Laut pada malam hari begitu tenang, angin yang berhembus perlahan membuat diri semakin larut ke alam mimpi. Langit yang dipenuhi bintang-bintang menambah indahnya sinar rembulan malam.
"Sungguh nyaman malam ini, tidur di bawah sinar rembulan yang indah. Aku bersyukur masih bisa memandang indahnya bintang, semoga esok akan lebih cerah."
Zen yang terbaring di atas dek kapal, bergumam pelan saat memandang langit malam yang indah.
"Kau terlihat begitu menyedihkan Zen, maaf sudah melibatkan dirimu dalam situasi seperti ini."
Arnius menepuk pelan pundak pria paruh baya tersebut, kemudian duduk disebelahnya.
"Sejak kapan kau bertemu dengannya?"
Zen kembali berucap.
"Siapa? Genta?"
Arnius tersenyum kecil melihat gerakan kepala Zen.
"Mungkin sudah hampir setahun aku bersama dengan Genta. Kenapa? kau tidak perlu takut padanya. Dia memang telah ditakdirkan untuk menjadi binatang ilahi, setidaknya itu yang dikatakan guru kami."
Arnius kembali bercerita. Ia teringat saat pertama kali bertemu dengan seseorang yang kini telah menjadi sahabatnya serta bagian dari dirinya. Genta seolah telah menunggu kedatangannya di tepi hutan pada saat itu. Seorang pria seumuran dengannya, yang terkesan urakan dan juga selalu ceria.
Setelah mengingat sedikit kejadian yang baru saja mereka alami di eagle rock. Arnius sudah bisa memastikan, bahwa Genta telah merasakan kehadirannya dan menunggu kedatangannya di tepi hutan tersebut, setahun yang lalu. Saat ia masih berusaha mencari keberadaan Eiji dan juga paman Zaka yang telah terpisah darinya setelah sekian lama.
Laut yang tenang membuat keduanya terlelap di bawah sinar rembulan. Eiji tersenyum kecil melihat kakak yang selalu dikaguminya sejak dulu. Dia kembali teringat saat terpisah dengan sang kakak, Arnius yang baru berusia enam tahun begitu berani melawan para perampok demi menyembunyikan dirinya, walaupun akhirnya mereka harus terpisah karena para perampok membawa Arnius kecil yang telah bersusah payah melawan.
"Hei .. Apa yang sedang kakak pikirkan hingga senyum-senyum sendiri?"
Tepukan pelan Keiko pada pundak Eiji, membuyarkan lamunan pemuda tersebut.
"Aku teringat saat-saat kami terpisah dahulu, kami masih sangat kecil saat itu. Tapi dia begitu berani dan mampu berpikir cepat walaupun kami harus terpisah pada akhirnya. Entah apa yang telah dilaluinya tanpa kami bersamanya."
Eiji memejamkan matanya, tak mampu membayangkan apa yang telah dialami sang kakak.
"Ya .. aku bisa melihat dari kenangan yang tersisa pada batang pohon penyangga rumah kalian dulu. Kalian begitu berani, walau masih sangat kecil pada saat itu."
Keiko memeluk erat tubuh Eiji. Gadis itu masih mengingat setiap gambaran yang dilihatnya dari beberapa sisa air yang menyimpan semua kenangan tersebut.
"Ayah dan ibu baru bercerita tentang kalian setelah ayah sembuh dari kecelakaan pada penelitian yang dilakukannya dulu."
Keiko kembali bercerita.
"Ayah berusaha mencari kalian, pada saat ia harus melakukan perjalanan untuk mencari bahan penelitian. Hingga ayah memutuskan untuk membeli lahan di Nagano, ayah sudah memperkirakan semuanya. Termasuk jalur pelarian kalian, namun sayangnya aku tidak sempat bertemu dengan nenek. Aku begitu gembira pada saat ayah mengatakan bahwa aku memiliki dua orang kakak dan juga paman serta nenek."
Keiko semakin erat memeluk lengan kekar Eiji.
"Ayah Yaza memang yang terbaik. Bahkan ayah bisa memperkirakan keberadaan kami, karena kebiasaan paman dan juga nenek yang hanya seorang petani. Jika bukan karena perampokan pada malam itu, mungkin nenek masih bersama dengan kita saat ini. Semuanya mungkin sudah ditakdirkan oleh sang pencipta, jadi kita tidak perlu menyesali semuanya. Bukankah saat ini kita semua sudah berkumpul kembali, jadi jangan sampai kita terpisah lagi."
Eiji membalas pelukan hangat sang adik.
"Kau tidak mengijinkan aku memelukmu juga cantik."
Genta mengedipkan sebelah matanya saat melihat interaksi kakak beradik yang berada di hadapannya.
"Sudah malam aku ingin beristirahat, awasi baik-baik gadis itu. Jangan sampai ia melarikan diri, aku masih ingin bertanya sesuatu padanya."
Keiko mulai melangkah meninggalkan tempat itu, seraya menunjuk ke arah Sayuri yang masih duduk bersama Wu Ling dan yang lainnya.
"Pasti calon permaisuri ku."
Genta tersenyum menggoda.
"Masih belum menyerah rupanya, kau masih saja menggoda Iko."
Eiji tersenyum kecil melihat Keiko yang masih saja mengabaikan Genta.
"Aku tidak akan pernah menyerah. Pergilah tidur, dia akan menjadi burung penjaga malam ini."
Genta mendongakkan kepalanya, melihat Kin Raiden yang duduk di atas tiang kapal.
"Aku masih bisa mendengar suaramu, sekalipun aku sedang tertidur."
Kin Raiden menguap lebar.
Eiji hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah dua mahkluk yang selalu saja berdebat. Ia merebahkan tubuhnya di samping Arnius.
"Hei burung aneh, jangan sampai lengah. Aku merasa semakin banyak yang mengawasi kapal ini dari kejauhan."
"Ya .. aku juga merasakannya ular aneh. Kita semakin mendekat ke pulau itu."
"Kalian benar, mungkin besok pagi kita sudah bisa melihat pulau itu."
Genta dan Kin serentak menoleh kearah Sayuri yang berdiri tidak jauh dari mereka.
"Gadis ikan, siapa kau sebenarnya? kenapa kau begitu memiliki banyak pengawal."
Kin Raiden menunjuk kearah ikan-ikan yang selalu saja berenang mengikuti Classic pearl.
"Hal itu juga yang ingin aku tanyakan kepada dirimu, tuan putri. Kau adalah putri dari ratu Ochi, aku benar bukan?"
Ucap Keiko yang sudah berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Maaf saya telah berbohong. Benar, saya adalah putri dari ratu Ochi."
Sayuri tertunduk dihadapan Keiko.
"Aku hanya ingin melihat dunia luar, ibu tidak pernah mengijinkannya, jadi kali ini aku berhasil meyakinkannya bahwa kalian adalah orang baik dan kuat. Aku bisa aman bersama kalian."
Sayuri kembali berucap dan berjalan ke dinding kapal.
"Apa yang akan kau lakukan nona?"
Genta menghalangi langkah Sayuri.
"Tubuhku tidak seperti dirimu, dalam waktu beberapa jam tubuhku harus kembali terkena air. Jadi aku ingin menceburkan diri ke laut."
"Kau bisa menggunakan air yang ada di penampungan."
"Kalian lebih memerlukan air itu daripada diriku. Lagi pula kalian tidak akan mendapatkan air bersih kembali, sekalipun di pulau itu nantinya."
"Biarkan aku membantumu."
Keiko mengibaskan tangannya, seketika air laut menjulang tinggi dan mendekati Classic pearl. Keiko meneteskan sedikit demi sedikit air laut itu keatas tubuh Sayuri.
"Terimakasih nona, aku sudah lebih baik."
Pandangan Sayuri selalu saja tertuju pada sabuk emas yang melilit di pinggang ramping Keiko.
"Kau menginginkannya."
Keiko mengerti arti tatapan Sayuri.
"Sekalipun aku menginginkannya, aku tidak bisa memilikinya. Maaf nona aku hanya penasaran dengan benda itu, dia memang telah memilih tuannya."
Sayuri bersiul kecil, sesaat kemudian ikan-ikan yang tadinya selalu berenang mengikuti Classic pearl menjauh dan hilang di telan lautan.
"Kenapa kau menyuruh mereka pergi?"
"Nona, kami hanya ditugaskan untuk menghalangi setiap kapal yang ingin menuju ke Bunin. Dan di depan adalah daerah terlarang bagi mereka para pasukan laut, jadi saya menyuruh mereka kembali ke istana laut. Sebaiknya kita memanfaatkan malam ini untuk beristirahat, karena besok kita akan sangat sibuk dan akan menjadi hari yang begitu melelahkan."
Sayuri dan Keiko kembali ke ruangan masing-masing untuk beristirahat. Kin Raiden terlihat sudah pulas tertidur di atas tiang kapal, Genta juga ikut merebahkan tubuhnya di atas lantai kapal.
Matahari pagi masih belum sepenuhnya mengeluarkan sinarnya, terlihat Zen sudah berdiri memegang kemudi kapal menggantikan Wu Ling yang telah berjaga semalam. Zen tersentak saat melihat dinding es tebal yang muncul disekitar kapal.
"Kin."
Keiko berteriak sambil berlari keluar dari dalam ruangannya.
Kin Raiden yang sudah berubah menjadi Phoenix seutuhnya dan berusaha menarik Classic pearl agar terbang lebih tinggi.
Teriakkan Keiko serta suara pekik burung membangunkan seluruh awak kapal. Dinding es yang dibuat oleh Keiko mulai terlihat retak akibat pukulan dari setiap tentakel yang dimiliki oleh seekor gurita besar.
Keiko membuat puluhan pisau es dan menghujam ke setiap tubuh gurita setelah dinding es yang ia buat hancur berkeping keping.
Zen yang baru saja menyadari situasi yang terjadi segera menambah kecepatan kapal agar segera keluar dari bahaya.
"Selamat pagi, kalian sudah melihat menu makan pagi kali ini? mari musnahkan mahkluk itu atau kita yang akan menjadi santapannya."
Keiko kembali berteriak sambil terus melesatkan pisau es ke tubuh gurita besar.
"Aku lebih suka memakan burung panggang."
Genta meluncur dan menyerang gurita itu dari berbagai sisi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments