Aku tahu sedikit aneh ketika dia menolak bantuan dari Amalia. Awalnya aku kira kalau dia dalam kondisi tidak bisa melawan karena punya suatu kelemahan besar. Seperti semacam aib yang ketiga orang itu pegang untuk ancaman tetap diam.
Namun, jika memang begitu ... seharusnya sikapnya pada Amalia lebih ramah. Menolak dengan kasar berbeda dengan pasrah pada keadaan. Ini seperti dia sendiri yang memilih, dan marah ketika ada yang mengganggu pilihan tersebut.
“Aku tidak suruh pakai make up. Cukup sisir rambutmu dengan rapi, atur pola tidur, dan belajar tersenyum.” Kataku yang sudah menghabiskan roti. “Bentuk wajah dan tubuhmu dari awal sudah bagus, sangat normal kalau sebelumnya banyak pria yang tertarik. Jadi, kenapa gak coba—”
“...!?”
Gelombang emosi. Imarine melesatkan pukulan kanannya ke kepalaku.
Buk.
Gkhg!?
Aku memicingkan sebelah mata, menggeramkan gigi, dan mengibaskan lengan kiri barusan yang digunakan sebagai tameng serangan Imarine. Biarpun pukulan gadis itu berhasil dibelokkan ke arah lain, hantaman keras itu cukup untuk membuat tanganku terluka.
“Heh ... hehehe ...,” dehamku yang masih menahan rasa sakit. “Kalau kamu punya tenaga sekuat barusan, harusnya kamu bisa lawan mereka. Berlaga keren dengan memberi mereka pelajaran, bikin mereka kapok biar kamu bebas dari—”
“Berisik! Aku gak butuh bantuan kalian,” bentaknya yang memotong kalimatku.
Dug, dug ....
Emosi kemarahan terus mengalir masuk ke mulutku. Rasa pedas, mata perih, dan dada terpacu terus meningkat. Aku berlagak tenang, tapi sebenarnya aku menahan agar tidak terbawa emosinya.
Beberapa detik aku terdiam, menahan semua emosi yang dia keluarkan hingga tubuhku benar-benar stabil.
Aku sangat jarang melakukan ini, menprovokasi keluarnya emosi negatif dari seseorang, itu sama saja seperti tindakan melukai diri sendiri bagiku. Gelombang emosinya ... naik turun secara drastis dan membuatku merasa sakit.
“Kalian? Bukannya aku sendiri di sini?” tanyaku kembali dengan nada santai.
“Pura-pura bodoh? Palingan kamu kacungnya si cewek bisu itu, ‘kan?”
“Kacung? Ahaha ... entah kenapa terdengar imut kalau kamu yang bilang—”
*Whoush ....
Kenaikan gelombang emosi.
Hn!?
Aku segera menarik kepala ke belakang. Kursi tanpa sandaran kududuki memungkinkan tubuhku melayang miring seperti bermain limbo. Jika tanganku tidak berpegangan pada alas kursi, aku mungkin sudah jatuh ke belakang.
Gadis itu mencoba melakukan pukulan lagi. Dengan tangan kanan mengarah ke kepala secara horizontal. Mirip seperti tamparan, tapi dengan kepalan tangan.
Ah, sial.
Gbruk.
Pada akhirnya aku kehilangan keseimbangan. Ancangan ke belakangku kala itu terlalu kuat, membuat gaya yang kukeluarkan tidak terhentikan dan akhirnya jatuh. Beruntungannya aku jatuh di rumput, tidak terlalu sakit walau kepala yang mendarat lebih dulu.
Ketika aku terkapar dengan kepala di bawah dan kaki tertinggal di alas kursi, Imarine malah berjalan meninggalkanku. Aku mendengar langkah kaki dan merasakan gelombang emosi yang semakin menjauh.
“...”
Baiklah. Untuk sementara mungkin aku hentikan saja sampai di sini. Menghampirinya mungkin akan memberiku efek kebencian yang lebih parah.
Baru kali ini aku menemukan orang yang tidak suka dipuji. Biasanya perempuan akan mengeluarkan emosi bahagia sekecil apapun pujian itu. Aku tidak merasakan dia tidak suka, biasanya pujian yang berlebihan membuat beberapa orang jijik, dengan begitu emosinya akan terasa pahit. Namun, kali ini berbeda, gelombang emosi Imarine penuh dengan kemarahan.
Hmn ....
Tapi, ngomong-ngomong ... posisi terbalik dengan kepala di bawah ternyata cukup nyaman. Beberapa saat aku berpikir tanpa mengubah posisiku. Sensasi ketika darah mengalir ke otakku cukup memberikan kesegaran terhadap kesadaranku. Belum lagi permukaan rumput taman yang menusuk-nusuk permukaan kepala dan wajah bagian atas.
Hehe.
Walaupun tetap saja jika terlalu lama akan memberikan rasa pusing.
Aku bangkit dari tempat itu, bergerak dari taman menuju aula. Karena tugas mencari informasi hari ini sudah selesai, aku di sana hanya perlu menunggu Amalia dengan laporan pengintaiannya.
Sekolah yang kutempati sekarang didesain seperti memiliki dua wilayah. Dengan ruang aula sebagai penengah, aku bisa menamakan wilayah barat sebagai area publik siswa, dan wilayah timur sebagai area khusus.
Imarine barusan makan di area khusus, taman yang dimiliki sekolah cukup dilindungi dari sentuhan murid-murid. Tumbuhan-tumbuhan itu dirawat baik oleh beberapa pihak, jadi sangat dilarang untuk menginjakkan kaki di sana.
Area khusus tidak memiliki tempat umum kecuali perpustakaan. Sisanya adalah tempat-tempat khusus yang memang jarang dilewati murid-murid biasa.
Aku berjalan dari sisi timur aula dan memutar menuju ke barat.
Terlihat perubahannya, aura ketenangan sekolah yang kurasakan diganti oleh riuk ramai suara teriak orang-orang. Di area publik siswa ini, terdapat lapangan luas yang kami pakai untuk segala urusan dari mulai upacara hingga olahraga.
Di sisi inilah Amalia melakukan tugasnya. Imarine diam di area khusus untuk menghindari orang-orang, tetapi ketiga orang itu seharusnya masih nyaman di area publik siswa karena sangat dekat dengan kantin.
Setelah sampai di selasar aula sisi barat, aku berdiri menunggu sambil melihat pemandangan siswa-siswa yang bermain di lapangan. Di sana terdapat siswa laki-laki yang bermain sepak bola. Walaupun sekarang jam istirahat, mereka tetap mengambil waktu untuk melakukan pertandingan. Mungkin tujuannya adalah ingin memanaskan tubuh sebelum jam olahraga benar-benar dimulai.
Oh ... akhirnya dia datang.
Setelah sekitar sepuluh menit berlalu, aku pun melihat Amalia, dia berlari kecil ke arahku melewati selasar gedung murid kelas dua. Dengan pakaian berjubah, rambut putih, dan berlian yang sedikit bercahaya, aku bisa menemukannya dengan mudah di keramaian sekolah ini.
“Hah ... hah ...,” napasnya yang terengah-engah setelah sampai di hadapanku.
“...”
Tapi, aku mengambil dua langkah mundur untuk kembali membuat jarak. Bukan hanya karena gelombang emosinya, tetapi sesuatu dalam diriku yang lain juga menolak berdekatan dengannya.
“Amalia ..,” panggilku dari jarak tersebut. “Mungkin agak telat buat bilang ini .... Tapi, kamu gak malu pakai baju kayak begitu?”
“...!?”
Sebelumnya aku tidak merasakan hal ini karena teralihkan oleh hal lain. Berbeda dengan sekarang yang aku bisa melihatnya dengan jelas, pakaiannya begitu kontras dengan murid-murid lain. Membuat aku yang melihatnya pun ikut merasakan kejanggalan.
Bukannya kamu yang suruh aku kayak gini?
“Haha ... oke, maaf. Kamu juga gak kelihatan sama orang lain, jadi mungkin gak masalah—”
Bug.
Ada objek yang bergerak cepat, mata dan refleksku merespons, itu adalah bola sepak yang melayang dari arah lapangan.
“Woi, awas!” teriakku pada Amalia.
Bola itu melesat dari arah lapangan menuju aula tempat kami berdiri. Menurut bentuk lengkungan dan kecepatan yang diperkirakan otakku, benda itu akan mengenai gadis tersebut.
“...?”
Amalia tidak menghindar, dia cenderung membuat ekspresi bingung sambil melihat ke samping dengan perlahan. Respons lambatnya membuat dia tidak melakukan hindaran sama sekali.
Bugh.
“...!?”
Aku tidak sempat melindungi Amalia, jarakku terlalu jauh karena sebelumnya aku melangkah mundur menjauh karena gelombang emosi dari menstruasinya. Akibatnya terjanganku hanya membuat aku dan Amalia mendekat.
*Whoush ....
Ghuakh!?
FEEDBACK ...!
Gelombang emosi.
Amalia tidak sempat menghindar, bola tersebut terkena bahunya dan terpental kembali ke lapangan. Dia tidak teriak, tapi wajah dan gelombang emosinya yang berteriak.
Tentu saja Amalia merasakan sakit akibat hantaman itu. Dia mulai memegang bahunya dan secara otomatis mengubah posisi ke setengah berdiri sambil menggeram bisu.
Brukh.
Akhtnm ... Hfgmn ... Hah ... hah ....
Sedangkan aku ... aku terjatuh. Kehilangan tenaga di kaki secara total karena merasakan timbal balik luar biasa. Seakan ada yang mencungkil isi kepalaku, seakan mataku ingin keluar dari tempatnya, rasa sakit ini begitu besar hingga aku tidak bisa bergerak banyak.
Ini semua karena Amalia.
Ketika menstruasi, kulit wanita akan jadi sensitif. Sedikit saja tumbukan bisa membuat mereka marah. Aku mengerti perasaan itu, aku benci dengan pria yang menganggap remeh hal tersebut. Wanita saat itu sedang menahan rasa sakit luar biasa, dan aku adalah laki-laki yang bisa merasakannya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments