Keesokan harinya, di istirahat makan siang, aku kembali memulai tugasku mendekati gadis korban bully bernama Imarine. Waktu itu dia terlihat tidak senang dengan kedatanganku, beberapa pukulan bahkan dia lakukan untuk mengusir pengganggu sepertiku. Biarpun begitu, dia tetap tidak boleh ditinggal sendiri begitu saja.
Berdiri di aula, menunggu kedatangan Amalia. Tentu saja aku harus melakukan meeting kecil-kecilan sebagai tanda tugas dimulai.
Duut, duut.
Getar Handphone di sakuku.
Amalia : Aku ada di samping
Pakaiannya sama seperti siswa sekolah lain, itulah yang membuatku tidak langsung menyadari keberadaannya barusan. Posisiku berdiri menghadap taman, bagian samping adalah selasar aula yang menghubungkan banyak gedung, tempat untuk orang berjalan menyusuri sekolah.
“...”
Gadis itu diam menyembunyikan tubuhnya di balik tembok aula mengintipku. Memang aku menyuruhnya untuk menjauh begitu, tapi ternyata melihatnya seperti ini malah membuat perasaan seolah dia takut padaku.
Aku berjalan mendekat setidaknya pada jarak yang kukira aman, sekitar lima sampai sepuluh meter. Dari jarak ini, aku sudah merasakan gelombang emosi yang kuat. Terasa kalau memang dia merasakan sakit yang lebih parah dibandingkan kemarin.
“Kalau kamu mau, kamu istirahat saja di kelas. Hari ini aku bakal coba ngomong sama Imarine lagi sendiri.”
Gadis itu mengetik pesan di handphonenya. Di jarak seperti ini aku masih sulit membaca tulisan di catatan kecil miliknya.
Amalia : Sebenarnya aku memang kesusahan sekarang. Tapi, apa gak apa-apa pergi sendiri? Kalau kamu mau juga, kamu bisa ikut istirahat, Ivan. Gak enak kalau cuman aku saja.
“Enggak, ini sedikit rumit. Kalau aku bolos hari ini, Imarine bisa saja menjauh.”
Menjauh yang benar-benar menjauh. Lari sampai tidak bisa kujangkau lagi. Saat di mana dia benar-benar menutup hatinya. Waktu itu dia masih menjawab pertanyaan dan merespons tindakanku, sikapnya menunjukkan kalau aku masih punya kesempatan.
Amalia : Kalau begitu, aku harap kamu berhasil. Sebelumnya aku juga bilang makasih.
Begitulah isi pesan sebelum kami berpisah. Dilihat dari gejalanya, kurasa dia ada di fase keram perut yang bahkan membuatnya malas bergerak. Aku tidak ingin memaksanya, melakukan tugas pada kondisi buruk biasanya menghasilkan hasil yang buruk pula.
Aku berjalan menuju taman dekat perpustakaan di mana sebelumnya pernah makan di sana. Namun, hari ini Imarine tidak ada, tempat itu kosong. Kurasa dia berpindah karena pertemuan denganku kemarin.
Kemungkinan kecil untuk Imarine pergi ke area siswa yang ramai. Jadi, jika dia ingin berpindah untuk menyendiri, tempat barunya seharunya tidak jauh dari sini.
Heh, apa dia ingin bermain petak umpet denganku? Aku dengan kemampuan deteksiku ini tidak pernah kalah dalam permainan tersebut.
Dari taman perpustakaan aku mulai berkeliling, mencari gelombang emosi yang dikeluarkan oleh Imarine, bau sampah organik. Dari sudut ruang guru sekolah lalu balik lagi menuju bangunan tak terpakai.
Haha ... berjalan berkeliling seperti ini membuatku merasa seperti metal detektor.
Tak lama ketika aku dekat ke bangunan tak terpakai, gelombang emosi tersebut mulai terasa. Arahnya berasal dari sudut sekolah yang memiliki lahan gersang. Tempat di mana di sana ada ruang tak terpakai yang dipenuhi oleh sampah bangunan.
“...”
Benar, di sana terdapat gadis yang duduk di kursi teras ruang tak terpakai, bersama dengan banyak sampah bangunan dan set meja rusak. Tidak aku sangka kalau melihat gadis makan sendiri dari kejauhan terasa begitu menyedihkan.
“Yo ... kebetulan sekali kita ketemu lagi,” sapaku pada Imarine sambil mengambil duduk di sampingnya.
Imarine mengeluarkan emosi marah dan kebencian. Rasanya cukup pedas dan pahit, tapi saat ini bisa kutahan dengan baik.
“Kenapa kamu di sini?”
“Karena aku sekolah di sini. Aku ‘kan bilang kebetulan, karena sebenarnya tempat ini juga pernah jadi tempat makanku.”
“Kamu cuman ngikutin aku, ‘kan?”
“Ya, aku memang melakukannya.”
“Heh, ternyata ada juga orang yang langsung ngaku kayak gitu.”
“Sayang sekali, aku benci kebohongan.”
Kursi yang diduduki Imarine berada di dekat tumpukan set meja tak terpakai. Meja dan kursi tersebut terbuat dari kayu dan membentuk gunung sampai menyentuh langit-langit teras di bangunan. Gadis itu mengambil salah satu kursi dan dipakai untuknya sendiri. Sedangkan aku tidak ingin menambah pekerjaan dan duduk seadanya di lantai.
“Buat apa kamu repot-repot urusin masalahku?”
“Aku ingin membersihkan sekolah. Keberadaan orang-orang bermasalah kayak kamu bikin gelombang emosi di sekitarku terasa menjijikkan.”
“Hah? Kamu ngomong apa?”
“Intinya, aku mau membantumu karena aku ingin melakukannya. Itu hanya masalahku sendiri.”
“Aku gak butuh bantuan,” ucapnya sambil bergegas untuk pergi.
Pergerakan Imarine tentu bisa kulihat, maka dengan cepat aku pun berdiri mengikuti persiapannya. Gadis itu mulai berjalan, lalu aku mengikuti langkahnya di belakang.
“...”
Tapi, hanya beberapa langkah, dia langsung berhenti karena sadar telah dibuntuti.
“Buat apa kamu ikut?”
“Aku gak mau ninggalin kamu sendiri.”
“’Kan sudah kubilang kalau aku gak butuh bantuan.”
“Terserah, aku di sini atas keputusanku, bukan persetujuanmu.”
“...”
Imarine maju dua langkah, dan aku mengikutinya tiga langkah.
*Whoush ....
Gelombang emosi ... kemarahan.
Gadis itu kembali berhenti. Mengikuti gelombang emosinya, dia berbalik dan melangkah ke belakang dengan cepat.
Hn!?
Aku yang sadar akibat kekuatanku pun langsung memasang posisi siaga.
Bug.
Imarine melakukan pukulan, menggunakan putaran 180 derajat sebagai ancang-ancang memperkeras tenaganya. Pertahananku menggunakan dua tangan layaknya atlet tinju, melindungi kepala dari serangan tersebut.
“...”
Ukh ... cukup sakit. Aku bisa merasakan sensasi perih di tangan. Bekas pukulan yang terbentuk bahkan membuat bercak merah. Ini mengingatkanku pada pertemuan pertama dengan Amalia.
“Ahaha ...,” tawaku untuk membawa suasana ke arah yang lebih santai. “Ima, bagaimana cara kamu bisa mukul sekuat barusan? Kamu pernah ikut bela diri?”
“Enggak.”
“Kalau begitu dari mana? Apa kamu ikut ekskul olahraga kayak voli?”
“... Bukan urusan kamu.”
“Oh, ternyata dari voli, yah. Apa pukulan barusan sama kuatnya kayak smash kamu—”
*Whoush ....
Oke, satu lagi.
Imarine kembali memukul. Tapi, aku bisa menghindar dengan mudah. Posisinya yang sekarang tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pukulan pertama. Serangan kedua barusan lebih seperti berontak anak kecil yang imut.
“Kenapa kamu suka sekali memukul? Aku cuman ingin membantumu.”
“Pergi sekarang juga. Tindakan itu yang aku sebut membantu.”
“Hah ...,” hela nafas panjangku menanggapinya. “Kamu gak mau dibantu, kamu gak mau melawan, tapi juga gak berusaha buat bikin mereka berhenti nge-bully. Apa ini yang mereka sebut kelainan? Apa kamu masokis?”
“...”
“Ah, tentu saja bukan. Aku merasakan emosi sedih dan depresi waktu itu. Kamu sendiri tidak menginginkannya, benci dengan keadaanmu sekarang ... tapi, kamu juga cenderung diam. Apa kamu punya alasan sendiri?”
“...”
Imarine tidak menjawab. Dia hanya menundukkan kepala menghindari tatapanku. Berbeda dengan respons sebelumnya yang cenderung mengabaikan, kali ini dia seperti membeku mendengar kalimat barusan.
“Baiklah, aku gak akan maksa. Cerita saja kalau kamu mau cerita. Aku bakal tetap di sini temenin kamu makan,” ucapku sambil berjalan meninggalkannya.
Perasaanku bilang kalau aku berdekatan dengannya lebih lama lagi hari ini, itu hanya akan membuat efek balik. Dia juga mungkin perlu waktu sendiri untuk berpikir tentang apa yang kukatakan barusan.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments