WIH #3

Happy Reading!

Diana menjerit nyaring, gadis itu berlari menuju pintu yang terbelah dua dan terletak tak jauh dari keberadaannya. Karena ia yakin, pintu itu pasti jalan utama keluar dari rumah ini.

Namun, ia sudah mencoba membukanya beberapa kali bahkan dengan sekuat tenaga sekalipun, pintu itu tidak tergerak atau memberi celah sedikitpun untuknya.

Tangan Diana bergetar hebat, matanya meredup takut, ia merasa jiwanya sudah diujung tanduk, suasana yang hening terasa begitu mencekam meski cahaya mentari cukup terang di ruangan itu.

"Mau kemana pagi-pagi begini?"

Spontan Diana berbalik, punggungnya sedikit mendobrak pintu ketika suara berat itu kembali mengalun.

Pria bertubuh tinggi dengan pakaian serba hitam yang melekat di tubuhnya, tengah berdiri dengan jarak beberapa meter darinya. Ia memasang ekspresi yang sulit ditebak, sementara kedua tangannya ia simpan dalam saku jubahnya.

"S-siapa kau?!" Diana menunjuk pria itu dengan tangan gemetar, "mau apa kau membawaku kemari huh?!!" bentak Diana memberanikan diri.

Pupil Diana bergetar, lalu teralih pada sebuah payung yang ditaruh tak jauh dari tempat ia berdiri. Dengan segera, tangannya menyambar payung itu dan mengarahkannya ke hadapan pria yang sama sekali tak merubah posisinya.

"Mau apa kau? Keluarkan aku dari sini selagi payung ini tak melayang ke arahmu," ancam Diana dalam gumaman namun mengalun jelas di telinga pria itu.

Senyap kembali menengah sebelum kaki pria itu melangkah maju dari posisi sebelumnya dan terhenti oleh teriakkan Diana.

"Aku peringatkan kau sekali lagi untuk diam di sana dan jangan coba-coba mendekatiku," lagi-lagi Diana melayangkan ancaman, sebelah tangan Diana meraba ganggang pintu mencoba mengotak-atik berharap menemukan kunci yang melekat di sana.

Pria itu menghela nafas pelan, raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa takut pada ancaman gadis itu, "letakkan payung itu, Diana," titahnya dengan nada tenang.

Diana menggeleng cepat dengan dadanya naik turun, sementara matanya terus melekat pada pria di depannya, mengawasi bila ada gerak-gerik yang mencurigakan.

Mata Diana beradu cukup lama dengan tatapan dingin nan tajam milik pria itu. Kini keberanian Diana telah sirna, matanya sudah tak mampu menatap mata pria asing itu yang lama kelamaan membuat dirinya semakin tercekat. Diana menggedor-nggedor kencang pintu itu seraya berteriak minta tolong meski dengan suara yang gemetar.

Melihat tindakan Diana, pria itu memajukan langkahnya mempersempit jarak diantara mereka.

Diana meluruh duduk, tangisnya pecah di ruangan itu, ia sudah menyerah akan ini. Tenaganya benar-benar habis dimakan ketakutan yang luar biasa.

Pria itu menekuk lutut, menatap Diana yang sudah tak berkutik dengan suara tangisnya. Perlahan tangannya terangkat, menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah Diana ke belakang telinga, membuat darah gadis itu berdesir hebat.

"Aku tak mengerti kenapa kau begitu takut padaku, apa yang membuatmu begini? Apa karena kita sudah terlalu lama untuk bertemu?" pria itu menatap sendu, "maafkan aku, harus menurunkanmu ke bumi dan membiarkanmu sendirian di sini."

Diana sama sekali tak mengerti apa yang didengarnya barusan, ia terlalu takut untuk mempertemukan matanya dengan manik mata pria itu, "pulangkan aku, aku tidak mau disini ... tolong jangan bunuh aku ..." Diana berucap lirih yang sama sekali tak mendapat balasan dari pria itu.

Alis tebal milik pria dengan nama Ronald Sean Blaxland mengernyit samar. Ia menghela nafas sejenak sebelum akhirnya kembali membuka suara, "aku akan memulangkanmu jika memang itu yang membuatmu tenang," ucapnya kemudian.

Diana melirik sekilas pria di sisinya, entah kenapa timbul perasaan aneh ketika dirinya berdekatan dengan Sean.

"Tapi setidaknya ..." Sean menggenggam lembut tangan Diana, meluruskan jemari lentik itu sebelum ia menyematkan sebuah cincin silver ke jari manis Diana.

Tangis Diana mereda, matanya menatap lekat cincin itu yang sangat pas di jarinya, ia sama sekali tak berontak ataupun menolak pemberian cincin itu. Diana akui, benda ini memang indah dengan ukiran yang unik, namun itu sama sekali tak menghapus emosi atas perilaku pria itu yang sudah menculik dan menodai bibirnya.

" ... setidaknya cincin itu selalu terpasang di jarimu walaupun kita tak bertatap mata." Sean menyungging senyum kecil di wajahnya.

"Sekarang kau bisa pulangkan aku?" Diana mendongak ke samping dengan pelan, tangannya mencengkeram erat ujung pakaiannya yang sejak tadi belum diganti.

Ekspresi Sean berubah datar, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Diana dengan alunan lambat membuat kepala gadis itu menempel erat pada pintu yang tadinya sempat ia gedor.

Tangan pria itu mengusap rambut Diana yang sudah berantahkan, "jangan sampai kau berhubungan dengan pria lain selain diriku, Diana, jagalah hati suamimu ini. Aku akan selalu mengawasimu dimanapun kau berada."

Mata Diana membesar usai Sean melontarkan kalimat terakhirnya. Tiba-tiba Diana disilaukan oleh cahaya putih yang begitu terang hingga memaksa matanya untuk terpejam dengan erat.

Berselang detik kemudian, Diana membuka matanya ketika cahaya itu sudah tak lagi menyorot penglihatannya. Tiba-tiba saja dirinya sudah berada di kamar yang tak lain adalah miliknya sendiri, ia duduk di tengah ranjang dengan tubuh membatu.

"Dia bukan manusia ...?"

Tring.

Ponsel Diana berdering kala mendapat notifikasi pesan dari nomor yang tidak dikenal. Penasaran, jempol gadis itu menyentuh pesan nomor tersebut.

JAGA KESEHATANMU DIANA. AKU AKAN SELALU MENGIRIM MAKANAN UNTUKMU

^^^DARI MANA KAU TAHU NOMORKU??^^^

LUPAKAN SOAL ITU, AKU TAK INGIN JIKA SAMPAI KAU MELEPAS CINCIN ATAUPUN ENGGAN MEMAKAN MAKANAN DARIKU.

JIKA KAU LAKUKAN ITU, KAU AKAN KUHUKUM!

"Memangnya kau siapa huh?! Berani-beraninya mengatur kehidupanku!" maki Diana lalu membanting ponselnya ke ranjang disusul hentakkan tubuhnya ke kasur dan berakhir menutup sekujur tubuh dengan selimut putih.

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" lirihnya dalam kegelapan.

Senyap sempat menengah sebelum akhirnya pecah oleh alunan dering ponsel. Diana menyibakkan selimutnya, tanpa sepatah kata pun ia mengangkat panggilannya yang tertera nama LEORA lalu menempelkan layar ponselnya pada daun telinga kiri.

"Diana! Kau baik-baik saja?! Dimana kau?! Katakan padaku!"

Diana sedikit menjauhkan ponselnya ketika seruan Leora terasa mendobrak gendang telinganya, "Leora, aku ..."

"Katakan yang benar! Kau dimana, huh?! Cepat kirim lokasinya, aku akan menjemputmu dan menghajar habis-habisan si penculik itu!"

Diana mencoba untuk bicara namun suaranya terus tertahan oleh suara Leora yang dilanda panik nan khawatir.

"Leora ... Aku di rumah--"

"Di rumah?! Jangan bercanda! Setelah dirimu menghilang, sekolah kita memutuskan untuk membubarkan kemah dan memulangkan kita semua! Dan kau, kau pulang diam-diam??"

"A-aku--"

"Kami semua khawatir, Diana! Dan kenapa kau tidak mengangkat telpon kami sama sekali?? Kau sengaja membuat kami khawatir, huh?!"

"Leora, maafkan aku! Ini bukan saatnya untuk membicarakan itu, sekarang aku baik-baik saja. Aku ingin kita bertemu, ada hal yang ingin kubicarakan, ini sangat penting!" sahut Diana langsung, seketika jantungnya berdegup kencang ketika kepalanya terlintas kejadian aneh yang baru dialaminya. Di sisi lain, ia sangat bersyukur pria itu tidak melakukan hal lebih selain berciuman.

"B,baik, kita bertemu di Coffee Shop, dan aku akan mengajak Clair."

Diana mengangguk sebelum akhirnya memutus panggilan dan beranjak pergi hanya dengan jaket yang sebelumnya ia gantung di belakang pintu kamar.

...WHO IS HE?...

...To be continue ......

Visual Clair guys :3

Terpopuler

Comments

Mommy Gyo

Mommy Gyo

5 like hadir Thor salam cantik tapi berbahaya

2021-05-28

1

Fira Ummu Arfi

Fira Ummu Arfi

hadirrr 💙💙💙💙💙

2021-05-17

1

Rosni Lim

Rosni Lim

Rate 5

2021-05-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!