
Dibandingkan terus bertahan, aku memilih untuk menyerang. Mengumpulkan semua tenaga yang tersisa untuk mendorong gadis berjubah itu.
Tubuh dan sarung pisaunya mulai terdorong , tapi tidak sampai membalikkan keadaan. Dia hanya terguncang sedikit oleh tenagaku, mungkin mundur sejauh tiga atau lima senti. Layaknya seseorang seorang yang mendapat perlawanan kecil dari adu panco, perlawananku hanya mengganggu kestabilan tenaganya.
Tapi, itu semua sudah cukup.
Ketika dia berhasil terdorong beberapa senti, aku menggunakan celah itu untuk mengambil gerakan mundur. Akibatnya kedua tangan kami telah berpisah, lepas dari adu kekuatan sebelumnya. Di sepersekian detik itu, aku juga menghindar ke samping. Membuat dorongan gagang pisau itu meleset.
“HuAaAkkhh ...!”
Dan sesuai dugaan. Setelah aku lepas, gadis berjubah itu kembali menyerang dengan mengayun sarung pisaunya lagi.
Buk.
Aku pun menghalau dan mengubah arah serangnya hingga meleset.
Dia melakukan serangan kedua, dan hal yang sama kulakukan kembali. Seluruh serangan yang dia lakukan selalu kutangkis dan berakhir mengenai udara kosong.
“Tunggu, tunggu, ada apa? Kenapa kamu marah?” tanyaku sambil terus menghindari serangannya.
“Kembalikan! Kembalikan pecahan yang kamu curi ...!”
Buk.
Serangan yang tepat mengarah ke wajahku. Tapi, masih bisa kutangkis dengan tanganku.
“Ha? Pecahan? Pecahan apa?”
“Huaaahkh ...!”
Namun, bukan jawaban yang kudapat, melainkan pukulan susulan. Mungkin emosi kemarahannya begitu besar sehingga kepalanya tidak bisa berpikir jernih. Aku bisa mengetahuinya dengan jelas dengan kemampuan ini.
Adrenalin muncul begitu hebat. Aku tidak menyangka kalau ternyata tubuhku bisa melakukan perlawanan terhadapnya.
Tanganku terasa ringan, mataku serasa melihat dunia lebih lambat, dan entah kenapa aku juga mendapat refleks yang bagus untuk melindungi diri.
Tapi, tidak bisa terus seperti ini.
Aku mencoba berlari menjauh dan berputar untuk meraih punggungnya. Mungkin dengan ini aku bisa melakukan serangan balik agar membuatnya diam tak berdaya.
Pada saat berlari, aku masih menjaga pengawasan dengan terus menatap gadis tersebut. Dia juga membalas tatapanku dengan tatapan kebencian. Sedikit demi sedikit gadis berjubah itu memutar kepala mengikuti posisi lariku.
Kenapa dia begitu marah? Apa itu ada hubungannya dengan cahaya barusan? Padahal saat aku tidak sengaja menemukannya, dia bertindak layaknya gadis kebingungan biasa—
*Throw
Woah!?
Dia melemparkan sarung pedangnya. Membuatku kaget dan berhenti berlari.
*Stab.
Tapi, benda itu meleset dan mendarat di tembok. Arah lemparannya dibuat lebih maju, serangan itu baru akan mengenaiku jika aku tidak berhenti berlari.
Hn!? Sial.
Aku memalingkan pandangan dari musuhku teralihkan oleh lemparan tersebut. Gadis itu dengan cepat melaju dan menyambar tepat setelah kakiku berhenti berlari.
“HaaAAhkh ....”
Kali ini aku akan tamat. Ototku sudah lemas karena berlari barusan, berhenti secara tiba-tiba seperti tadi membuat konsentrasiku buyar. Tidak ada tenaga yang bersisa untuk menghindar maupun menangkis.
“... HaAaak—”
Grek.
He?
Teriakan gadis berjubah itu terhenti. Dia tidak sengaja menginjak botol kaca kecil miliknya yang ternyata dia jatuhkan di lantai.
Larinya jadi tidak stabil, serangannya dipastikan gagal mengenaiku. Namun, sergapan yang dia lakukan cukup kencang, membuatnya tersendeng-sendeng melaju dengan satu kaki.
Gubrak.
Gadis berjubah itu mendarat di dadaku ... sengaja kubuat mendarat di dadaku. Jika dibiarkan, dia akan tergusur jatuh dengan wajah lebih dulu. Aku berniat menahannya, tapi gaya yang dia berikan terlalu besar untuk aku tahan. Akibatnya, aku pun ikut terjatuh.
“Akhn ... ghuk, ghuk ...,” batukku karena dada mendapat guncangan hebat.
Butuh waktu beberapa detik untuk memulihkan kesadaran, sampai akhirnya mata dan pikiranku terbuka melihat gadis tersebut.
“Heh!?” reaksi gadis itu yang terkaget ketika sudah mengangkat wajah dari tubuhku.
Hn?
Lalu, aku pun ikut terkaget dengan hal yang berbeda.
Tiba-tiba gelomang emosi kemarahan hilang. Rasa pedas dan panas yang mengerubungi tubuhku sudah tidak terasa lagi. Walaupun aneh dengan perubahan yang tiba-tiba, tapi aku punya pertanyaan yang lebih penting.
Sekarang pikirannya sudah tenang, kali ini mungkin dia bisa bicara.
Posisiku terlentang dengan bagian atas tubuh sedikit terangkat, sedangkan gadis itu tengkurap dengan wajah berhadapan dengan dadaku. Tangannya ada di sekitar ketiakku, dan kaki kirinya menjalar di antara pahaku.
“Woi, kamu gak apa-apa?”
“...”
Dia tidak menjawab. Gadis itu malah melihat sekeliling dengan ekspresi bingung.
“...”
Sampai akhirnya kami bertatapan satu sama lain. Awalnya gadis berjubah ini masih dilanda kebingungan. Namun ....
*Whoush ....
Ghuak.
Gelombang emosi datang lagi. Aku bisa merasakan sensasi baru di lidah dan kulitku sekarang.
“Ha—” Dia membuka mulutnya dengan ekspresi unik, menganga sambil menurunkan alisnya melihat rendah diriku. “Ha-ha-hawawawa—”
Wajahnya mulai memerah, menjalar dari sekitar hidung hingga ke telinga.
Gkhft.
Dan dampak dari emosinya semakin jelas. Rasa geli muncul di permukaan kulitku, aroma seperti santan kelapa yang kenyal memenuhi mulut. Entah kenapa aku serasa diekspos oleh sesuatu yang tidak terlihat dari dalam dan luar tubuh.
“Ha!? Ma-maaf, maaf ...,” katanya dengan gagap.
Dia yang terkejut berusaha memberi tolakan keras agar tubuhnya bisa terpisah dariku dengan cepat.
“Gfuakgh!?” sembur kuat mulutku akibat refleks peringatan tubuh.
Selangkanganku ... selangkanganku ditendang oleh gadis itu. Posisi kaki kirinya yang ada di antara paha adalah penyebabnya. Dia yang panik dan berusaha menjauh barusan tidak sengaja menggeser lutunya maju, membuat benda milikku jadi korban.
“Haduh, maaf, maaf.”
Akgh ....
Aku merintih, merungus, dan menggeliat kesakitan sambil menaruh kedua tangan di alat reproduksi. Berharap dengan tindakan itu aku bisa mengurangi penderitaan. Semua serangan yang dia berikan sebelumnya tidak sebanding dengan rasa sakit tersebut.
“Maaf ....”
Apa kau tidak punya kata lain selain ‘maaf’? Aku tidak berharap permohonan maaf darimu. Entah kenapa lama-kelamaan kata itu terdengar menjengkelkan.
Hal yang lebih utama adalah kejelasan tentang apa yang terjadi sekarang. Emosi seseorang normalnya tidak akan berganti secepat dan sebesar yang dia alami. Nada bicaranya juga berubah, bertentangan dengan ketika dia marah. Seperti berhadapan dengan dua orang yang berbeda.
“Hh ...!? Hh ...!?”
Ketika sudah berdiri, gadis itu menggeleng-geleng melihat sekitar ruangan ini. Ekspresinya menunjukkan kalau dia sedang mencari barang, mungkin botol kaca yang membuatnya terjatuh barusan.
“Ah .... ada.”
Dan bentul saja, dia segera pergi untuk memungutnya. Botol kaca itu terlempar cukup jauh akibat tragedi tersandungnya barusan.
Dengan gerakan cepat, dia berjalan dan membereskan barang-barangnya untuk pergi—
Eh? Pergi?
“Woi, tunggu dulu,” ucapku untuk mencegah gadis berjubah itu.
Selangkangan yang masih sakit membuatku tidak sanggup berdiri dan hanya bisa menggeliat di lantai.
“Maaf ...!”
Dia berlari, membawa barang dan tasnya, meninggalkanku dengan gadis OSIS terbaring di aula. Aku yang meringkuk dilantai, dan gadis OSIS yang tidur dalam posisi nyaman.
Sungguh ... ada apa dengan gadis itu?
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments
SHIDO
eeeeeeeeek
2019-09-01
1