Deringan bel berbunyi nyaring dan sorakan semangat orang-orang mewarnai satu sekolah saat jam istirahat. Teman-temanku yang sudah letih dengan matematika seketika berangkat dari tempat duduknya dan berlarian keluar dari kelas dengan penuh gairah seperti mayat yang bangkit dari kuburnya.
Aku yang telah mengumpulkan tugas matematika di depan kelas kemudian pergi meninggalkan kelas. Ada suatu hal yang belum selesai, yaitu mengembalikkan tempat makan Emery yang ia berikan kepadaku kemarin. Suasana di koridor cukup ramai dengan kumpulan-kumpulan orang-orang yang saling terkikik dan tertawa.
Sampai akhirnya aku berada di depan pintu kelas 11C. Namun sepertinya aku tidak melihat kehadiran Emery disana. Mungkin saja ia sedang pergi ke kantin. Lalu aku masuk ke dalam kelasnya dan perempuan yang berada di sekelilingku menatap dengan kebingungan ke arahku.
“Jadi yang Freda katakan kemarin itu benar?” gumamku dalam hati sambil memutar kepalaku memandangi sekitar yang terus mengawasiku. Aku bertanya dengan seorang teman kelasannya yang sedang duduk di bangku depan.
“Permisi, apa kau melihat Emery.” tanyaku sopan kepadanya. Tapi dia hanya diam menatapku dengan wajah ternganga. Aku menjadi kebingungan dibuatnya.
“Permisi.” ucapku mendekatkan wajahku kepadanya dengan wajah kebingungan. Namun wajahnya yang merona hanya terdiam mangap menatapku seperti dihipnotis.
“Halooo…” tuturku kepadanya sambil menganyunkan tangan di depan wajahnya. Akhirnya ia tersadar bahwa ada sosok diriku tepat di hadapannya.
“E—Eh? Iya. Maaf…” balasnya dengan ekspresi panik tersipu malu dan seperti tidak tahu harus berkata apa.
“Apa kau melihat Emery?” Aku mengulangi pertanyaannya lagi.
“Dia sedang berada di ruang klub drama.” jawabnya dengan wajahnya yang masih sedikit panik. “Baiklah. Terima kasih.” ucapku kepadanya sambil tersenyum. Dia hanya bisa meresponku dengan wajah yang masih termangu. Tak lama setelah aku meninggalkannya beberapa perempuan datang menghampirinya. Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi.
“Apa yang terjadi dengannya? Padahal aku hanya bertanya…” tanyaku bingung dalam hati.
Aku yang tidak pernah mengelilingi sekolah menjadi kebingungan dengan letak ruangan klub drama itu. Waktuku seperti terbuang sia-sia karena hanya memutari beberapa tempat yang sama. Tidak lama kemudian aku berpapasan dengan Hart lalu ia menyapaku dan datang menghampiriku.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Hart bingung sambil memegang roti isi kesukaannya. “Apa kau tahu di mana ruang klub drama berada?” tanyaku.
“Kau di sekolah selama ini ngapain saja, sih?” tanya Hart geregetan kepadaku. “Bahkan gedung tempat kau belajar saja tidak tahu?” imbuhnya dengan nada sedikit tinggi. Aku menjadi merasa bersalah padanya.
“A—Aku kan hanya sering berada di kelas.” jawabku gugup. Hart kemudian hanya bisa menarik napas sebal.
“Inilah pentingnya mengenali lingkungan dan keluar dari zona nyaman.” ujarnya berlagak sombong. Kata-kata yang keluar dari mulutnya membuatku tidak mengerti dengan maksud ucapannya tersebut.
“Zona nyaman?” tanyaku bucah dan penasaran.
“Iya. Selama ini kau hanya mau menikmati lingkungan yang sudah akrab denganmu. Kau sesekali harus keluar dari lingkungan itu dan mencari lingkungan.” lanjut Hart menjelaskan.
Namun perkatannya yang belibet-libet membuatku semakin tidak menangkap inti penjelasannya. Tapi aku sempat takjub dengan ucapannya yang tidak seperti biasanya dilontarkan dari mulutnya.
“Wah, kau filosofis sekali.” pujiku padanya. Sontak ia menunjukkan ekspresinya yang berangai congkak. Lantas aku kembali bertanya kepadanya.
“Tapi… Lingkungan seperti apa yang kau maksud?” tanyaku polos kepadanya. Mendengar pertanyaanku membuatnya geleng-geleng kepala.
“Haduh… Kukira kau pandai dalam segala hal.” hembusnya menyindir kepadaku. “Ya sudahlah, sini ikuti aku.” lanjut imbuhnya kemudian menunjukkan jalannya kepadaku.
Hart pun menuntunku ke tempat yang ku tuju. Ternyata ruangan tersebut berada di gedung yang berbeda dengan kelasku. Aku harus menyeberangi lorong jembatan yang terhubung dengan kedua gedung tersebut di lantai dua. Dari luar sudah terdengar bahwa terdapat orang di ruangan tersebut. Lalu aku mengetuk dan membuka pintu sementara Hart ada di belakangku.
“Permisi.” ucapku pelan.
“A—Adelard?” tutur Emery sambil terkejut. Seketika wajahnya memerah. Hanya ada Emery sendiri di dalam. “Ekhem. Baiklah aku ke kelas duluan, ya.” cakap Hart sambil menepuk bahuku kemudian meninggalkanku. Aku kemudian masuk dan memberikan tempat makan tersebut kepadanya.
“Terima kasih banyak. Aku jadi tidak enak padamu.” tuturku pelan sambil tersenyum malu kepadanya.
“T—Tidak apa-apa. Aku hanya…” ucapnya sembari mengambil tempat makan dari tanganku. Wajahnya makin memerah seperti apel. Lalu ia memalingkan wajahnya dariku. Aku tidak mengerti maksudnya. Sepertinya ia merasa terganggu dengan kehadiranku.
“Maaf kalau aku mengganggu.” ucapku tersenyum sambil menunduk kepadanya. Matanya yang berkaca-kaca lantas berkata, “Maaf aku ada urusan mendadak.” Ia pergi begitu saja berlari tanpa menutup pintu. Aku tidak paham sama sekali apa yang terjadi dengannya dan apa yang telah kuperbuat padanya.
“Apakah aku menyebalkan?” gumamku bertanya-tanya.
Bersambung~
Sekiranya jika cerita ini seru dan menarik, mohon berkenan untuk setia mendukung dan sebar luaskan ke pembaca lainnya :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 200 Episodes
Comments
🌸EɾNα🌸
ceritanya keren ditunggu up nya Thor 👍
jangan lupa feedback ke ceritaku ya
"Kekasih Simpanan Tuan Muda"
makasih 🥰
2021-01-14
0