Pemudi berwajah pas-pasan berambut gimbal nuansa merah muda menyambut Nerta dengan serius, seolah Nerta adalah kekasihnya yang sempat menyakiti perasaan wanita dewasa itu, tetapi kini mereka mulai bicara sungguh-sungguh mengenai presensi Nerta di sini.
Adanya permintaan Nerta untuk menemui ketua sekte Udnih; Jida. Sayangnya sempat diinterupsi oleh sesosok pria nyentrik bin nyeleneh yang menebas sebilah pedang emas menuju leher keras Nerta. Dan kalau bukan karena pertolongan wanita berwajah pas-pasan yang menyentaknya itu, Nerta mungkin sudah tewas.
Nerta menunduk dan tebasan horizontal pedang itu berkelebat di atas kepalanya. Seper-sekian detik setelahnya, Nerta melayangkan kaki kirinya menendang ke belakang, dan 'Buk' menghantam keras perut sosok lelaki itu hingga terdorong lima meter ke belakang.
Secepat mungkin, Nerta berbalik badan dan mendapati jejaka berambut pirang keemasan telah berdiri penuh gaya di halaman rumah.
Sementara wanita berwajah pas-pasan itu kembali ke dalam hunian komfortabelnya. Nerta mesti berhadapan dengan jejaka nyeleneh ini.
Jejaka bernetra biru gelap itu berpose agak unik; kaki kanannya diposisikan secara garis lurus di depan kaki kirinya, seolah dirinya berdiri di atas tali tambang.
Tiba-tiba, sebilah pedang emasnya yang elegan itu diposisikan secara horizontal, tepat di depan dadanya; hendak menyajikan pesan.
Maka secara ajaib, garis-garis ukiran dalam linguistik ras Peri terukir indah di sana. Di bilah pedang itu tertulis: Salam kenal Nerta, sungguh suatu kehormatan, karena saya datang demi memverifikasi kebenaran Anda sebagai Dewa Kesetaraan.
Jejaka berambut rancung ke atas itu memiliki bibir yang dijahit. Wajahnya datar nan dingin, seolah emosi adalah sesuatu yang telah punah dan hilang dalam keabadian. Dia tak dapat bicara, sehingga menggunakan pedang untuk merepresentasikan unek-uneknya.
Penampilannya rapi, terawat nan beraroma bunga melati. Berbusana setelan jas jingga kantoran dengan celana formal dan warna yang senada jasnya. Kecuali dasi kantornya yang bercorak polkadot warna-warni.
Satu lagi orang sinting muncul dikenyataan hidup Nerta, seakan memprovokasinya supaya Nerta jatuh dalam kegilaan.
Pedang yang masih diposisikan di dada jejaka itu kembali mengguratkan tulisan; tunjukanlah padaku Dewa Kesetaraan itu, atau pedang ini yang akan menunjukkannya.
Uniknya, sayap sang jejaka seperti kelelawar. Nampaknya lelaki aneh itu hasil kawin silang antara ras Peri dengan siluman kelelawar.
Nerta dengan sikap kalemnya mengerling ke kanan dan ke kiri, khawatir bila kedok sebagai ras Peri terbongkar. Lalu kembali memandang tajam pada netra biru tua sang jejaka. “Untuk apa aku menunjukkan diriku yang asli padamu?”
Jejaka bertubuh normal itu kembali menunjukkan pedangnya yang mengukir tulisan: Untuk mengajak Anda bergabung membawa arwah manusia demi membentuk galaksi DewaDewi bersama Dewa Roh.
Nerta bahkan mesti menajamkan pandangan mata demi membaca sepenggal huruf-huruf itu dari jarak lima meteran.
Pedang emas yang dimiliki sang jejaka berambut pirang keemasan itu faktanya mirip seperti senjata tongkat kujang milik Nerta. Yakni, benda pusaka demi menikmati kesaktian yang terkandung di dalamnya.
Gagang pedang itu juga tertera simbol khusus, —moto dari sang pemilik pedang— dengan arti; kata-kata adalah pedang. Walau entah kesaktian apa yang tersembunyi dalam pedang emas itu.
Dewa Roh. Benar, dua kata yang mengikhtisarkan kalau mimpi Nerta perihal dirinya yang dulu bersahabat baik dengan Dewa Roh sepertinya fakta. Namun, Nerta tak pernah tahu di mana perwujudan ke tiga belas Dewa Roh itu.
Sebab satu hal yang pasti; Nerta malas untuk mencari tahunya.
“Siapakah Anda?” usut Nerta.
Maka, pedang emas itu menggurat kata-kata lagi: Cobalah Anda ingat, kalau dulu sekali, dalam alam Dewadewi Anda bersama Dewa roh adalah sahabat karib.
Nerta sengap. Meresapi baik-baik intensi tulisan itu. Nyaris memakan waktu terlampau lama. Sebelum akhirnya, 'Wush' sang jejaka bisu itu melesat cepat pada Nerta.
Pedang emasnya secara diagonal dari sudut kiri bawah ke sudut kanan atas dilayangkan, tetapi secara gesit Nerta melompat ke kanan, mengelak dari bahaya. Gravitasi yang kuat membuat Nerta agak kewalahan untuk mengambil lompatan.
Dan tak mungkin Nerta bertarung dengan tangan yang sukar digerakan karena terbungkus sayap.
Nerta berguling-guling ke depan, sejauh dia bisa menghindari jejaka nyeleneh itu. Kemudian berdiri lagi dengan kalem dan selamat.
Hanya saja, jejaka pemegang pedang emas itu kini berdiri di hadapan Nerta. Posenya tetap sama; mensejajarkan pedangnya di depan dada, dengan gaya kaki kanannya yang berposisi di depan kaki kirinya seakan berdiri di atas rel kereta api. Mereka kembali berhadapan.
Wajah jejaka itu lebih dingin dan terlihat lebih sadis ketimbang Inky, bagaikan pembunuh berdarah dingin. Pria yang seakan tak bisa tersenyum dan tak mungkin tersenyum dengan bibirnya yang terjahit. Estetika senyuman manis atau senyuman simpul agaknya punah bagi sang jejaka itu.
“Tenang bung ....” Nerta sebisa mungkin tak membuka kedoknya di ruang publik. “Biarkan kepalaku yang hangat ini memutar otak, supaya bisa aku menjustifikasimu.”
Iya, lelaki itu membisu. Tanpa ada lagi ukiran tulisan di pedangnya.
Selama Nerta berpikir, suara ledakan bergema di sekitar. Perang dunia masih berkecamuk ngeri.
Bersama kerjap mata Nerta, dengan percaya diri, berkata, “Kau adalah perwujudan Dewa Roh ....”
Ada momen hening saat takrif itu mengisi suasana tegang ini. Selang berlalunya lima detik, jejaka itu menggeleng, mengimplisitkan; takrif Nerta keliru.
Memacu sang jejaka meluncur menuju Nerta dengan tebasan pedang secara horizontal. Nerta yang tak bercita-cita mati konyol di alam Maan, kembali melompat indah, lantas bersalto di udara buru-buru mengelak lagi dari serangan mematikan itu.
Pedang berkelebat di bawah tubuhnya yang bersalto, kala gravitasi berpengaruh, Nerta mendarat selamat di rerumputan laut, tapi melompat-lompat lagi menjauhi jejaka nyeleneh itu. Tak sedikit pun berniat menyerangnya; terlalu berisiko.
“Maaf, maaf kalau aku salah,” sesal Nerta dengan wajah kalem tanpa mengimplisitkan penyesalan. “Kau adalah ... tabik Dewa Roh ....”
Jejaka yang berdiri dalam gaya uniknya itu, kembali menampilkan pesan tersurat dari pedang emasnya: Tepat sekali, aku termasuk tabik kesayangan beliau. Dewa Roh memiliki tabik lebih banyak ketimbang Dewa Kesetaraan.
Nerta yang masa bodoh dengan semua ini, berani berujar, “Maaf, tanpa mengurangi rasa hormatku pada Anda ... bisakah kita menghentikan kekonyolan ini. Aku sedang sibuk. Kau bisa 'kan bermain dengan makhluk bernyawa lainnya ....”
Pedang emas itu pun menggurat pesan lagi: Tidakah Anda penasaran mengenai keberadaan Dewa Roh sekarang?
Dengan cuek Nerta menjawab seadanya: “Entahlah ... aku dilematik, ini seperti harus memilih warna apa yang menjadi warna terfavorit kita ....”
'Wush' jejaka itu melompat kembali pada Nerta, menyerang Nerta dengan bermacam teknik pedang; Sambar Kelana, Dayang Kembar, hingga Tujuh Nyawa.
Secara mengagumkan, gerakan cekatan Nerta sanggup mengelak dari semua serangan berbahaya itu. Seakan rasa paniknya memacu bakat terpendamnya untuk mengendalikan tubuhnya pada keselamatan nyawa.
Di halaman rumah wanita berparas pas-pasan itu, bersama hari yang mulai malam dan perang dunia yang merebak, Nerta berkutat ke sana kemari, bergerak sangat telaten, menghindari segala teknik pedang nan mematikan dari seorang jejaka yang tak berbelas kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
A.Sona.
sip.
2021-02-18
0