Aku berjalan menuju kamar mandi. Bukan buang hajat, tapi justru ingin makan. Beberapa makanan dari bekal istirahatku tersisa sedikit akibat tingkahku yang menyesuaikan Imarine. Akan tetapi, memakan sisanya di sekitar area tersebut berkemungkinan untuk kami bertemu kembali, itu akan menimbulkan rasa canggung. Jadi, pilihan terbaik untuk menyendiri adalah kamar mandi.
Duut, duut ....
Handphone di sakuku bergetar, tanda pesan masuk dari seseorang.
Amalia : Kaivan, gimana kabarnya?
Kaivan : Aku sehat.
Amalia : Bukan kamu, maksudnya kabar Imarine.
Aku tahu, tapi tentu saja yang barusan bukan kesalahanku. Dia sendiri yang menggunakan kalimat ambigu.
Kaivan : Dia masih gak mau cerita, mungkin agak sedikit susah buat bujuk orang kayak gitu.
Yah, apa boleh buat. Aku di sini orang asing baginya. Jika posisi kami dibalik, aku juga tidak ingin orang baru yang sok dekat mencampuri masalahku.
Tapi, dia perempuan, dan perempuan punya kemungkinan untuk berbagi masalahnya lebih baik daripada laki-laki. Itu artinya, bukan tidak mungkin jika aku terus melakukan pendekatan dan dia akan membuka hatinya.
Amalia : Begitu, yah. Sebelumnya juga makasih buat bantuan kamu, Van. Harusnya ini semua tugasku, tapi kamu malah kebawa masalah.
Kaivan : Aku gak sengaja ambil mana punyamu, ‘kan? Kejadian itu yang menyebabkanku seperti ini, bukan berarti itu salah kamu.
Perjalanan menuju kamar mandi selesai, tapi aku tidak masuk ke dalam. Kondisi di sekitar tempat tersebut tidak terlalu ramai, jadi tindakan mengisolasi diri tidak dibutuhkan. Dengan mengambil tempat duduk di teras, aku menghabiskan sisa makanan barusan. Setengah potong roti, satu batang wafer kemasan, dan sebotol air mineral.
Duut, duut ....
Amalia : Aku coba buat ikutin Azarin yang bully Imarine. Istirahat tadi, kotak bekal dia berantakan kayak ada yang sengaja kocok-kocok.
“...”
Dari semua kejadian yang ada, kenapa Amalia selalu membawakan informasi ini. Aku tidak peduli, tidak ada sangkut pautnya kasus pem-bully-an dengan kotak bekal berantakan. Apa dia suka memperhatikan kesialan orang lain?
Iya, tapi ... hal yang lebih penting sebelum itu.
Kaivan : Bukannya kamu hari ini istirahat?
Amalia : Aku gak enak kalau cuman kamu yang kerja. Tadi itu kebetulan saja mereka lewat, jadi aku gak perlu cari-cari mereka lagi.
Hmn ... aku senang dengan usahanya. Tapi, kuharap dia bisa mengumpulkan informasi yang lebih berguna. Aku tidak ingin mengomentarinya sekarang, hari ini dia tidak dalam kondisi baik.
Kaivan : Ngomong-ngomong ... kenapa kamu gak pakai HP saja dari awal? Buat ngomong sama orang lain ... kenapa malah susah-susah tulis di catatan?
Amalia : Maksudnya pakai HP ke semua orang? Aku gak mau kasih nomorku ke semua orang. Terus HP juga gak bisa aku pakai terus, kadang bisa habis baterai, atau waktu pelajaran yang kita gak boleh main HP.
“...”
Sebenarnya alasan-alasan seperti itu bisa diselesaikan. Berbicara lewat Handphone dengan metode note juga sangat mungkin dilakukan, tidak perlu menyebar nomor telepon. Masalah baterai bisa diatasi dengan power bank, dan untuk aturan sekolah bisa lewat negosiasi pengecualian.
Aku lebih bisa menerima kalau orang bisu sekarang menggunakan Handphone sebagai pengganti mulutnya. Jika pun tidak demikian, seharusnya dia bisa menguasai bahasa isyarat untuk keadaan darurat, menulis di catatan manual itu jauh lebih merepotkan.
Dari tingkah lakunya, aku merasa kalau dia cenderung terlalu panik terhadap lingkungan sekitar. Aku pernah bertemu orang buta, dan orang itu cenderung berperilaku cukup tenang. Berbeda dengan Amalia yang mudah kaget, terpacu jantungnya, dan uring-uringan yang disebabkan karena dia tidak bisa menjawab dengan mulut bisu.
Aku akan langsung ke intinya.
Kaivan : Amalia ... sebenarnya kamu itu gak bisu, ‘kan? Kamu cuman gak bisa bicara.
Amalia : Maksudnya?
Kaivan : Kamu bukan terlahir bisu, kamu cuman gak bisa bicara karena suatu hal. Waktu kita pertama ketemu di aula, kamu pernah berteriak padaku. Apa kamu ingat?
Amalia : Ehehe ... sebenarnya aku gak enak bahas kejadian di aula. Waktu itu aku bukan aku yang normal. Tapi, memang iya, kamu bener, Ivan. Aku gak bisa ngomong gara-gara kontrak sama Pero, bukan bisu dari lahir. Tapi, kenapa tiba-tiba jadi bahas ini?
Aku hanya sedikit penasaran, belakangan ini kita belum benar-benar bicara secara mendalam. Kejadian berjalan begitu cepat dan datang bulannya malah lebih dulu menjemput.
Kalimat Amalia di ‘aku bukan aku yang normal’, itu cukup menjelaskan. Jujur saja, tentang kejadian di aula waktu itu aku sendiri tidak begitu keberatan hingga membencinya, lebih seperti aku penasaran ada apa dibaliknya. Tapi, pembicaraanku dengan Pero lebih mengarah ke tugas pencarian mana. Sisa penjelasan yang aku pikir bisa ditanya pada Amalia malah terhalang karena kondisi menstruasinya sekarang.
Kaivan : Kamu dengar pembicaraanku sama Pero, ‘kan? Aku sudah tahu kekuatanmu, menggunakan emosi untuk mengubahnya jadi kekuatan baru. Tapi, kenapa waktu di aula kamu bisa bicara? Apa itu ada hubungannya?
Ketika di aula, tepatnya ketika dia menyemburkan gelombang kemarahan, ucapan yang keluar dari mulutnya hanya teriakan dan bentakan. Lalu, setelah dia terjatuh dan menyemburkan gelombang rasa malu, ucapan yang keluar hanyalah permintaan maaf.
Walaupun secara fisik dia bisa bicara, tapi aku tidak merasakan kemanusiaan di balik perkataannya waktu itu.
Amalia : Sebelumnya Pero bilang ke kamu kalau aku gak bisa pakai kekuatanku, 'kan. Itu tuh beneran, aku memang gak bisa. Waktu aku pakai kekuatan itu, aku kehilangan kontrol dan entah kenapa kayak ada orang lain yang ngendaliin tubuhku. Makanya aku gak pernah berlatih, karena takut aku kesadaranku gak bisa kembali.
“...”
Apa itu seperti sleep paralysis? Menggunakan kekuatan dan dirinya akan tertidur? Aku pernah takut tertidur karena waktu itu aku sedang sering mengalami sleep paralysis. Rasanya seperti setiap detiknya aku kehilangan kesadaran. Perasaan mengerikan yang menyebabkanku berpikir apa aku akan mati atau bisa bangun lagi.
Kaivan : Aku gak akan memaksa. Kalau kamu mau ikut kata Pero dan berlatih menggunakannya, aku akan bantu. Tapi begitupun sebaliknya, kalau kamu terlalu takut dan gak mau ambil risiko, aku juga gak akan minta kamu buat pakai kekuatan itu.
Amalia : Kamu gak apa-apa? Bukannya aku yang gak bisa ngendaliin kekuatan itu bikin kamu kesakitan?
Itu juga ada benarnya, akan sangat membantu jika dia bisa menggunakan kekuatan tersebut dan menghilangkan penderitaanku. Tapi, dia sedikit keliru tentang aku yang bisa merasakan emosinya ketika berlatih. Ketakutan atau bahkan kegilaannya ketika menggunakan kekuatan itu bisa kurasai dampaknya. Itulah mengapa persiapan mental jauh lebih penting sekarang.
Kaivan : Keselamatanmu lebih utama, rasa sakit ini tidak seberapa jika harus kurasakan lebih lama.
Oke, mungkin seperti begitulah kira-kira.
Kring ... kring ....
Suara bel masuk berbunyi. Mendengarnya aku pun berdiri membereskan sampah makananku dan segera menuju kelas.
*Whoush
“Hh!?”
Gelombang emosi. Bergerak cepat muncul dan kembali hilang dari radius deteksiku. Ini hal yang sama dengan yang pernah kurasakan sebelumnya. Walaupun refleksku cepat melihat sekeliling, tapi itu tidak membantu untuk menemukan sumber gelombang barusan.
Apa ini ... entah kenapa aku merasakan sesuatu yang merepotkan akan tiba.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments