NovelToon NovelToon

Pencicip Emosi

Arc 0 Stroberi : Chapter 1 - Sebagian Ingatan

Udara tipis mengalir dari arah punggungku, menyentuh bahu dan mengalir melewati sela-sela lengan. Aku bisa merasakannya, cukup dingin hingga membuat sendiku bergetar. Langit gelap memang sudah sewajarnya membuat temperatur udara menurun.

"..."

Tapi ... Akan tetapi ... bukan itu penyebab utama tubuhku bergetar sekarang.

Di lorong kosong, aku duduk bersimpuh dengan seorang gadis di pangkuanku. Matanya bersinar berwarna hijau, rambutnya perak menyilaukan, dan pakaian berjubah unik dengan beberapa aksesoris cahaya di berbagai tempat.

Ivan ....

Gerak gadis itu terbata-bata, cahaya matanya meredup, warna rambutnya mulai menggelap. Aku merasakan gelombang emosi mengalir begitu pekat.

Aku ... takut.

Tangan kanannya terangkat setinggi dadaku, sangat pelan dan terasa menyakitkan hanya dengan melihatnya. Tenaganya begitu lemah untuk melakukan satu gerakan tersebut.

Telinga berdengung, jantung terpacu, tubuh menggigil, dan dada tertekan. Emosi yang dikeluarkan gadis membuatku ingin memeluknya dengan erat. Menghiburnya agar dia bahagia, menyelamatkannya dari segala penderitaan.

Aku menggenggam tangan itu dengan lembut, menyambut permintaan tolong yang dia keluarkan.

"Tenang ... aku di sini," kataku padanya dengan berat.

Aku ada di sisinya, aku tahu penderitaannya, aku tahu apa yang dia rasakan. Tapi, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya.

Ivan ... kamu ada di mana? Aku tidak bisa melihatmu ....

Gelombang emosi terus berlanjut, ketakutannya meledak memenuhi tubuhku. Wajah dan tubuhnya berhenti bergerak, yang bisa kurasakan hanyalah suara hatinya.

"Lia ... aku ada di sini."

Ivan ...? Ivan ... aku tidak bisa mendengarmu ....

Responsnya tubuhnya semakin lemah. Bahkan sekarang aku mulai merasakan gelombang emosi di tubuhnya mulai lenyap.

"Lia ... Lia ...."

Cahaya matanya hilang, begitu pun dengan warna rambutnya. Kristal di pakaian yang berwarna biru pun kini menjadi kelabu. Tenaga di tangan Lia hilang, perlahan jatuh meninggalkan genggamanku.

"..."

Gelombang emosi hilang, suasana malam kembali lepas dari pekatnya emosi yang keluar. Sekarang hanya ada suara serangga dan cahaya bulan. Tapi ....

Sakit.

Dadaku terasa sakit, benar-benar sakit. Seperti ada yang menusuk dan mencoba mencungkilnya keluar. Perasaan emosi yang kurasakan darinya digantikan oleh emosi lain. Sesuatu yang baru kali ini kurasakan. Emosi negatif yang benar-benar berasal dari tubuhku sendiri.

Gigiku menggeram, merasakan kekesalan karena sadar akan begitu tidak bergunanya diriku. Mataku mulai menutup, menahan kesedihan agar tidak keluar lebih jauh lagi.

Lia ... aku bersumpah akan menyelamatkanmu. Dengan seluruh kemampuanku, dengan semua tekad dan perasaan yang kurasakan sekarang.

Tidak peduli berapa lama ....

Tidak peduli berapa keras ....

Biarpun seluruh dunia berpaling memusuhiku.

Biarpun aku harus mengotori tanganku.

Mengorbankan seluruh yang kumiliki.

Aku ... Aku ....

Aku tidak akan memaafkan diriku sampai bisa menyelamatkanmu.

 

 

 

 

*****

 

 

Emosi adalah perasaan intens yang ditunjukkan kepada seseorang atau sesuatu, reaksi terhadap seseorang atau kejadian. Hal yang paling umum dari emosi adalah senang, marah, dan sedih. Tapi, tentu saja masih banyak yang lain.

Aku tidak tahu pasti alasan emosi itu ada, mungkin itu adalah salah satu bentuk telepati yang dimiliki demi meraih simpati pada setiap individu. Dengan adanya emosi, kita punya kemungkinan memberi tahu dan mengerti perasaan yang dimiliki satu sama lain.

Telepati. Bukan rahasia lagi kalau emosi itu bisa menular. Paling mudahnya adalah menguap, emosi itu bisa menular pada orang di sekitarnya untuk menguap juga. Tapi, penularan ini bukan lewat mata maupun pendengaran. Orang yang memiliki kebutaan pada matanya masih bisa membalas senyum orang lain, itu artinya emosi menyebar dari sesuatu yang berbeda di luar indra biasa.

"Van ... aku boleh lihat tugas matematika?" tanya salah satu teman sekelasku dari dalam kelas.

Aku sekarang sedang berdiri di gedung lantai dua. Menaruh lipatan tangan di dinding tembok pembatas yang langsung mengarah ke pemandangan luar. Menikmati angin dan menjauh dari orang-orang di dalam.

"Kenapa gak kerjain sendiri?"

"Ahahaha ... kemarin aku sibuk kerja kelompok. Aku sudah kerjain sebagian, tapi bukunya ketinggalan."

Asam.

Rasa tersebut menyebar di mulutku. Seakan dijejalkan asam jawa yang tercampur tanah, aku mendapat sinyal dari emosinya.

Heh, dasar pembohong. Aku yakin kalau orang ini hanya menghabiskan waktunya untuk bermain game. Dia tidak mengerjakan tugas hanya karena tahu kalau dia punya orang untuk dia salin tugasnya. Dengan kata lain, dia memanfaatkanku.

"Ambil saja di meja, jangan disamain semua."

"Sip ... aku ambil kalau begitu. Makasih Van."

Gurih.

Mendengar jawabanku, dia cukup senang dan bersemangat. Aku bisa merasakannya dengan menyadari rasa asam yang mulai hilang, digantikan dengan sesuatu yang mengarah ke gurih.

Namaku Kaivan. Aku orang yang bisa membaca pikiran ... atau lebih tepatnya merasakan emosi. Sesuai dengan arti katanya ... 'merasakan', yang berarti mencicipi dan tahu rasanya. Sebuah kemampuan yang unik, tapi sangat mengganggu. Aku sendiri sangat membenci kemampuan ini. Itu karena ....

Gkhah!?

Pahit.

Sesaat rasa itu muncul dimulutku bersamaan dengan rasa terkikis. Itu adalah emosi ketika ada orang yang menghinaku.

Melihat orang di sekeliling untuk mencari penyebab rasa tersebut, dan yang kutemukan hanyalah siswa tadi. Dari radius ini, cuman orang itu yang bisa memberikan efek tersebut.

Dasar tidak tahu diuntung. Jika kau ingin merendahkanku, jangan bergantung padaku.

Rasa pahit barusan datang karena siswa yang barusan menertawakanku di dalam hatinya, bangga karena bisa menipu dan membohongiku. Perasaan negatif yang walaupun sebentar akan terasa olehku. Inilah kenapa aku membencinya.

Jika teman sakit, aku juga ikut sakit. Jika teman sedih, aku juga akan sedih. Jika teman marah, aku malah mendapat kesakitan. Semua emosi itu bisa kurasakan dengan lidah dan seluruh kulitku.

Ketika aku dimanfaatkan, ketika aku dibohongi, ketika aku dikendalikan. Aku tidak punya pilihan selain harus menerimanya. Jika aku menolak, emosi negatif akan muncul dari orang-orang tersebut dan membuatku merasa lebih sakit.

Inilah kenapa aku menjadi babu dari semua orang di dunia.

Lalu ... bagaimana dengan perasaan positif?

Hah, itu semua tidak ada.

Jika ada salah satu teman yang mendapatkan kebahagiaan. Aku mungkin bisa merasakannya, tapi itu hanya sesaat. Rasa gurih dan lezat dirasakan ketika orang memiliki emosi senang. Tapi, perasaan negatif jauh lebih hebat menutupi itu semua.

Orang yang mendapat pencapaian akan memiliki perasaan sombong. Rasanya tidak enak, seperti makan rumput dan mengunyah selulosa keras. Belum lagi orang di sekitarnya, mereka akan memiliki rasa cemburu pada orang tersebut. Rasanya menyakitkan seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum kecil.

Jika aku harus bilang, perasaan negatif yang dicampur dengan positif, hasilnya akan negatif. Negatif dikali dengan positif hasilnya negatif, rasa enak dilidah tertutupi oleh rasa sakit dari emosi negatif, mereka jauh lebih kuat.

Waktu istirahat hampir habis, siswa-siswa mulai bergantian masuk ke kelas. Aku sendiri tetap di luar bertengger di tembok lorong balkon, bertahan sampai menit terakhir guru berjalan ke kelasku.

"Ivan ..." panggil seseorang yang berbeda dari samping, "kamu sendiri saja."

Aku sendiri karena aku memilih untuk sendiri. Kekuatan ini membuatku sangat sensitif dengan keramaian.

"Kamu juga ngapain ke sini?"

Orang tersebut adalah Farrel. Teman laki-laki satu-satunya yang paling dekat denganku. Kami sudah saling kenal dari SMP dan kebetulan kembali satu kelas tahun ini.

Dari semua orang yang kukenal, dia adalah orang yang polos dan sangat jarang berpikiran negatif. Itulah sebabnya aku bisa merasakan kenyamanan dengannya. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu, mungkin karena dia bodoh dan tidak sempat berpikir buruk.

"Biasa saja. Memang spot-ku di sini setiap hari, 'kan."

"Kali-kali gabung begitu, sama anak-anak lain."

Tidak. Itu neraka bagiku. Kemarahan mungkin akan tersulut jika aku terus berada di area penuh emosi itu.

"Aku sendiri karena aku mau sendiri, kapan kamu bisa ngerti, ha?"

Bahkan, jika orang-orang dari dalam kelas muncul mengerumuniku sekarang, aku akan pergi mencari tempat lain untuk menyendiri. Deteksi emosi yang kumiliki memang memerintahkanku untuk menjadi penyendiri.

"Ehehe ... aku memang gak bisa ngatur sih ...," ucap Farrel sambil ikut bersandar di pagar dinding balkon di sampingku, "tapi, Van. Katanya kamu bakal gantiin Nadya buat bersihin aula? Itu bener?"

Aku sedikit terkejut dengan ucapan Farrel, karena informasi itu benar.

"Dari mana kamu tahu?" tanyaku yang sedikit penasaran bagaimana cara dia mencari fakta itu.

"Semua di kelas juga tahu. Nadya orangnya memang begitu, jangan kamu kasih manja, nanti malah keterusan."

Kurasa sudah terlambat, bukan hanya dia yang kumanjakan. Beberapa orang termasuk laki-laki sudah kuberikan bantuan gratis. Untungnya di antara mereka semua tidak ada yang meminta uang jajanku.

"Biar saja. Aku juga gak ada kerjaan lain."

"Nadya juga harusnya bisa kerjain, malah memang tugas dia jadi anggota OSIS."

Tentu saja aku tahu, dia memanfaatkanku. Mungkin alasan sebenarnya adalah dia ada kencan dengan seseorang atau alasan kekanak-kanakan lainnya. Di saat dia menjelaskan situasinya, aku bisa merasakan rasa kebohongan.

"Gak apa-apa, Rel. Beresin aula paling setengah atau satu jam juga beres."

"Ck ... kapan kamu berubah. Mengalah memang bagus, tapi kamu juga harus pikirin diri kamu sendiri kalau mau selamat."

"Hehe ... bukannya kalau aku bantu orang kayak gini aku bakal disukain sama banyak cewek."

"Enggak, itu gak mungkin. Cewek itu mengerikan, kalaupun kamu bisa punya pacar pakai cara begitu, kamu cuman jadi pesuruh dan sumber uangnya saja."

Geh ....

Aku tahu kalau hal itu tidak mungkin, ucapan tersebut juga separuhnya adalah candaan. Tapi, Farrel yang menjawab dengan serius seperti itu malah membuatku terlihat semakin menyedihkan.

Kring, kring ...

Bunyi bel sekolah yang menandakan waktu istirahat berakhir. Mendengar itu, semua murid pun masuk dan mengikuti pelajaran selanjutnya.

*****

 

 

Arc 0 Stroberi : Chapter 2 - Gadis Jubah Putih

Waktu sekolah sudah berakhir, kami semua bisa meninggalkan kelas pada jam tiga sore. Tapi, aku tidak melakukannya. Di saat-saat seperti ini akan sangat banyak orang berlalu-lalang. Apalagi di waktu sore, di mana emosi negatif tentang kelelahan meledak-ledak.

Walaupun hari ini aku harus membersihkan aula, tetap saja aku harus menunggu satu jam setelahnya untuk mendapat area kondusif. Di sekitar aula juga banyak orang, aku tidak bisa bekerja dengan banyak gelombang emosi negatif menyerang.

Aku bersiap keluar dari kelas, memasukkan barang ke tas, dan berjalan menuju spot diamku. Tempat itu lebih nyaman bagiku, terasa lebih sejuk dan lebih jauh dari keramaian. Tidak sedikit siswa yang berdiam diri di kelas hanya karena ingin bersama temannya lebih lama.

“Ivan,” panggil orang di belakangku, dari suaranya itu adalah Farrel, “kamu mau ke bersihin aula sekarang? Mau kubantu?”

Aku tidak merasakan rasa kebohongan atau sesuatu yang jelek seperti, ‘tolong tolak, ini cuman formalitas saja aku menawari bantuan’. Yah, tidak seperti itu, kurasa dia tulus.

“Aku bakal beresin aula mungkin jam empat atau jam lima ... dan kamu gak usah bantu, Rel. Ini tugas yang sudah aku ambil, tanggung jawab ada padaku.”

Orang yang mau menerima semua permintaan dan dengan bodohnya dimanfaatkan orang lain. Aku tidak mau membagi bebanku pada Farrel. Bisa jadi dia mulai mengeluarkan emosi negatif jika dia menampung sebagian pekerjaanku.

“Beneran?”

“Iya ... mending kamu urus saja urusanmu sendiri. Atau kalau mau pulang, pulang saja.”

“Kamu bilang kayak begitu tapi malah mau ngurusin kerjaan orang.”

“...”

Aku juga tidak suka seperti ini.

“Oke, terserah kamu. Tapi, kalau kamu beneran mau dibantu, bilang saja.”

Aku mengangguk untuk mengakhiri percakapan. Entah kenapa dia benar-benar mengkhawatirkanku. Rasa asam bercampur dengan bau obat merah muncul di mulut.

Asam adalah sinyal emosi orang yang sedang mengalami kecemasan. Sumber emosi tersebut banyak macamnya, untuk cemas yang didasari perasaan khawatir, mereka akan terasa lebih enak, gurih, dan tidak membuatku sakit. Berbeda dengan kecemasan dari orang yang menyembunyikan kebohongan, mereka akan terasa lebih pahit.

Tempat ternyaman di sekolah ini hanyalah kamar mandi. Di sana tidak ada perubahan emosi yang besar, orang-orang yang berlalu lalang cenderung ingin membuang hajat dan membasuh badannya.

Banyak yang bilang kalau aroma di sana tidak sedap, tapi itu tidak berasa apa-apa untukku. Bau yang encer dan tipis tersebut tidak sebanding dengan yang biasa kurasakan.

Aku menghabiskan waktu dengan bermain gadget di sana. Dan setelah satu jam berlalu, aku pun mulai menuju ke aula untuk menyelesaikan tugasku.

Sesuai dugaan, kondisi sekitar aula sudah lebih kondusif, rata-rata siswa sudah pulang ke rumahnya.

Hn?

Tapi, begitu aku sampai di depan pintu aula, ruangan itu sudah terbuka, menandakan ada orang di dalam. Aku melihat sepatu yang ditaruh di dekat pintu. Dari model sepatunya, bisa dipastikan kalau pemiliknya adalah seorang siswa.

Gubruk, bruk ....

Suara gaduh terdengar, itu seperti sebuah kursi yang digeser dan ditaruh dengan sedikit kasar. Apapun itu, aku bisa tahu kalau orang tersebut sedang melakukan tugas yang seharusnya kulakukan.

Aku mendekat ke pintu, mendekatkan tubuh dan melihat ke dalam aula. Di sana ada seorang gadis, aku tidak ingat namanya, tapi aku tahu kalau dia salah satu petugas OSIS.

“Hn? Ada apa? Kamu belum pulang?” tanya gadis tersebut yang sadar akan keberadaanku.

Kalau tidak salah, Nadya bilang aula ini dipakai oleh sekolah sebagai tempat seminar kemarin. Tugasnya yang dilempar padaku adalah membersihkan sampah dan membereskan kursi lipat untuk ditumpuk di sisi ruangan.

“Aku dari kelas A, tadinya aku mau datang gantiin Nadya buat bersihin aula.”

“Ah ... telat banget. Aku baru saja selesai.”

Benar. Aula yang kulihat sekarang sudah bersih. Jejak sampah gelas plastik dan kardus kotak nasi sudah tidak ada, kursi-kursi lipat yang seharusnya tersebar di seluruh ruangan pun telah rapi ditumpuk di samping.

“Nadya gak bilang kalau ada orang lain yang bersihin aulanya.”

“Iya, memang gak ada. Harusnya ini jadi hukuman dia gara-gara sering bolos OSIS. Tapi, aku kasihan biarin dia sendiri. Eh ... tapi waktu mau bantu dianya malah gak ada.”

Kenapa orang seperti Nadya bisa masuk jadi pengurus OSIS? Bukankah seharusnya orang-orang di sana diwajibkan punya tanggung jawab yang tinggi.

“...”

Harum? Segar?

Baiklah, kesampingkan tentang Nadya.

Aku sekarang mendapati rasa mint dan senyawa ester di mulut, semacam aroma buah-buahan. Ini adalah perasaan puas dan lega. Aku biasa merasakan ini pada orang yang baru saja menyelesaikan ujian sekolah. Perasaan yang melambangkan kalau dia terbebas dari sesuatu yang membebaninya.

Tapi, kami ada di awal bulan kedua pada tahun ajaran baru. Seharusnya tidak ada ujian besar yang kami kerjakan. Itu berarti, emosi yang dia pancarkan murni berasal dari urusan pribadinya.

“Kamu boleh pulang, kok. Bersihin aulanya sudah beres ini,” ucap gadis itu sambil berbalik dan melihat ke langit-langit.

“...”

Bohong.

Aku bisa merasakannya, mungkin dia masih mau melanjutkan pekerjaan ini ketika aku pergi. Karena refleks, aku mengikuti arah pandangnya ke atas.

Hmn ....

“Kamu mau bersihin jaring laba-laba di atas?” tanyaku yang melihat kekacauan tersebut, “mau aku bantu?”

“Eh, gak usah.”

“Gak apa-apa. Aku juga sudah terlanjur datang. Lagian kamu juga susah ‘kan bersihin yang tinggi-tinggi kayak begitu.”

Berdasarkan besar tubuhnya yang setara rata-rata wanita di Indonesia. Lebih mudah jika aku yang menyelesaikannya dan membuat dia cepat pulang.

Awalnya dia sedikit ragu. Tapi, dia mulai tergerak ketika melihat aku yang mulai menaruh barang di aula, tanda kalau aku tidak berniat pulang.

“Kalau begitu, kamu bisa ambil sapu panjang di gudang? Yang gagangnya panjang banget,” ucapnya sambil memberikan kunci padaku.

Aku mengangguk dan mengambilnya. Daripada pergi tanpa pencapaian apapun, aku lebih baik lelah sedikit dan membantu gadis ini. Emosinya terasa nyaman untuk bisa kucicipi lebih lama.

Gedung alat kebersihan terletak tidak terlalu jauh, hanya berbeda satu lorong dengan aula di sana. Tapi, yang membuatnya sulit adalah membawa benda panjang keluar dari ruangan sempit. Butuh sedikit trik dan kesabaran sampai akhirnya bisa kubawa dengan selamat.

“...”

Apa ini?

Ketika aku kembali ke aula, aku merasakan sesuatu yang ganjal. Di depan pintu ruangan tersebut, sebuah gelombang emosi besar muncul. Mengibaskan dada dan hatiku, membuat detak jantung berdetak cukup aneh.

Harum? Segar?

Lagi-lagi, perasaan dari gadis OSIS itu tercicip oleh indraku.

Ghuk, ghuak ....

Tapi, anehnya ... emosi yang kuraskan sekarang begitu pekat. Walaupun itu adalah sebuah emosi positif, entah kenapa tubuhku bereaksi buruk terhadapnya. Kepalaku mulai terasa pusing, nafasku jadi tidak beraturan, dan konsentrasiku terganggu.

Ini terlalu pekat, udara di sekitarku terasa mengental, mulutku seperti dijejalkan rasa manis dari buah secara terus menerus.

“...”

Ketika kebisingan, kita bisa menutup telinga. Ketika mencium bau busuk, kita bisa menutup hidung. Akan tetapi, kekuatanku tidak punya tombol off, yang bisa kulakukan hanyalah memegang kepala dan berharap rasa tersebut memudar sendirinya.

Hal ini tidak wajar, biarpun aku tersiksa dengan kumpulan emosi ini. Aku penasaran dengan apa yang terjadi pada gadis OSIS barusan.

Dua langkah cepat untuk masuk ke aula, aku melempar sapu yang kubawa agar bisa bergerak lebih lincah.

“...!?”

Benar-benar, apa yang terjadi di sini?

Gadis OSIS barusan berada pada posisi ‘T’, dengan kedua tangan diangkat sejajar bahu secara horizontal, seperti posisi keseimbangan menyeberangi jembatan sempit. Matanya tertutup, sepertinya tidak sadarkan diri. Tubuhnya juga terlihat kaku, seakan ada yang mengikat dan menahan tubuhnya.

Tapi, aku sudah tahu petunjuk dari semua ini.

Gadis OSIS itu tidak sendiri sekarang. Ada gadis lain di hadapannya. Dia memakai jubah putih yang menutupi punggung sampai ke lututnya. Memegang pisau bermotif unik melengkung dengan berlian hijau menggunakan kedua tangan. Mengarahkannya pada gadis OSIS itu sambil tegak berdiri dua meter di hadapannya.

 

 

*****

 

 

Arc 0 Stroberi : Chapter 3 - Dasar Pencuri

Emosi pekat yang awalnya memancar akhirnya memudar sedikit demi sedikit. Dengan begini aku bisa berpikir dan bertindak dengan baik.

“...”

Tapi, bagaimana aku menanggapi ini? Menghadapi gadis berjubah yang sedang menodongkan pisau pada orang lain.

“Aa ...,” dengungku sambil berusaha berpikir kata apa yang tepat.

Apa aku tanya saja dengan santai seperti tak ada yang aneh?

“Jadi, ini lagi apa? Akting buat latihan pentas?”

Aku ingin sekali mendapat penjelasan dari gadis OSIS tadi. Dalam hati terdapat niat untuk memanggil, tapi aku belum tahu namanya. Sebelum keluar dari aula, belum sempat aku menanyakannya.

“...”

Gadis berjubah itu tidak bicara. Respons yang dilakukannya adalah menarik todongan pisau untuk disarungkan, lalu melirik ke arahku. Alih-alih membalas pertanyaan tadi, dia malah melongo melihat tangan dan pakaiannya sendiri.

*Whoush

Bingung?

Gelombang emosi muncul. Gadis berjubah itu mengeluarkan emosi yang terasa melambung dengan aroma jejamuan. Rasanya tidak begitu kuat, tapi cukup mengganggu di tengah kondisiku sekarang.

Aku melirik ke arah gadis OSIS. Dia masih memejamkan mata dan sepertinya tidak akan bangun untuk waktu yang lama. Tidak ada pergerakan emosi darinya, layaknya orang yang sedang tidur pulas.

Jika ini memang akting, seharusnya gadis OSIS itu membuka matanya dan menjelaskan ini padaku.

*Shine, shine, shine

Ngiiiing ....

Hn?

Suara bising yang konstan layaknya peringatan dari mesin error. Bunyi itu semakin keras sehingga aku dan gadis berjubah yang mendengarkannya pun menutup telinga.

Clink.

Sebuah cahaya terang muncul dari samping. Cukup menyilaukan hingga aku memicingkan mata, merentangkan tangan untuk melindungi penglihatanku.

“Woah!?”

Cahaya itu semakin besar. Bahkan terlalu terang untuk aku bisa melihat sumbernya.

“...!?”

Ketika aku memicingkan mata dan menghindari arah sumber cahaya tersebut. Tidak sengaja pandanganku mengarah ke gadis berjubah. Dia tidak bicara, tapi wajah dan semburan emosinya melambangkan kalau dia sedang panik.

Tapi ... apa ini?

Cahaya itu terasa seakan semakin mendekat. Terasa hangat dan lezat. Indra pembaca emosiku merasakannya seperti itu.

Ngiiiing ...

Suara melengking itu semakin keras. Frekuensinya semakin tinggi seakan dia mau meledak. Lalu ....

*Whoush ....

Ghuak!

Tubuhku terhempas, ada sesuatu yang membuatku jatuh. Aku tidak melihat akibat cahaya silau barusan. Tapi, yang pasti ada dorongan kuat kuterima di bagian dada. Rasa shock-nya membuat paru-paruku berhenti sejenak.

Aku bisa merasakan tubuhku terbaring. Namun, aku tetap tidak bisa menggerakkannya. Setiap ruas tubuhku seperti terputus dari kendali otak. Bahkan mataku sendiri masih tetap tertutup.

Hn?

Rasanya hangat. Aku merasakan ketenangan sekarang. Sesuatu yang sudah jarang kutemui, kondisi yang membebaskanku dari emosi negatif orang-orang.

Dalam pandanganku yang tertutup, muncul bayang-bayang bergerak layaknya film. Di sana aku melihat seorang laki-laki, dia cukup gagah dan tampak ceria dengan teman laki-laki lainnya. Sudut pandangku berada di tempat yang buruk, sekitar seperempat terhalang oleh tembok dan beberapa orang di samping. Namun, dari tempat dan lingkungannya, aku dapat memastikan kalau itu adalah sekolahku.

Aku sudah lama banget deket sama dia. Tapi, kenapa dia gak pernah sadar sama perasaanku. Kapan kamu sadar? Aku sudah tunggu kamu dari dulu.

He? Apa itu? Apa itu isi pikiran dari seorang gadis? Aku tidak bisa melihat orang dibalik kalimat tersebut. Bayang-bayang ini membuatku memandang dunia dari sudut pandang orang yang berpikir itu.

Sekelibat bayangan itu tiba-tiba hilang. Digantikan oleh bayangan dan latar baru.

Kenapa Kak Reza sudah gak kayak dulu. Dia sekarang malah lebih fokus sama basket dibanding main sama aku.

Lagi. Aku mendapat sudut pandang dari gadis lain yang sedang melihat pertandingan basket. Sepertinya orang tersebut adalah kekasih gadis ini. Dia melihat salah satu pemain basket dari samping lapang, duduk bersama dengan beberapa gadis lain.

Kembali berganti. Aku seperti diajak jalan-jalan oleh pikiranku sendiri.

Apa perasaan ini salah? Apa aku dilarang untuk bahagia? Jika memang aku tidak boleh mendapatkan cintanya, kenapa perasaan ini tumbuh begitu besar?

Kenapa? Dari semua orang yang kutemui, kenapa aku jatuh cinta padanya? Orang yang sudah punya kekasih.

Apa itu? Apa dia gadis OSIS barusan? Dia ternyata punya beban pikiran seperti itu, padahal waktu aku bertemu dengannya di aula, emosi bahagianya sangat jelas kurasakan.

Semua ingatan tersebut masuk ke dada dan kepalaku. Perasaan dan pemikiran mereka sekarang tertanam di tubuhku. Aku tahu apa yang mereka lalui dan mereka raih. Tidak semuanya berjalan mulus, tapi mereka sudah berusaha dan mendapat hasil yang menurut mereka memuaskan.

Cahaya putih mulai memudar, perlahan aku mulai mendapat sensasi tubuhku kembali. Ketika kesadaranku pulih, aku sudah tidak merasakan ledakan emosi yang sebelumnya ada di ruangan ini.

Hn?

Asam ...?

Kali ini emosi yang berbeda, emosi yang dialami orang pada umumnya, sebuah kepanikan kecil dan ketidakpastian menghadapi suatu kejadian.

Aku mencoba bangkit, mengubah posisi terlentang menjadi duduk. Dengan begitu aku bisa melihat sekeliling dengan lebih jelas.

Brrrh ....

Aku merasakan sendiku bergerak cepat pada satu waktu, disusul dengan sedikit dengung di telinga. Dari cemas, berganti takut.

Aku melihat gadis itu membeku melihat sebuah botol kaca yang kosong. Botol tersebut bukan stoples biasa, bentuknya terlalu kecil, lebih seperti botol parfum yang memiliki motif rumit bagai simetris berlian.

“...”

Dia melihatku.

“...”

Lalu berganti melihat botolnya lagi.

Sepertinya gadis berjubah itu masih tidak mengerti apa yang terjadi. Aku tidak bisa jelaskan, karena jika dia tidak mengerti, apalagi aku yang orang asing. Dari tadi aku masih menunggunya bicara untuk menjelaskan semua ini.

*Whoush ....

Dug, dugh ...

Heh!?

Gelombang emosi lainnya, kali ini sangat kuat. Aku merasakan pedas di mulut dan perih di pori-pori kulit. Mataku yang merasakan ini sampai mengeluarkan air mata.

Gawat.

Aku tahu ini. Aku tahu perasaan ini, hanya satu kejadian yang menimpaku ketika merasakan emosi ini.

Dug, dug ... dug, dug ....

Jantungku ikut terpacu. Darahku seakan naik dan menyalakan adrenalin. Semua gula di tubuh diproses menjadi energi dalam sekejap, aku bisa merasakan tubuhku menjadi ringan karena kerja insulin yang didobrak naik.

“HUAaaaAAaaKhHh ....”

Tiba-tiba dia berteriak. Cukup keras hingga membuatku terkejut mendengar itu dari gadis.

“Woa-woakh ....”

Bugkh.

Gadis berjubah itu berlari mendatangiku dengan memukulkan gagang pisau yang dia bawa. Wajah polosnya berubah menjadi sangar. Aku bahkan terkejut ada gadis yang bisa membuat wajah penuh urat seperti itu.

Karena refleks, aku menahan ayunan gagang pisaunya dengan kedua tanganku. Walaupun cuman gagang kayu, tapi tetap sakit jika benda tersebut dihantam ke muka.

Kemarahan. Ketika aku merasakan rasa pedas sekuat ini, maka adu jotos akan terjadi. Aku pernah menonton perkelahian, aku juga pernah membuat kesal teman priaku, dan hal yang serupa kurasakan sekarang.

“Pencuri ...,” kata gadis itu dengan suara serak. “Dasar pencuri!!”

Pencuri? Apa dia sedang membicarakanku—

Gkh, akh, akhgn ....

Kekuatan yang luar biasa. Dia secara brutal mendorongku dengan tenaganya. Membuatku semakin mundur dan terpojokkan.

Sial.

Nafasku mulai habis, tenagaku mulai melemah, kedua tanganku juga sudah kehabisan darah. Jika terus memaksa menahannya, tanganku mungkin akan patah.

Sebenarnya ada apa dengan gadis ini?

 

 

*****

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!